Ilmu Hukum Normatif
PENGKAJIAN / PENELITIAN ILMU HUKUM NORMATIF
(Makmur Jaya Yahya, Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung)
1. Pengertian Penelitian Ilmu Hukum Normatif
Hukum dapat diartikan sebagai norma tertulis yang dibuat secara resmi dan
diundangkan oleh pemerintah dari suatu masyarakat. Di samping hukum yang
tertulis tersebut terdapat norma di dalam masyarakat yang tidak tertulis tetapi
secara efektif mengatur perilaku para anggota masyarakat. Norma tersebut pada
hakekatnya bersifat kemasyarakatan, dikatakan demikian karena norma selain
berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat juga merupakan hasil dari kehidupan
bermasyarakat. Norma merupakan manifestasi dari sistem nilai yang dianut oleh
masyarakat yang bersangkutan. Melalui sosialisasi yang panjang norma-norma
tersebut diinternalisasikan pada seluruh anggota masyarakat.
Norma atau kaidah berisi kehendak yang mengatur perilaku seseorang,
sekelompok orang, atau orang banyak dalam hubungannya dengan orang lain atau
dengan makhluk lain, dan alam sekelilingnya. Di dalam kehidupan manusia
terdapat berbagai macam norma seperti; norma moral, norma susila, norma etika,
norma agama, norma hukum, dan lain-lain. Di antara norma-norma tersebut norma
hukum merupakan norma yang paling kuat berlakunya, karena bagi pelanggarnya
dapat diancam sanksi pidana atau sanksi pemaksa oleh kekuasaan negara, oleh
karena itu norma hukum mempunyai sifat keberlakuan yang heteronom sedang
norma-norma lain mempunyai sifat keberlakuan yang otonom.
Norma hukum sebagaimana halnya dengan norma-norma lainnya tersusun secara
hierarkis dan berjenjang ke atas berhadapan dengan norma hukum yang
membentuknya, dan ke bawah berhadapan dengan norma hukum yang dibentuknya.
Susunan tersebut berpuncak pada norma tertinggi yang disebut sebagai norma
dasar yang tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, melainkan
ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat yang bersangkutan. Norma hukum
berisi kehendak yang dikategorikan dengan Das Sollen, yaitu suatu kategori yang
bersifat imperatif. Kehendak itu dapat berupa suruhan atau larangan, dan dapat
juga berupa pem" bebasan dari suruhan atau pengecualian dari larangan.
Norma hukum selain berfungsi mengatur perilaku, juga berfungsi memberi kuasa
kepada norma hukum lain untuk mengatur perilaku atau berfungsi mengubah atau
mengganti norma hukum lain, menurut Bruggink (1996:100), norma hukum sebagai
norma perilaku berisi:
(a) Perintah (gebod); yaitu kewajiban
masyarakat untuk melakukan sesuatu.
(b) Larangan (verbod); yaitu kewajiban masyarakat untuk
tidak melakukan sesuatu.
(c) Pembebasan/Dispensasi
(vrijfstelling); yaitu pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang
secara umum diharuskan.
(d) Izin (toestemming); yaitu pembolehan (perkenan) atau
pengecualian khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.
Muatan norma hukum yang mengatur perilaku ini dapat dilihat dari dua sisi:
Pertama, dilihat dari orang-orang yang diatur perilakunya, pada tataran ini
norma bersifat umum dan individual. Kedua, dilihat dari perilaku yang
diaturnya, pada tataran ini norma bersifat abstrak dan konkrit. Dengan demikian
muatan norma hukum yang sifatnya umum dan abstrak dirumuskan dalam
undang-undang dan norma hukum yang sifatnya konkrit dan individual dimuat dalam
Keputusan Tata Usaha Negara. Selanjutnya menurut Hart sebagaimana dikutip
Bruggink (1996:102), disamping norma perilaku terdapat sekelompok norma yang
menentukan sesuatu berkenaan dengan kaidah perilaku itu sendiri yang disebut
dengan meta norma, yaitu:
a) Norma Pengakuan (Rules of
Recognition); yaitu norma yang menetapkan norma perilaku mana yang di dalam
suatu masyarakat hukum tertentu harus dipenuhi.
b) Norma Perubahan (Rules of Change);
yaitu norma yang menetapkan bagaimana sesuatu norma perilaku dapat diubah.
c) Norma Kewenangan (Rules of Adjudication);
yaitu norma yang menetapkan oleh siapa dan dengan melalui prosedur yang mana
norma perilaku ditetapkan dan bagaimana suatu kaidah perilaku harus diterapkan
jika dalam suatu kejadian tertentu terdapat ketidakjelasan.
Norma hukum berhubungan dengan asas-asas hukum, hubungan tersebut terletak
dalam proses pembentukan norma hukum, sebab asas-asas hukum sebagai ketentuan
moral mempengaruhi pembentukan hukum, jadi norma hukum bertumpu pada asas
hukum. Mengenai asas hukum ada perbedaan pendapat di kalangan ilmuwan hukum,
pendapat pertama menyatakan bahwa asas hukum merupakan bagian dari sistem
hukum. Jadi sebagaimana halnya norma hukum maka asas hukum mengikat masyarakat,
pendapat kedua menyatakan asas hukum tidak merupakan bagian dari sistem hukum,
karenanya tidak mengikat masyarakat. Terlepas dari pandangan mana yang dianut,
tidak dibahas lebih lanjut dalam buku ini, sebab kedua pendapat tersebut baik
pendapat pertama maupun kedua, sama-sama merupakan bidang kajian dari
penelitian ilmu hukum normatif.
Penelitian ilmu hukum normatif sejak lama telah digunakan oleh ilmuwan
hukum untuk mengkaji masalah-masalah hukum. Penelitian ilmu hukum normatif
meliputi pengkajian mengenai:
(a) Asas-asas hukum-,
(b) Sistematika hukum;
(c) Taraf sinkronisasi hukum;
(d) Perbandingan hukum;
(e) Sejarah hukum.
Salah satu contoh adalah seperti yang dikemukakan oleh Sumitro (1983:10);
Penelitian berupa inventarisasi perundang-undangan yang berlaku, berupaya
mencari asas-asas atau dasar falsafah dari perundang-undangan terse-but, atau
penelitian yang berupa usaha penemuan hukum yang sesuai dengan suatu kasus
tertentu.
Karakteristik utama penelitian ilmu hukum normatif dalam melakukan
pengkajian hukum adalah:
(a) Sumber utamanya adalah bahan hukum
bukan data atau fakta sosial, karena dalam penelitian ilmu hukum normatif yang
dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.
Bahan bahan hukum
tersebut terdiri dari:
Ø
Bahan Hukum
Primer:
-Peraturan Perundang-undangan;
-Yurisprudensi:
-Traktat, convensi yang sudah diratifikasi;
-perjanjian-perjanjian keperdataan para-pihak;
-dan sebagainya.
Ø
Bahan Hukum
Sekunder:
-Buku-buku ilmu hukum;
-Jurnal ilmu hukum-,
-Laporan penelitian ilmu hukum;
-Artikel ilmiah hukum; dan
-Bahan seminar, lokakarya, dan sebagainya.
(b) Pendekatannya
Yuridis Normatif
Dalam penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif, kegiatan untuk
menjelaskan huk um tidak diperlukan dukungan data atau fakta-fakta sosial,
sebab ilmu hukum normatif tidak mengenal data atau fakta sosial yang dikenal
hanya bahan ukum, jadi untuk menjelaskan hukum atau untuk mencari makna dan
memberi nilai akan hukum tersebut hanya digunakan konsep hukum dan
langkah-langkah yang ditempuh adalah langkah normatif.
(c) Menggunakan
Metode Interpretasi
Dalam pengkajian atau penelitian ilmu hukum normatif digunakan metode
interpretasi untuk memaparkan atau menjelaskan hukum tersebut, metode
interpretasi yang digunakan terdiri dari:
-Interpretasi gramatikal;
-Interpretasi sistematis;
-Interpretasi historis;
-Interpretasi perbandingan hukum;
-Interpretasi antisipasi;
-Interpretasi ideologic.
(d) Analisisnya
Yuridis Normatif
Dalam pengkajian atau penelitian ilmu hukum normatif, kegiatan analisisnya
berbeda dengan cara menganalisis ilmu hukum empiris, dalam pengkajian ilmu
hukum normatif, langkah atau kegiatan melakukan analisis mempunyai sifat yang
sangat spesifik atau khusus, kekhususannya di sini bahwa yang dilihat adalah
apakah syarat-syarat normatif dari hukum itu sudah terpenuhi atau belum sesuai
dengan ketentuan dan bangunan hukum itu sendiri.
(e) Tidak
Menggunakan Statistik
Penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif tidak menggunakan statistik,
karena penelitian ilmu hukum normatif merupakan penelitian atau pengkajian yang
sifatnya murni hukum.
(f)
Teori
Kebenarannya Pragmatic
Teori kebenaran penelitian ilmu hukum normatif adalah kebenaran pragmatic
artinya dapat bermanfaat secara praktis dalam kehidupan masyarakat.
(g) Sarat Nilai
Sarat nilai artinya ada pengaruh dari subyek, sebab menurut pandangan
penganut ilmu hukum normatif justru dengan adanya pengaruh penilaian itulah
sifat spesifik dari ilmu hukum normatif dapat diungkap.
Dengan melihat karakteristik penelitian ilmu hukum normatif tersebut di
atas, dapat diketahui bahwa hal yang paling prinsip dan mendasar dalam
penelitian ilmu hukum normatif, adalah bagaimana seorang peneliti menyusun dan
merumuskan masalah penelitiannya secara te-pat dan tajam, serta bagaimana
seorang peneliti memilih metoda untuk menentukan langkah-langkahnya dan
bagaimana ia melakukan perumusan dalam membangun teorinya.
2. Pendekatan Penelitian Ilmu Hukum Normatif
Pengertian yuridis diartikan sebagai sesuatu yang sesuai dengan persyaratan
keahlian hukum. Istilah yuridis itu sendiri berasal dari bahasa Romawi kuno,
yaitu Yuridicus. Pada masa kejayaan kerajaan Romawi hampir semua daratan eropa
berada di bawah kekuasaannya, oleh karena itu hukum yang berlaku di daratan
eropa sangat dipengaruhi oleh hukum Romawi. Istilah Yuridicus dalam hukum
Romawi berkembang pula di Perancis yang dikenal dengan istilah
"Yuridique" dan di Belanda disebut dengan istilah Yuridisch yang
artinya menurut hukum (Arief, 1995:202).
Mengacu pada pengertian yang demikian ini pendekatan yuridis pada
hakekatnya menunjuk pada suatu ketentuan, yaitu harus terpenuhi tuntutan secara
keilmuan hukum yang khusus yaitu ilmu hukum dogmatik. Ukuran yang digunakan
untuk melihat atau untuk menentukan apakah suatu permasalahan hukum konkrit
telah memenuhi kriteria yuridis atau tidak (Koesnoe, 1992) harus dilihat dari
empat macam karakteristik, yaitu: dari sudut sistem ilmiahnya, sistem
normatifnya, sistem pendekatannya dan dari sistem interpretasinya. Untuk lebih
jelasnya pengertian terhadap keempat ukuran tersebut akan diuraikan di bawah
ini.
1. Sistem Ilmiahnya
Maksudnya ialah bahwa setiap tata hukum dari suatu bangsa bersifat
tersendiri, karenanya setiap tata hukum nasional sifatnya. Ilmu hukum positif
yang obyeknya ketentuan-ketentuan hukum positif dari suatu tata hukum juga nasional
sifatnya, oleh karenanya tinjauan atas suatu perkara atau isi hukum, dapat
dinilai sudah tepat atau tidal,,, secara yuridis. Cara mengukurnya ialah dengan
mengkaji apakah sudah terpenuhi atau tidak tuntutan dan persyaratan dari ilmu
hukum positif itu. Dalam penelitian ilmu hukum normatif tuntutan atas
persyaratan keilmuan yang harus dipenuhi adalah:
(a) Dalam
membangun konsep harus beranjak dan berpegang teguh pada hakekat keilmuan itu
sendiri, yaitu ilmu hukum normatif atau ilmu hukum positif.
(b) Hakekat
keilmuan ilmu hukum normatif itu dilihat dari dua sudut pandang, yaitu:
Ø
Dari sudut
filsafat ilmu dengan menggunakan pandangan Hukum Normatif;
Ø
Dari sudut
teori Hukum meliputi tiga lapisan ilmu Hukum, yaitu:
-dogmatik hukum;
-teori hukum; dan
-filsafat hukum.
(c) Langkah-langkahnya
harus langkah kajian ilmu hukum normatif, yaitu: Diawali perumusan masalah atau
penetapan isu hukum, kemudian diikuti penetapan metode dan perumusan teori.
(d) Pemilikan
metode yang digunakan harus sesuai dengan metode ilmu hukum normatif.
(e) Perumusan
teori. Dalam merumuskan teorinya mengacu pada penalaran hukum dan penalaran itu
bertumpu pada aturan berpikir yang dikenal dalam logika_
(f)
Sifatkeilmuan
hukumnya meliputi:
Ø
Proses yaitu
prosesnya harus bersifat ilmiah.
Ø
Produk yaitu
produknya ilmu.
Ø
Produsen
yaitu melahirkan konsensus di antara sesama kolega, artinya hasil penelitian
itu memperoleh persetujuan atau pengakuan dari kalangan ilmuwan hukum itu
sendiri.
(g) Teori
kebenarannya pragmatic, yaitu kebenarannya mementingkan berfungsinya teori
keilmuan secara memuaskan, atau dengan kata lain ber-guna dalam hal-hal
praktis.
(h) Hasil
pengkajian berupa argumentasi hukum dan akhirnya diarahkan pada perumusan
teori.
2. Sistem Normatifnya
Maksudnya ialah bahwa tinjauannya itu berangkat dan memfokuskan diri, pada
ketentuan hukum positif tata hukum yang menguasai perkara atau isu hukum yang
bersangkutan. Artinya berada dalam kerangka kemauan dan maksud dari tata hukum
yang bersangkutan. Untuk melihat sistem normatif dari ilmu hukum harus dipahami
terlebih dahulu ciri-ciri atau karakter ilmu hukum normatif tersebut seperti
dikatakan oleh Meuwissen (1994:26-28), yaitu:
a) Bersifat analitis, artinya tidak
semata-mata menjelaskan, akan tetapi juga memaparkan dan menganalisis isi dan
struktur hukum positif yang berlaku.
b) Bersifat terbuka atau open system,
artinya karena ilmu hukum normatif mensistematisasi gejala-gejala hukum yang
dipaparkan dan dianalisis, maka hal itu merupakan pengembangan yang mengarah
pada suatu sistem hukum yang logis dan konsisten.
c) Bersifat hermeneutic, artinya
berusaha menjelaskan makna yang terkandung dalam aturan hukum itu.
d) Bersifat normatif, artinya selain
obyeknya norma, ilmu hukum normatif juga memiliki dimensi penormaan.
e) Memiliki arti praktis, maksudnya apa
yang dikemukakan ilmu hukum normatif berkaitan dengan penerapan praktis dari
hukum.
3. Sistem Pendekatannya
Yaitu tinjauannya dilakukan dengan berpegang pada metode dogmatik. Di dalam
hal ini yang perlu diperhatikan ialah adanya perkembangan dalam ilmu hukum
positif, sehingga terdapat pemisahan yang jelas antara ilmu hukum positif yang
praktis dengan ilmu hukum positif yang teoritis. Jadi pengolahan dengan
interpretasi yuridis, harus dapat teruji dengan teori yang mencakup apa yang
disebut dengan pengertian hukum yang sesungguhnya dan ukuran-ukuran yang
dituntut dalam metode-metode yuridis.
Dalam penelitian ilmu hukum normatif banyak pendekatan yang dapat digunakan
baik secara terpisahpisah berdiri sendiri maupun secara kolektif sesuai dengan
isu atau permasalahan yang dibahas. Pendekatan tersebut antara lain:
(a) Pendekatan
undang-undang atau statuta aproach dan sebagian ilmuwan hukum menyebutnya
dengan pendekatan yuridis, yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum.
(b) Pendekatan
historis, yaitu penelitian atau pengkajian terhadap perkembangan produk-produk
hukum berdasarkan urutan-urutan periodesasi atau kenyataan sejarah yang
melatarbelakanginya.
(c) Pendekatan
konseptual, yaitu penelitian terhadap konsep-konsep hukum seperti; sumber
hukum, fungsi hukum, lembaga hukum, dan sebagainya. Konsep hukum ini berada
pada tiga ranch atau tataran sesuai tingkatan ilmu hukum itu sendiri yaitu:
tataran ilmu hukum dogmatik konsep hukumnya teknis yuridis, tataran teori hukum
konsep hukumnya konsep umum, tataran filsafat hukum konsep hukumnya konsep
dasar.
(d) Pendekatan
komparatif, yaitu penelitian tentang perbandingan hukum baik mengenai
perbandingan sistem hukum antarnegara, maupun perbandingan produk hukum dan
karakter hukum antarwaktu dalam suatu negara.
(e) Pendekatan
politis, yaitu penelitian terhadap pertimbangan-pertimbangan atau kebijakan
elite poLitik dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan dan penegakan
berbagai produk hukum.
(f)
Pendekatan
kefilsafatan, yaitu pendekatan mengenai bidang-bidang yang menyangkut dengan
obyek kajian filsafat hukum yang meliputi:
a) Ontologi hukum, yaitu mengkaji hakekat
hukum seperti hakekat demoluasi, hubungan hukum dengan moral, dan sebagainya.
b) Aksiologi hukum, yaitu mempelajari
isi dari nilai seperti nilai kebenaran, nilai keadilan, nilai kebenaran, dan
sebagainya.
c) Epistemologi hukum, yaitu cara mendapatkan
pengetahuan yang benar tentang ilmu hukum.
d) Teleologi hukum, yaitu menentukan
isi dan tujuan hukum.
e) Ideologi hukum, yaitu pemahaman
secara menyeluruh tentang manusia dan masyarakat.
f) Logika
hukum, yaitu mempelajari kaidah-kaidah berpikir secara hukum dan argumentasi
hukum.
g) Keilmuan hukum, yaitu merupakan meta
teo- r bagi -i hukum.
4. Sistem Interpretasi
Yaitu penggunaan metode yuridis dalam membahas suatu persoalan hukum,
dituntut untuk selalu berpegang kepada yuridisme yang dianut oleh tata hukum
yang bersangkutan. Artinya, apakah tata hukum yang bersangkutan yang menguasai
perkara atau isu hukum itu menganut yuridisme positif atau menganut yuridisme
idealis. Sistem yuridisme positives, adalah sistem yang membatasi dalam
menafsirkan sesuatu ketentuan aturan hukum positif terbatas hanya pada apa yang
tercantum di dalam ketentuan undang-undang saja. Dalam sistem yuridisme
positives, ketentuan dalam undang-undang tidak dibenarkan untuk diuji dengan
ketentuan yang lebih tinggi yaitu konstitusi. Sebaliknya sistem yuridisme
idealistic menentukan bahwa apa yang tercantum dalam ketentuan undang-undang,
harus dihubungkan pengertiannya dengan semangat atau jiwa tata hukum yang
bersangkutan.
Dalam penafsiran hukum dikenal penafsiran hukum dalam pengertian luas dan
pengertian sempit. Penafsiran hukum dengan pengertian luas, mengacu kepada arti
normatif dari suatu rumusan kaidah. Penafsiran dengan arti yang normatif itu
berlaku apabila bersangkutan dengan bahasa hukum pada umumnya. Setiap
penggunaan bahasa mengandung implikasi penafsiran, yaitu suatu derivasi arti
tertentu dari suatu rumusan bahasa. Penafsiran hukum dengan pengertian yang
sempit terjadi dalam praktek penerapan hukum. Dalam hubungan ini, suatu rumusan
kaidah memerlukan penafsiran hanya apabila timbul keraguan mengenai artinya
dalam konteks tertentu. Rumusan kaidah yang sama mungkin dalam konteks tertentu
memerlukan penafsiran, tetapi dalam konteks lain tidak memerlukan penafsiran
karena artinya cukup jelas atau arti prima facie-nya memenuhi kebutuhan si
pemakai. Dalam hubungan ini sebagaimana dikatakan oleh Rasjidi dan Sidharta
(1994:197); penafsiran hanyalah merupakan penjelasan arti atas suatu rumusan
kaidah hukum yang bersangkutan.
Jerzy Wroblewski membedakan penafsiran sebagai;
(1) operative interpretation dan
(2) doctrinal interpretation sebagai berikut:
1) "The operative interpretation
takes place if there is a doubt concerning the meaning of a legal norm which
has to be applied in a concrete case of decision-making by a law-applying
agency. The interpretation has to fix doubtful meaning in a way sufficiently
precise to lead to a decision in a concrete case.
"Operative interpretation is evaluative process because of the
evaluative components of interpretive heuresis and/or of the justification of
an interpretive decision. The operative interpretation, as a rule, is s
presented as the unique right answer to an interpretive doubt and concerns only
a concrete interpreted norm-formulation. The right interpretation discovers the
'true meaning' of the interpreted text (true meaning thesis). "
2) "The doctrinal interpretation
is proper for legal dogmatics. Its crucial task in the systematization of valid
law, and for this purpose it has to construct an appropriate conceptual
apparatus and, sometimes, to remove the doubts concerning norm-formulations. If
the systematization in question is thought of as a reformulation of a system of
law, then doctrinal interpretation is one of its tools. The result of the
interpretation in question can be a statement determining the linguistically
possible meanings of an interpreted text. The doctrinal interpretation,
however, often not only describes the linguistic possibilities, but also
chooses one of them as the 'true meaning' of the text in question. But there is
in principle no commitment to the true meaning thesis, as in the operative
interpretation. "
Adapun metode-metode penafsiran dalam penelitian ilmu hukum normatif
banyak, macamnya. Untuk menentukan metode penafsiran mana yang paling tepat
untuk dipilih, sangat tergantung pada isu hukum atau permasalahan hukum yang
diangkat dan metode penelitian yang bagaimana yang digunakan. Untuk memahami
lebih jelas tentang penafsiran ilmu Hukum normatif yang dimaksud dapat dipahami
pada uraian di bawah ini:
1) Penafsiran
gramatikal
Yaitu penafsiran menurut tata bahasa sesuai dengan apa yang tertera atau
apa yang tertulis secara eksplisit dalam aturan tersebut, dalam. kegiatan
penafsiran ini si peneliti berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menetapkan
segala sesuatu yang menyangkut mengenai kejelasan pengertian dengan
mengemukakan arti yang dimaksud oleh aturan tersebut.
2) Penafsiran
historis
Yaitu penafsiran yang dilakukan dengan maksud untuk mencari atau menggali
makna yang ada di dalamnya sehingga diketahui maksud atau keinginan dari
pembentuk undang-undang pada saat mereka merumuskan aturan-aturan Hukum ke
dalam undang-undang tersebut.
3) Penafsiran
sistematis
Yaitu penafsiran dengan menggunakan hubungan yang lebih luas terhadap
aturan hukum atau norma-norma Hukum yang terkandung di dalamnya. Penafsiran ini
dilakukan dengan cara mengamati dan mengkaji dengan seksama dan cermat hubungan
antara pasal yang satu dengan pasal yang lain, baik yang terdapat dalam
undang-undang itu sendiri maupun yang terkandung dalam undang-undang lain,
tujuannya agar makna yang terkandung di dalamnya dapat dipahami secara jelas
dan tepat tanpa ada keraguan sama sekali.
4) Penafsiran
teleologic
Yaitu penafsiran dengan memperhatikan secara khusus keadaan-keadaan
masyarakat dan lingkungannya, dengan kata lain maksud dan tujuan hukum
disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat luas.
5) Penafsiran
analogic
Yaitu penafsiran dengan memberi kiasan atau analogi terhadap suatu aturan
Hukum, sehingga suatu peristiwa dianggap sama artinya dengan ketentuan pasal
tersebut.
6) Penafsiran
resmi
Yaitu penafsiran terhadap suatu aturan sesuai dengan apa yang diberikan
atau ditetapkan oleh pembentuk undang-undang.
3. Pengkajian Bahan-bahan Hukum
3.1. Bahan Hukum Sebagai Kajian Normatif
Penelitian ilmu hukum normatif adalah pengkajian terhadap bahan-bahan
hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder- Apabila seorang
peneliti ilmu hukum normatif telah menemukan permasalahan yang akan
ditelitinya, kegiatan berikutnya adalah mengumpulkan semua informasi yang ada
kaitannya dengan permasalahan, kemudian dipilih informasi yang relevan dan
essensial, baru ditentukan isu hukumnya (legal issues). Adakalanya untuk
menentukan isu hukum tersebut diperlukan informasi yang bersifat umum,
informasi ini dimaksudkan agar dapat membantu memberi orientasi terhadap
masalah yang diteliti- Jika seorang peneliti menghadapi situasi yang demikian
ini, jalan terbaik yang harus dilakukannya adalah diperlukan penelaahan
terhadap bahan hukum sekunder, melalui bantuan bahan hukum sekunder tersebut
isu hukum dapat dirumuskan dengan tajam. Di samping itu melalui penelaahan
terhadap bahan-bahan hukum sekunder dapat diidentifikasi bahan hukum yang
diperlukan.
Mencari atau menentukan bahan-bahan hukum bukanlah merupakan pekerjaan
mudah, alasannya karena tidak semua bahan hukum yang ada didokumentasikan
secara baik dan sistematis. Untuk itu diperlukan ketekunan dan ketelitian serta
keahlian menelusuri bahan-bahan hukum yang diperlukan. Bahan-bahan hukum
sebagai kajian normatif sebagian besar dapat diperoleh melalui penelusuran
terhadap berbagai dokumen hukum, antara lain:
·
Himpunan
Peraturan Perundang-undangan yang diterbitkan oleh Departemen/Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang umumnya berisi peraturan di bidang tugasnya
masing-masing.
·
Himpunan
Peraturan Perundang-undangan yang khusus mengatur bidang pokok tertentu yang
banyak diterbitkan oleh lembaga-lembaga penerbitan. Misalnya: himpunan
peraturan kepegawaian, himpunan peraturan di bidang ketenagakerjaan, himpunan
peraturan di bidang kesehatan, dan sebagainya.
·
Himpunan
putusan Mahkamah Agung.
·
Lembaran
Negara dan Tambahan Lembaran Negara.
·
Berita Negara.
·
Lembaran
Daerah.
·
Berbagai
dokumen yang memuat perjanjian-perjanjian internasional yang banyak diterbitkan
oleh lembaga-lembaga internasional.
Bahan-bahan hukum dalam bentuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikelompokkan
menurut tingkatan atau hierarkinya terdiri dari
-Undang-Undang Dasar 1945;
-Undang-undang;
-Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
-Peraturan Pemerintah;
-Keputusan Presiden;
-Peraturan Daerah.
Selain peraturan perundang-undangan tersebut di atas, masih banyak
peraturan perundang-undangan yang berasal dari zaman Hindia Belanda yang sampai
saat ini masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UndangUndang Dasar
1945, Peraturan dimaksud adalah:
-Wet;
-Algemene Maatregel van Bestuur;
-Ordonantie;
-Regeringsverordening;
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia selalu berkembang pemahamannya
dari waktu ke waktu, sesuai dengan pergantian konstitusi beserta
penafsiran-penafsirannya. Untuk itu perlu diketahui sejarah pertumbuhan jenis-jenis
Peraturan Perundang-undangan tersebut di negara kita. Mempelajari perbandingan
dan sejarah jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan Indonesia sangat penting
sebagai bagian dari penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif.
Untuk dapat membandingkan Peraturan Perundang-undangan Indonesia dengan
peraturan perundang-undangan negara lain, terlebih dahulu perlu dipahami teori
bernegara bangsa Indonesia dalam membentuk Negara Republik Indonesia dan teori
bernegara bangsa-bangsa lain. Pangkal toloknya terletak pada pemahaman tentang
undang-undang, pembentuk undang-undang dan fungsi. perundang-undangan dalam
negara yang bersangkutan.
Sebelum UUD 1945 diamandemen di negara Republik Indonesia fungsi
perundang-undangan merupakan bagian dari fungsi Pemerintahan negara. Presiden
ialah Kepala negara yang memperoleh Mandat dari MPR untuk menyelenggarakan
Pemerintahan negara. Karena itu menurut konstitusi yang berlaku di negara
Republik Indonesia Undang-undang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR,
setelah UUD 1945 diamandemen fungsi pembentukan Undang-undang sepenuhnya berada
di tangan DPR sebagai lembaga legislatif- Di negara lain seperti di Amerika
Serikat fungsi perundang-undangan ber-ada di tangan Congress, yaitu suatu
lembaga legislatif yang terpisah dari lembaga eksekutif. Presiden Amerika
Serikat hanya melaksanakan undang-undang yang dibentuk oleh Congress. Presiden
tidak ikut serta dalam membentuknya, paling-paling hanya memvetonya apabila
tidak menyetujui, itupun bukan tanpa batas. Pembagian kekuasan negara ala
Montesquie terlihat wujudnya pada kekuasaan-kekuasaan Congress, President dan
Supreme Court. Di negeri Belanda masih terlihat sisa-sisa sistem konstitualisme
sebagai wujud dua kekuasaan yang berdampingan, yaitu Kroon (Pemerintah) dan
Steten General, di Negeri Belanda undang-undang (Wetin formelezin) merupakan
hasil bentukan kedua lembaga tersebut secara bersama-sama. Perbedaan dalam
sistem pembentukan undang-undang pada negara-negara lain, mengakibatkan
terjadinya perbedaan pada wewenang atribusi dan delegasi dari peraturan yang
lebih tinggi kepada peraturan yang lebih rendah.
3.2. Telaah Pustaka
Telaah pustaka merupakan sumber inspirasi bagi seorang peneliti untuk
merumuskan permasalahan penelitiannya. Peneliti harus mampu menunjukkan komitmen
bahwa ia bermaksud mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya dengan tingkat
efisiensi yang tinggi dan ber-- tanggung jawab. Di samping itu telaah pustaka
juga mem-
punyai hubungan langsung dengan tujuan penelitian serta metode penelitian
yang akan dipergunakan, serta dapat mencegah terulangnya penelitian terhadap
masalah yang sama sehingga tidak perlu diteliti lagi, karena hanya akan
menghabiskan waktu dan biaya. Telaah pustaka dapat berfungsi sebagai bekal bagi
si peneliti untuk:
·
Memperdalam
pengetahuan peneliti tentang masalah yang diteliti-,
·
Menegaskan
kerangka teoritis dan konseptual yang menjadi landasan kajian;
·
Menghindarkan
terjadi duplikasi;
·
Melalui
telaah pustaka dibangun konsep-konsep dan teori-teori yang relevan dengan
masalah yang diteliti.
Sehubungan dengan itu, agar penelitian yang dilakukan mempunyai dasar yang
kokoh dan dapat diandalkan hasil yang diperolehnya, pemahaman terhadap berbagai
sumber kepustakaan memegang peranan yang sangat penting. Telaah pustaka
merupakan kegiatan untuk mengkaji secara kritis bahan-bahan yang berkaitan
dengan masalah yang diangkat dalam penelitian, bahan-bahan pustaka yang dikaji
tersebut kemudian dirinci secara sistematis dan dianalisis secara deduktif.
Dalam melakukan telaah pustaka, perlu diperhatikan beberapa hal penting
yang akan mendukung kelancaran si peneliti memperoleh informasi yang
diperlukan, sehingga apa yang diinginkannya dari bahan-bahan terse-but,
benar-benar merupakan informasi yang dapat dipercaya keunggulannya,
kemutakhiran dan kebenaran ilmiahnya sebagai bahan acuan untuk memecahkan
masalah-masalah yang diteliti. Beberapa hal yang penting untuk mendapat
perhatian dari seorang peneliti dalam melakukan telaah pustaka adalah:
1. Penggunaan kepustakaan
Dalam kegiatan pengkajian kepustakaan, penggunaan kepustakaan banyak
ragamnya, namun secara garis besar kepustakaan yang digunakan dalam penelitian
dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu:
·
Kepustakaan
atau bahan bacaan yang memberi gambaran secara umum mengenai obyek yang
diteliti.
·
Kepustakaan
atau bahan bacaan yang isinya memuat unsur-unsur yang diteliti.
·
Bahan bacaan
yang menyediakan informasi ter-baru sebagai pelengkap.
Dari bahan-bahan ini, ada yang perlu mendapat pengkajian secara cermat dan
mendalam karena informasi yang diperlukan terdapat di dalamnya, untuk itu perlu
dibuat catatan-catatan guna bahan analisis.
2. Kemutakhiran
bahan kepustakaan
Banyak bahan bacaan yang isinya sudah ketinggalan zaman, usang dan penuh
dengan prasangka-prasangka atau memuat teori-teori dan konsep-konsep yang sudah
tidak berlaku lagi karena sudah digantikan oleh konsep-konsep dan teori baru.
Untuk itu kepustakaan yang digunakan seyogianya merupakan hasil penemuan-penemuan
yang berisi konsep-konsep atau teori yang baru.
3. Relevansi
kepustakaan
Kepustakaan yang digunakan harus mempunyai relevansi dengan penelitian,
oleh karenanya bahan-bahan yang akan di telaah harus terlebih dahulu diseleksi
secara ketat dan cermat untuk melihat kepustakaan mana saja yang mempunyai
relevansi dengan obyek yang diteliti atau dikaji.
Kepustakaan sebagai suatu bahan yang berisi informasi yang diperlukan dalam
penelitian perlu mendapatkan seleksi secara ketat dan sistematis, prosedur penyeleksian
didasarkan pada relevansi dan kemutakhiran. Dalam penelitian ilmu hukum,
penyeleksian terhadap kepustakaan yang digunakan tidak terbatas hanya pada
buku-buku ilmu hukum, akan tetapi meliputi aturan perundang-undangan dan
dokumen, baik dokumen resmi atau tidak maupun berupa catatan dan memo atau nota
yang dikeluarkan Pejabat Tata Usaha Negara. Memo atau nota termasuk dalam ruang
lingkup kajian hukum admiinistrasi, hal ini didasarkan pada pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, di dalam
penjelasan umum undangundang tersebut dinyatakan: "Istilah penetapan
tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara- Keputusan itu memang
diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya
seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu
diharuskan untuk memudahkan segi pembuktian, oleh karena itu sebuah memo atau
nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan merupakan suatu keputusan
badan atau pejabat Tata Usaha Negara apabila sudah jelas:
·
Badan atau
pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya;
·
Maksud serta
mengenai hal apa isi tulisan itu-,
·
Kepada siapa
tulisan itu ditujukan dan apa yang diterapkan di dalamnya.
Dengan fungsi memo atau nota yang demikian ini, maka dalam penelitian ilmu
Hukum, memo atau nota merupakan bahan informasi yang digolongkan ke dalam
bentuk dokumen.
Pengertian dokumen menurut Poerwadarminta (1984: 256), adalah sesuatu yang
tertulis atau tercetak, yang dapat dipakai sebagai bukti atau keterangan.
Pengertian lain tentang apa yang dimaksud dengan dokumen ditemukan dalam Black's
Law Dictionary (1979:432), Document: An instrument on which is recorded, by
means of letters, figures, or marks, the original, official, or legal form of
something, which may be evidentially used. In this sense the term
"document" applies to writings; to words printed, ligthographed, or
photographed; to maps -6r plans; to seals, plates, or even stones on which
inscription are cut or engraved. In the plural, the deeds, agreement,
titlepapers, letters, receipts, and other written instrument used to prove a
fact. Within meaning of the best evidence rule, document is any
physical embodiment of information or ideas; e.g. a letter, a contract, a
receipt, a book of account, a blueprint, or an X-ray plate.
Pengertian dokumen dalam kamus hukum (Puspa, 1977:323), adalah surat asli
sebagai simpanan yang dianggap sangat berharga. Sesuai dengan pengertian atau
definisi di atas, dokumen sebagai bahan tertulis atau tercetak (periksa
definisi Poerwadarminta), jika di lihat dari sifatnya dokumen dapat dibedakan
menjadi:
·
Dokumen
Primer; yaitu
dokumen yang memberikan informasi dan data (fakta hukum) secara langsung baik
yang dipublikasikan atau tidak yang benar-benar asli sifatnya, misalnya
sertifikat tanah, akte kelahiran, akte nikah, dan sebagainya.
·
Dokumen
sekunder; yaitu yang
memberikan informasi dan data yang merupakan saduran, terjemahan atau foto copy
dari sumber aslinya.
Selanjutnya apabila dokumen dilihat sebagai simpanan yang dianggap sangat
berharga, dokumen dapat dibedakan menurut jenisnya, yaitu:
·
Dokumen Rahasia; yaitu
dokumen yang hanya boleh diketahui oleh kalangan tertentu, dan tidak
disebarluaskan untuk umum- Contohnya dokumen perjanjian yang menurut
kategorinya dianggap sebagai rahasia negara, rahasia bank, rahasia perusahaan,
dan lain-lain yang sama sifatnya.
·
Dokumen
Resmi; yaitu
dokumen yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh lembaga-lembaga resmi dengan
maksud untuk diketahui oleh masyarakat. Contohnya Lembaran Negara, Berita
Negara, Lembaran Daerah, dan sebagainya.
·
Dokumen
Tidak Resmi; yaitu
dokumen yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh lembaga-lembaga swasta, seperti
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Wahana
Lingkungan Hidup (WALHI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Nahdatul
Ulama (NU), Muhammadiyah, dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan telaah pustaka, seorang peneliti yang melakukan
penelitian melalui berbagai literatur dan dokumen yang mempunyai relevansi
dengan masalah yang diteliti, si peneliti tersebut dihadapkan pada proses kegiatan
yang sesungguhnya, yaitu melakukan kegiatan membaca secara kritis analisis dan
membuat catatan-catatan yang diperlukan. Kegiatan membaca sebagai telaah
pustaka bukan merupakan pekerjaan yang mudah, namun juga bukan merupakan
pekerjaan yang sulit jika diketahui teknik-tekniknya. Untuk itu dalam kegiatan
membaca terlebih dahulu harus dipahami teknik tertentu untuk menampung atau
merangkum sari dari suatu bahan bacaan. Cara yang digunakan ada bermacam-macam
terserah cara mana yang akan digunakan, sebagai pedoman dapat dipilih salah
satu cara di bawah ini:
1) Memilih dan mengumpulkan pokok isi
yang nyata saja.
2) Mencari jawaban atas pertanyaan yang
sebelumnya sudah dipersiapkan, misalnya apa (yang dimaksud dengan batasan atau
pernyataan itu), siapa (yang terlibat, pelaku, korban), bilamana (terjadi), di
mana (tempat kejadian), bagaimana (duduk perkaranya), me-ngapa (penyebabnya),
berapa (ukuran), dan sebagainya.
3) Menelaah bahan bacaan secara
seksama, untuk mengecek kebenaran suatu pernyataan, baik pernyataan dari sumber
informasi lain, maupun pernyataan dalam bahan bacaan itu sendiri.
Jadi kegiatan membaca dengan tidak menggunakan teknik tertentu, hanya akan
membuang waktu saja dengan membolak balik halaman tanpa memperoleh hasil yang
nyata- Dalam kegiatan membaca perlu dibuat catatan terhadap bahan-bahan yang
dianggap penting dan diperlukan. Untuk pencatatan tersebut disediakan kartu
khusus berukuran 10x15 cm atau sesuai kebutuhan. Kartu tersebut disusun menurut
ukuran alfabet sesuai dengan pokok masalah yang dicatat dan setiap kartu harus
memuat:
§
Sumber yang
tepat dari mana catatan itu diambil.
§
Informasi
atau pendapat yang diperlukan.
§
Pokok
masalah.
Pada umumnya kartu yang digunakan untuk pencatatan dapat dibagi tiga macam
bentuk yaitu: Pertama, kartu yang isinya kutipan, Kedua, yang berisi ikhtisar
dan Ketiga berisi ulasan. Untuk lebih memudahkan, pada bahan atau skema di
bawah ini akan diberikan contoh kartu yang berisi kutipan, ikhtisar, dan ulasan.
KARTU KUTIPAN
Warjiyati, Sri, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat Bagi Buruh,
Tarsito, Bandung 2003, hal 231."
Kebebasan,
merupakan hak asasi yang sifatnya kodrati, oleh karena itu aktivitas buruh
untuk berorganisasi dan atau berserikat, tidak boleh dilarang atau dibatasi
oleh pengusaha. Pembatasan terhadap kebebasan tersebut hanya dapat diatur oleh
undang-undang. Namun demikian kebebasan juga bukan bersifat mutlak, sebab
kebebasan harus dapat menjamin terlaksananya kepentingan umum".
KARTU ULASAN
Anonim, Buletin Hukum Ketenagakerjaan, Vol.3 Tahun IX, Edisi
November- Desember, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Jakarta, 2001,
hal. 15
Kebebasan berserikat bagi buruh di Indonesia selalu
mendapat sorotan dari dunia Internasional, persoalannya karena pemerintah atau
pengusaha, tidak pernah konsisten memberi kebebasan kepada buruh untuk
berorganisasi. Dalam praktek para pengusaha terkesan mengekang kebebasan ini
dengan cara-cara yang tidak masuk akal.
KARTU IKHTISAR
Warjiyati, Sri, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat Bagi Buruh,
Tarsito, Bandung 2003, hal 231.
Jika memang Kebebasan merupakan hak asasi yang
sifatnya kodrati, seperti yang dikemukakan oleh Sri Warjiyati, dapat
disimpulkan bahwa: [1) kebebasan adalah pemberian Tuhan, r2] pengekangan hak
berserikat berarti melawan kodrat dan merupakan penindasan terhadap hak-hak
buruh; 13] hak berserikat itu hanya dapat dibatasi dengan undang-undang.
Pencatatan isi yang akan digunakan dalam kartu rangkuman atau intisari,
sangat tergantung pada keahlian dan ketajaman pemahaman dan atau kemampuan
analisis peneliti untuk mengambil sari atau inti yang terpenting dari bahan
yang dibacanya, oleh karena itu pemahaman terhadap alinea-alinea dan keahlian
membuat ringkasan dari suatu bahan bacaan tetap menjadi dasar yang sangat
penting. Seorang peneliti harus memiliki kejelian dan kepekaan terhadap apa
yang dikemukakan dalam suatu bahan bacaan. Terkadang suatu bahan bacaan
terlebih dahulu menguraikan secara panjang lebar mengenai suatu masalah,
sehingga apabila si peneliti tidak mengamati secara seksama, akan sangat sulit
baginya mengambil intisari dari tulisan tersebut. Bagi seorang peneliti
pencatatan ikhtisar atau intisari suatu tulisan sangat penting karena merupakan
salah satu bahan kajian yang dapat digunakan sebagai pangkal tolak berpikir
untuk membangun konsep-konsep penelitiannya.
4. Membangun Konsep dan Teori
Dalam penelitian ilmu hukum normatif, pada dasarnya hasil yang diharapkan
dari pengkajian itu adalah argumentasi hukum yang akan diarahkan pada perumusan
teori. Atas dasar itu, dalam pengkajian ilmu hukum normatif membangun konsep
hukum guna penyusunan teori sangat penting. Kegiatan membangun konsep ini
merupakan pengamatan dan pendataan guna memisahkan unsur-unsur hukum yang bersifat
essensial dan yang tidak essensial serta mengelompokkan berdasarkan persamaan
konsep-konsep hukum tertentu.
Membangun konsep dalam pengkajian ilmu hukum pada dasarnya merupakan
kegiatan untuk mengkonstruksi teori, yang akan digunakan untuk menganalisis-nya
dan memahaminya. Dalam kegiatan mengkonstruksi teori ini, langkah yang
dilakukan adalah berupa kegiatan menentukan isi aturan hukum, artinya
menetapkan apa yang menjadi kaidah hukumnya dan merumuskan makna aturan Hukum
itu.
Dalam pandangan inilah tepat apa yang dikemukakan oleh Aarnio (1983:64)
bahwa ilmu hukum adalah ilmu tentang makna-makna. Menentukan makna dari sesuatu
gejala hukum berarti melakukan interpretasi terhadap gejala hukum tersebut,
sehingga dengan demikian kegiatan tersebut berupa kegiatan memaparkan aturan
Hukum, kegiatan memaparkan aturan Hukum ini akan sangat tergantung pada
bagaimana cara seorang peneliti membangun konsepnya dari menyusun teori untuk
menginterpretasikan gejala-gejala hukum. Bila hal ini yang terjadi maka seorang
pengkaji ilmu hukum atau ilmuwan hukum dalam upayanya merumuskan teorinya,
harus memilih dari berbagai makna aturan hukum yang mungkin terdapat dalam
gejala-gejala hukum itu. Jadi pengembangan atau pengkajian ilmu hukum tidak
hanya berupa kegiatan memaparkan bagaimana aturan hukum dapat diinterpretasi,
melainkan juga menentukan pilihan di antara berbagai kemungkinan alternatif
makna hukum yang terdapat dalam aturan hukum.
Dalam pengkajian ilmu hukum obyek telaah ilmu hukum adalah teks otoritatif
yang bermuatan aturan-aturan hukum yang terdiri atas produk perundang-undangan,
putusan hakim atau dokrin. Untuk dapat menghimpun, menata, memaparkan dan
mensistematisasinya guna membangun konsep dan membangun teori, maka teks
otoritatif itu hingga derajat tertentu harus dipahami terlebih dahulu, dan
untuk itu harus dikaji dari diinterpretasi menurut aturan dan langkah-langkah
yang jelas, tersusun dan terarah dengan menggunakan metoda peng-kajian hukum.
Caranya dengan menghimpun dan mengolah tatanan aturan yang ada, yang di
dalamnya berlangsung interpretasi, pembentukan dan penjabaran
pengertian-pengertian dalam hukum serta mempertimbangkan konsekuensi
kemasyarakatan dari solusi masalah yang dapat dirancang dan ditawarkan.
Dalam kegiatan yang demikian ini, pengkajian atau pengembanan ilmu hukum
sesungguhnya ikut memainkan peranan dalam membuat perangkat aturan yang ada
menjadi produktif, dalam menentukan apa hukumnya bagi suatu situasi konkrit
tertentu. Ini berarti bahwa pengembanan ilmu hukum berpartisipasi dalam proses
pembentukan hukum.
Dari apa yang sudah dikemukakan di atas, sudah tampak bahwa pengkajian ian
ilmu hukum itu mengacu pada praktek atau penerapan praktis dan menyandang sifat
normatif atau mengkaidahi. Selanjutnya dalam pengkajian ilmu hukum tidak
tertutup kemungkinan terjadinya perbedaan peri-dapat tentang makna kaidah
hukum. Menetapkan apa hukumnya yang seharusnya berlaku bagi suatu situasi,
berarti memilih kaidah hukum dan makna yang paling tepat atau paling dapat
diterima dari berbagai kemungkinan kaidah hukum, dari perangkat aturan hukum
yang terkait dalam hubungan dengan situasi kemasyarakatan yang bersangkutan.
Dalam proses pengkajian yang demikian itu, peneliti atau ilmuwan hukum harus
memberikan alasan atau argumen untuk secara rasional mendukung apa yang
dipandangnya sebagai fakta relevan dari kaidah hukum serta maknanya yang paling
tepat atau paling dapat diterima dari aturan hukum terkait.
Ini berarti bahwa kegiatan pengkajian ilmu hukum berintikan argumentasi,
yakni argumentasi yuridis atau penalaran Hukum, oleh karena itu teori
argumentasi me megang peranan sangat penting dalam pengkajian ilmu hukum.,
sebab teori ini dapat memberikan sudut pendekatan, di mana berdasarkan teori
argumentasi ini seorang ilmuwan hukum dapat menjelaskan dasar-dasar yang
melandasi putusan tentang apa fakta relevannya dan apa hukumnya serta pengujian
terhadapnya. Dengan kata lain teori argumentasi dapat menyajikan kriteria
rasionalitas untuk mengkaji kegiatan dan produk pengembanan ilmu hukum.
Argumentasi pada dasarnya adalah bentuk penampilan proses kegiatan
berpikir, sejak zaman Yunani sudah dibedakan dua kutub cara berpikir, yakni
berpikir aksiomatik dan berpikir tipikal. Berpikir aksiomatik merupakan proses
berpikir yang bertolak dari kebenaran yang tidak diragukan melalui mata rantai
yang bebas ragu, sampai pada kesimpulan yang mengikat. Proses berpikir ini
mengacu pada model pengetahuan yang pasti yang digambarkan dalam sebuah sistem
yang puncaknya berupa seperangkat aksioma yang eviden, selanjutnya melalui mata
rantai perantara
yang
bebas-ragu dijabar ke dalam suatu keseluruhan putusan detail. Model pikiran
ideal ini mencerminkan usaha yang sudah tertanam dalam pikiran manusia. Dalam
proses berpikir, manusia selalu berusaha menemukan landasan dan pembenaran bagi
pendapatnya dan mengusahakan juga kesatuan, kesaling berkaitan, kebertatanan.
Kutub lawannya, yakni berpikir problematik adalah berpikir dalam suasana yang
di dalamnya tidak ditemukan kebenaran bebasragu, yang di dalam pertentangan
pendapat masalahnya bergeser dari hal menentukan apa yang konklusif menjadi hal
menentukan apa yang paling dapat diterima, yang paling akseptabel dan yang
paling plausibel. Untuk itu maka diajukan alasan-alasan untuk mendukung
pendapat tertentu yang kekuatannya diuji dalam diskusi.
Dalam pengkajian ilmu hukum untuk membangun konsep dan teori, model
berpikir yang digunakan adalah model berpikir problematik. Hal ini karena dalam
membangun konsep atau dalam menyusun teori model berpikir ini sangat
berpengaruh untuk merumuskan argumentasi hukum. Alasannya karena argumentasi
hukum itu terdiri dari unsur-unsur diskursus hukum, retorika hukum dan logika
hukum sehingga dengan demikian melibatkan perangkat kaidah logika formal. Aspek
retorika dari penalaran hukum ditujukan pada aktivitas hukum yang mencakup
pembentukan hukum maupun pemberian putusan hukum. Ciri khan dari retorika hukum
adalah mengacu pada sumber hukum formal. Dalam retorika hukum alasan-alasan
yang dikemukakan untuk melandasi suatu pendapat pada akhirnya akan selalu
mengacu pada perangkat sumber hukum formal.
Dalam membangun konsep dan penyusunan teori didasarkan pada ketepatan
merumuskan masalah hukum kedalam pertanyaan-pertanyaan yuridis. Ketepatan
perumusan masalah hukum itu ditentukan oleh ketepatan persepsi atau pemahaman
terhadap situasi yang memunculkan masalah hukum. Untuk memperoleh pemahaman
masalah setepat mungkin, maka situasi tersebut harus dianalisis ke dalam
fakta-fakta relevan yang mewujudkannya. Mengkualifikasi situasi untuk
menetapkan fakta-fakta yang yuridis relevan dengan memisahkannya dengan yang
tidak relevan, dilakukan berdasarkan kaidah hukum yang akan ditemukan, dengan
menggunakan metode interpretasi atau konstruksi Hukum, terhadap aturan hukum
atau sejumlah aturan hukum yang relevan terhadap situasi faktual yang dihadapi.
Sebaliknya, memilih aturan dan menemukan kaidah hukum yang relevan, harus atau
hanya dapat dibenarkan jika dilakukan dari sudut situasi kenyataan faktual yang
dihadapi. Jadi, dalam proses berpikir untuk merumuskan konsep dan teori guna
penyelesaian masalah hukum, berlangsung dalam proses lingkaran hermeneutika.
Proses membangun konsep yang demikian ini, menunjukkan bahwa kegiatan
pengembangan ilmu hukum selalu melibatkan dua aspek, yakni kaidah hukum dan
fakta, dengan kata lain aspek normatif preskriptif untuk menemukan kaidah
hukumnya dan aspek empiris deskriptif untuk menetapkan fakta yang relevan dari
kenyataan yang dihadapi, bahwa dalam proses pengembanan-nya kedua aspek itu
berinteraksi atau harus diinteraksikan. Putusan yang diambil untuk ditawarkan
sebagai penyelesaian bagi masalah hukum yang dihadapi itu dimaksudkan sebagai
penyelesaian definitif yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Dalam pengkajian ilmu hukum terutama dalam membangun konsep dan menyusun teori
harus selalu mengacu pada nilai, sebab hukum yang menjadi obyek studi ilmu
hukum adalah hasil karya cipta manusia dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
manusia pada kehidupan yang tertib berkeadilan. Tiap kaidah hukum positif
adalah produk penilaian manusia terhadap perilaku manusia yang me ngacu pada
ketertiban berkeadilan yang berakar pada nilai-nilai. Hukum dengan berbagai
kaidahnya adalah aspek kebudayaan. Ini berarti bahwa tata hukum itu ber-muatan
atau mencerminkan sistem nilai, sehubungan dengan itu pemahaman secara ilmiah
terhadap hukum dan penggunaannya dalam kehidupan nyata hanya mungkin bermakna
jika dilakukan dengan mengacu pada nilai dari titik berdiri internal terbatas.
Dengan kata lain, ilmu hukum itu tidak bebas nilai.
Mengingat bahwa obyek telaahnya adalah realitas yang sarat nilai, dan ilmu
hukum itu sendiri tidak bebas nilai, maka pengembanan ilmu hukum juga mengemban
fungsi kritis terhadap obyek telaahnya. Dilaksanakannya fungsi kritis ini,
dengan mengacu pada cita hukum sebagai norma kritisnya, akan mendorong
penerapan dan pengembangan hukum yang sesuai dengan tujuannya, sehingga dengan
itu mendorong dilaksanakannya praksis dan politik hukum yang adekuat, terhadap
tujuan hukum dalam kerangka cita negara dan tujuan menegara pada umumnya. Atas
dasar itu juga, pengembanan ilmu hukum berdampak atau menyandang sifat
mengkaidahi, dan dengan demikian secara langsung terlibat pada proses
pembentukan hukum dan penemuan hukum.
Atas dasar hal tersebut dalam membangun konsep dan menyusun teori pada
kajian ilmu hukum normatif, memerlukan kepekaan dalam menganalisis masalah,
memerlukan ketajaman pikiran guna menyusun teori, sehingga mampu menjelaskan
gejala-gejala hukum dengan jelas. Penyusunan teori itu sendiri harus dilakukan
menurut kaidah-kaidah yang berlaku umum dalam ilmu pengetahuan hukum, yaitu
dirumuskan dalam konsep yang jelas, konsisten, sederhana, dan akurat.
5. Penalaran Hukum
Kajian ilmu hukum normatif, adalah proses nalar dan penalaran hukum yang
bertumpu pada aturan berpikir yang dikenal dalam logika. Penggunaan logika
dalam ilmu hukum mengandung ciri khas yang berkenaan dengan hakekat hukum,
sumber hukum dan jenis hukum. Jadi dalam pengkajian ilmu hukum normatif ketiga
masalah ini harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh, sebab apabila
seorang peneliti atau pengkaji hukum tidak memperhatikannya akan terjadi bias
terhadap hasil pengkajian. Dalam penalaran hukum, persoalan yang timbul dengan
penggunaan logika jika berhadapan dengan hakekat hukum akan menimbulkan
persoalan tentang norma, sebab hakekat hukum sebagai norma adalah pedoman
perilaku. Dalam kehidupan masyarakat pedoman perilaku bukan hanya hukum, tapi
juga ada norma lain seperti norma moral, norma agama, norma susila, dan
sebagainya, jadi apakah norma moral juga uga merupakan norma kelakuan yang
dapat dipaksakan berlakunya secara yuridis? Hal ini merupakan kajian yang khas
dalam penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif.
Begitu pula halnya dengan penggunaan logika jika berhadapan dengan sumber
hukum. Sumber hukum sesuai dengan tingkatannya menghasilkan berbagai jenjang
norma, artinya norma yang terkandung dalam Undangundang sebagai sumber Hukum,
berbeda dengan norma yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang, begitu. juga dengan norma yang terkandung dalam hukum dasar atau
konstitusi. Jadi pada ta.- taran yang demikian penalaran hukum akan berhadapan
dengan permasalahan jenjang norma. Hukum konstitusi ini merupakan bagian hukum
yang Barat dengan politik. Boleh dikatakan hukum konstitusi berpijak pada dua
kaki, kaki pertama adalah politik; yaitu yang menentukan gagasan-gagasan
politiknya, kaki kedua adalah hukum; yaitu yang memberikan bentuk hukum pada
gagasan kebijakan politik yang telah diputuskan sehingga dapat dijadikan dasar
kekuatan berlakunya kebijakan tersebut, karena itu hukum konstitusi juga
disebut hukum politik. Kemudian dalam suatu sistem hukum Indonesia, ditemukan
bagian hukum lain yang bukan mengatur negara, tetapi mengatur masyarakatnya.
Bagian ini disebut hukum dalam arti yang sebenarnya atau yang dikenal dengan
ordinary law yang dilawankan dengan constitutional law, bagian ini masih dibagi
lagi dalam sub-bagian seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi
negara. Dalam sistem hukum Romawi dikenal adanya pembagian lain, yaitu hukum
privat yang dalam hal ini adalah hukum perdata, dan hukum publik yang termasuk
di sini hukum pidana dan hukum administrasi negara.
Dalam banyak hal, akan lebih sulit lagi apabila penggunaan logika dalam
penalaran hukum berhadapan dengan jenis hukum, pada tataran ini penalaran hukum
harus sesuai dengan asas dan paradigma dari jenis hukum yang bersangkutan.
Maksudnya-paradigma tentang tujuan hukum berupa keadilan dan kebenaran yang
terdapat pada setiap jenis hukum itu kadarnya berbeda satu sama lain. Misalnya
keadilan dan kebenaran menurut asas hukum tata negara, hukum administrasi
negara dan hukum pidana tidak bisa disamakan, walau ketiga bagian hukum itu
mengacu pada kepentingan masyarakatnya bukan individunya. Keadilan politik yang
diem-ban oleh hukum tata negara mengacu pada peningkatan akses sebanyak mungkin
anggota masyarakat, untuk dapat berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
politik yang secara umum disebut sebagai demokrasi. Intinya ialah kebebasan
berpendapat, kebebasan berserikat atau berorganisasi, kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan, kebebasan dalam menganut agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Pada dasarnya asas-asas hukum yang berintikan keadilan dan
kebenaran hukum di sini lebih ditekankan pada kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Berbeda dengan aspek keadilan dan kebenaran dari segi hukum administrasi
negara. Fungsi hukum di sini intinya mengemban dan melayani kepentingan
masyarakat, baik material maupun spiritual. Masyarakat terdiri dari
kelompok-kelompok besar dan kecil, terdiri dari unit-unit yang satu dengan.
yang lain yang berbeda sifatnya. Ada kelompok yang disebut keluarga yang
mendasarkan pada keturunan, ada kelompok usahawan, kelompok profesi dan
kelompok lainnya yang mendasarkan pada tercapainya atau terpeliharanya
kepentingan mereka. Jumlah kelompok tersebut tidak dapat dihitung, akan tetapi
yang jelas kepentingan masing-masing kelompok sangat berbeda-beda, bahkan
kadang-kadang berlawanan antara satu dengan lain. Disinilah fungsi hukum
administrasi negara, di satu pihak bagaimana dapat melayani sekian banyak
kepentingan secara optimal sedang di lain pihak bagaimana dapat menyerasikan
kepentingan-kepentingan tersebut agar tidak berbenturan satu dengan lain.
Pelayanan terhadap kepentingan-kepentingan tersebut di atas, diarahkan agar
tercapai keadilan secara merata atau yang disebut sebagai keadilan distributif.
Suatu hal yang menjadi sifat atau ciri khas hukum administrasi negara yang
tidak ada atau tidak ditemukan pada hukum perdata maupun hukum pidana ialah;
penentuan norma hukum atau materinya. Penentuan norma hukum administrasi
tidak sekali jadi, artinya tidak hanya ditentukan oleh pembuat undang-undang,
dalam hal ini pembuat undang-undang hanya dapat menentukan norma yang bersifat
umum dan abstrak. Dalam pelaksanaan selanjutriya secara bertahap norma yang
umum dan abstrak tersebut, melalui produk-produk peraturan yang makin lebih
rendah secara berjenjang berturut-turut menjadi norma umum yang konkrit,
artinya dihubungkan dengan masalah tertentu, kemudian turun lagi menjadi norma
individual tetapi masih abstrak dan tahap yang terakhirnya barulah berwujud
menjadi norma yang individual dan konkrit, hal ini banyak ditemui dalam bentuk
keputusan-keputusan pajabat administrasi negara.
Aspek keadilan dalam hukum pidana, mempunyai sifat yang lain, fungsi hukum
pidana adalah sebagai hukum pengawal, yaitu menjaga agar kepentingan-kepentingan
hukum yang ada dalam hukum tata negara, hukum administrasi negara dan juga
dalam hukum perdata benar-benar ditaati dan tidak dilanggar. Ada yang disebut
hukum pidana umum, yaitu yang memberikan ancaman pidana terhadap
perbuatan-perbuatan yang menurut pera.- saan hukum masyarakat merupakan
kejahatan. Setelah negara timbul, negara mengambil alih dalam menjaga dan
melindungi kepentingan-kepentingan tersebut dengan menjadikannya, sebagai
perbuatan pidana dan disusun dalam suatu kodifikasi yang dikenal dengan kitab
undangundang hukum pidana.
Tentang hukum perdata, asas keadilannya ialah yustitia commutative atau
asas keadilan timbal balik di antara pihak-pihak yang bersangkutan, dan pada
umumnya asas ini dilaksanakan dengan baik oleh mereka yang terkait sehingga
tidak menimbulkan permasalahan. Hanya dalam jenis hubungan perdata yang
memerlukan persyaratan- persyaratan kompleks, seperti perdagangan efek, kredit
dengan jaminan yang meliputi jumlah uang yang besar dan lainnya sering timbul
sengketa. Dalam sengketa perdata ini, kebenaran yang dapat diperoleh hanyalah
kebenaran formal, sehingga keadilan dalam penyelesaian sengketa itu hanyalah
bersifat formal. Dengan demikian jelas bahwa penalaran hukum dengan menggunakan
logika dalam pengkajian ilmu hukum Normatif, memerlukan kehati-hatian dan harus
memenuhi aturan proses berpikir yang ditentukan dalam logika. Dalam penalaran
hukum, kesimpulan sering tergantung pada penilaian kelayakan dari pengambilan
keputusan, karena itu dalam praktek yang sering terjadi. adalah proses Tatar
belakang berpikirnya selalu dirumuskan dalam bentuk silogistik. Tentang
kualitas logika penalaran hukum, Bermann menunjuk pada ciri-ciri khas penalaran
hukum sebagai berikut:
Pertama, penalaran hukum berusaha mewujudkan konsistensi dalam
aturan-aturan hukum dan putusan hukum. Dasar berpikirnya adalah keyakinan bahwa
hukum harus berlaku sama bagi semua orang yang masuk ke dalam yurisdiksinya.
Jadi terhadap kasus yang sama harus diberi putusan yang sama berdasarkan asas
similia simlibus atau asas persamaan.
Kedua, penalaran hukum berusaha memelihara kontinuitas dalam
waktu. Penalaran hukum akan mengacu pada aturan-aturan hukum yang sudah
terbentuk sebelumnya dan putusan-putusan hukum terdahulu, sehingga dapat
menjamin stabilitas dan prediktabilitas. Ketiga, dalam penalaran hukum terjadi
penalaran dialektikal yakni menimbang-nimbang klaim yang berlawanan, baik dalam
perdebatan pada pembentukan undang-undang maupun dalam proses mempertimbangkan
pandangan dan fakta yang diajukan para pihak dalam proses peradilan atau dalam
proses negosiasi.
Kesimpulannya, dalam tiga ciri khas penalaran
hukum itu secara implisit terkandung analogi, yakni membanding-bandingkan hal
atau kejadian untuk menemukan kesamaan dan perbedaan, untuk kemudian
berdasarkan temuan itu menarik kesimpulan. Pada dasarnya, bentuk logika hukum
yang paling utama adalah penalaran analogikal. Penalaran analogikal sebagai
pola dasar penalaran Hukum, dapat dibedakan ke dalam analogi doktrin hukum dan
analogi preseden. Analogi doktrin hukum dirumuskan dalam undang-undang dan
bentuk aturan hukum yang lain, misalnya membandingkan kasus yang dihadapi
dengan kasus yang secara eksplisit diatur dalam suatu aturan hukum.
Berdasarkan kesamaan dan perbedaan antara dua kasus tersebut, ditentukan
apakah kasus yang tengah dihadapi termasuk ke dalam jangkauan keberlakuan atau
wilayah penerapan aturan hukum tersebut atau tidak. Pada analogi preseden yang
terjadi adalah membandingkan fakta-fakta dari kasus yang dihadapi dengan
fakta-fakta dari kasus-kasus yang sudah diputus di masa lalu.
Jadi penalaran hukum melibatkan penalaran induksi jika penalarannya
berdasarkan kasus-kasus terdahulu yang sudah diputus, dan juga melibatkan
penalaran deduksi jika penalarannya bertolak dari aturan hukum yang berlaku
umum.
Sumber : www.makmurjayayahya.com
Posting Komentar untuk "Ilmu Hukum Normatif "