Etika Profesi Keperawatan dan Hukum Kesehatan
Gerardus Gegen, S.H., MH.Kes.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Perawat Indonesia (LBHPI)
makmurjayayahya.com - Lemahnya perlindungan hukum bagi perawat meskipun di dalam peraturan perundang-undangan dicantumkan dengan jelas bahwa perawat memperoleh perlindungan sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar etik, standar profesi, dan standar prosedur, namun dan belum ada peraturan pelaksana yang menjelaskan bagaimana bentuk, langkah-langkah dan cara melakukan upaya perlindungan hukum bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Di tambah lagi pengetahuan dan wawasan perawat tentang hukum masih sangat kurang.
BAB I
PENDAHULUAN
Kesehatan sebagai hak asasi manusia yang diakui secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hak warga negara dan tanggung jawab negara. Hak asasi bidang kesehatan ini harus diwujudkan melalui pembangunan kesehatan yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat dengan menanamkan kebiasaan hidup sehat.
Penyelenggaraan pembangunan kesehatan diwujudkan melalui pemberian pelayanan kesehatan yang didukung oleh sumber daya kesehatan, baik tenaga kesehatan maupun tenaga non-kesehatan. Perawat dalam melaksanakan pelayanan kesehatan berperan sebagai penyelenggara Praktik Keperawatan, pemberi Asuhan Keperawatan, penyuluh dan konselor bagi Klien, pengelola Pelayanan Keperawatan, dan peneliti Keperawatan. Pelayanan Keperawatan yang diberikan oleh Perawat didasarkan pada pengetahuan dan kompetensi di bidang ilmu keperawatan yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan Klien, perkembangan ilmu pengetahuan, dan tuntutan globalisasi. Pelayanan kesehatan tersebut termasuk Pelayanan Keperawatan yang dilakukan secara bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, dan aman oleh Perawat yang telah mendapatkan registrasi dan izin praktik. Praktik keperawatan sebagai wujud nyata dari Pelayanan Keperawatan dilaksanakan secara mandiri dengan berdasarkan pelimpahan wewenang, penugasan dalam keadaan keterbatasan tertentu, penugasan dalam keadaan darurat, ataupun kolaborasi.
Untuk menjamin pelindungan terhadap masyarakat sebagai penerima Pelayanan Keperawatan dan untuk menjamin pelindungan terhadap Perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan, diperlukan pengaturan mengenai keperawatan secara komprehensif yang diatur dalam undang-undang. Atas dasar itu, maka dibentuk Undang-Undang tentang Keperawatan untuk memberikan kepastian hukum dan pelindungan hukum serta untuk meningkatkan, mengarahkan, dan menata berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan Keperawatan dan Praktik Keperawatan yang bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, dan aman sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Akan tetapi setelah lahirnya Undang-Undang Keperawatan justru malah membuat ruang gerak dan ruang lingkup perawat semakin terbatas dan terbebani. Bagaiamana tidak, peraturan pelaksana dari Undang-Undangpun sampai sekarang juga belum keluar. Selain itu juga aparat penegak hukum tidak menggunakan dan/atau mengacu pada Undang-Undang Keperawatan saat sedang memproses dan mengadili perawat yang terjerat kasus hukum. Padahal diketahui bahwa Undang-Undang Keperawatan itu adalah lex specialis.
Seperti pada contoh-contoh kasus Perawat ZA dari RS National Hospital Surabaya yang dijerat Pasal 290 ayat (1) dan heboh di media sosial, lalu Pensiunan Mantri berinisial BR yang dijerat Pasal 360 KUHP dan Perawat Harsono Eko Saputro yang melakukan praktik keperawatan mandiri dijerat Pasal 196 dan Pasal 197 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Lemahnya perlindungan hukum bagi perawat meskipun di dalam peraturan perundang-undangan dicantumkan dengan jelas bahwa perawat memperoleh perlindungan sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar etik, standar profesi, dan standar prosedur, namun dan belum ada peraturan pelaksana yang menjelaskan bagaimana bentuk, langkah-langkah dan cara melakukan upaya perlindungan hukum bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Di tambah lagi pengetahuan dan wawasan perawat tentang hukum masih sangat kurang.
Oleh sebab itu, penulis ingin memberikan gambaran, wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa dan praktisi tentang hukum bagi perawat melalui buku ini. Diharapkan buku dengan judul “Etika Profesi Keperawatan & Hukum Kesehatan” ini setidaknya mampu memberikan gambaran seperti apa hukum dalam pelayanan kesehatan itu dan bagaimana melindungi diri sendiri dari jeratan hukum. Sehingga tindak pidana baik kurungan maupupun denda itu bisa dicegah dan dihindari dalam proses pelayanan keperawatan.
BAB II
SEJARAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG KEPERAWATAN
Pada tanggal 25 September 2014 jam 12:10, akhirnya RUU
Keperawatan disahkan menjadi UU tentang Keperawatan pada sidang paripurna DPR
RI. Hari yang bersejarah setelah perjuangan panjang sejak tahun 1989, ketika Program
Studi Ilmu Keperawatan di Universitas Indonesia (PSIK-FKUI) meluluskan Perawat
dengan pendidikan sarjana melalui sistem pendidikan tinggi yang diakui secara
nasional. Keberadaan PSIK FKUI sebagai Pendidikan Tinggi Keperawatan di
Indonesia yang ditubuhkan di Universitas Indonesia tahun 1985, merupakan
perwujudan dari kesepakatan Lokakarya Nasional, Januari 1983. Pada waktu itu
Pelopor pembangunan sistem pendidikan tinggi keperawatan di Indonesia antara
lain: Prof. Ma'rifin Husin (Ketua/Sekretaris CHS), Prof. A.A. Loedin (almarhum,
Deputi Menristek RI), Dr. Farinaz Parsay (Konsultan WHO), Dr. M. Isa (almarhum,
Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI), Kelompok Kerja Keperawatan CHS (Consortium
of Health Sciences), Pengurus Persatuan Perawat Nasional Indonesia, dan banyak
lagi orang orang penting di belakang layar yang mendorong pengembangan profesi
keperawatan melalui penataan sistem pendidikan tinggi keperawatan. Lokakarya
Nasional menyepakati bahwa keperawatan adalah suatu profesi dan pendidikan
keperawatan sebagai pendidikan profesi berada dalam sistem pendidikan tinggi nasional.
Ditetapkanlah struktur, jenjang dan jenis pendidikan keperawatan dengan
proyeksi jenjang pendidikan sampai Spesialis 2 dan S3/Doktor dengan berbagai
jenis spesialisasi bidang keperawatan.
Pada
tahun 1989 inilah sebenarnya embrio RUU keperawatan berawal. Beranjak dari
pemikiran tentang pentingnya landasan hukum untuk mengatur profesi keperawatan
secara utuh yang mencakup pendidikan, praktik/pelayanan dan penelitian
keperawatan serta kehidupan keprofesian, PSIK didukung oleh CHS, Depkes dan WHO
menugaskan kepada Prof. A. A. Loedin dan Prof. Herkustanto (pada waktu itu
belum Professor) sebagai konsultan untuk melakukan kajian tentang landasan
hukum untuk keperawatan.Ternyata dari hasil temuan tersebut,tidak ada regulasi
yang cukup kuat untuk mengatur keperawatan secara utuh sebagai suatu profesi. Oleh
karena itu, salah satu rekomendasinya adalah penting adanya Undang Undang
Keperawatan yang mengatur sistem keperawatan sebagai profesi dan perlindungan kepada
masyarakat secara komprehensif dan mendasar. Pada tahun 1992 Undang Undang No.
23 tentang Kesehatan disahkan dan di dalam UU tersebut dituliskan tentang
pengakuan bahwa keperawatan adalah profesi dengan keahlian yang dipersyaratkan
untuk memperoleh kewenangan praktik sesuai dengan ilmu keperawatan. Selanjutnya
pada tahun 1998, Dr. Farinaz Parsay sebagai konsultan WHO didampingi oleh
Konsultan Nasional yaitu Achir Yani mewakili profesi keperawatan dan seorang
wakil Ikatan Bidan mewakili kebidanan. Sepuluh key result areas (bidang hasil pokok) atau biasa disebut sasaran,
dihasilkan. Salah satu sasaran tersebut adalah "adanya sistem regulasi
untuk pendidikan dan praktik keperawatan dan kebidanan untuk melindungi
masyarakat"
Pada
tahun 2000, dengan berbagai upaya meyakinkan berbagai pihak dan dukungan dari dalam
Departemen Kesehatan yaitu Prof. Azrul Azwar (almarhum), Direktorat Bina
Pelayanan Keperawatan dan Keteknisian Medis dibentuk dan masuk dalam struktur
organisasi Departemen Kesehatan. Walaupun baru pada tahun 2003 Direktorat baru
dipimpin oleh Perawat, yaitu Ibu Dra. Herawani Azis, M.Kes, M.Kep.Sejak tahun
2000, bersama Biro Hukum dan Organisasi dan Unit Depkes terkait, Direktorat
Keperawatan didukung oleh WHO menyusun Rancangan awal UU Keperawatan dengan
konsultan WHO, Dr. Tassana Bontoong, yang saat itu sebagai President of
Thailand Nursing Council. Ketika itu, IBI memutuskan untuk memiliki UU
terpisah dari UU Keperawatan.
Departemen
Kesehatan memfasilitasi kelanjutan penyusunan RUU untuk kedokteran (kedokteran
dan kedokteran gigi), keperawatan, dan kebidanan. Bapak Faiq Bahfein sebagai
fasilitator utama dan tentunya beberapa pejabat Depkes dan perwakilan
organisasi profesi dan nara sumber ikut terlibat dalam penyusunan RUU bagi
beberapa profesi kesehatan tersebut. Pada tahun 2004, UU Praktik Kedokteran
disahkan, sementara pada tahun 2005, RUU Praktik Keperawatan dan RUU Praktik
Kebidanan dengan inisiatif Pemerintah masuk dalam Program Legislasi Nasional
dengan urutan 160 dan 161 untuk diselesaikan oleh DPR RI periode 2004-2009.
Ironis
sekali, ketika MRA (Mutual Recognition
Arrangement) untuk 10 Negara ASEAN ditandatangani 8 Desember 2006 di Cebu,
Philippines,hanya Indonesia, Laos dan Vietnam yang belum memiliki UU
Keperawatan. Konsekuensi dari MRA tersebut, apabila hingga 2010, belum ada "credentialing system", maka
Perawat Indonesia tidak diakui untuk bisa bekerja di negara lain, sedangkan
perawat asing akan bisa masuk bebas ke Indonesia tanpa melalui sistem uji
kompetensi yang ditentukan oleh Indonesia. Namun walaupun kondisi yang cukup
genting tersebut, hingga tahun 2008, di saat sudah akan dilakukan pemilihan
legislatif dan presiden, RUU Keperawatan tetap saja tidak disentuh apalagi
dibahas. Dorongan dari Pemerintah juga tidak tampak nyata. RUU Praktik
Keperawatan yang kemudian diganti menjadi RUU Keperawatan, yang tidak saja
diharapkan untuk mengatur praktik, namun juga mengatur pendidikan dan pelatihan
bagi perawat, dan hubungan antara Konsil Keperawatan dengan berbagai focal points keperawatan, sebagaimana
hasil kajian terhadap sejumlah Nursing
Act dari berbagai negara. Oleh karena itu, pada Rapat Pimpinan Nasional
PPNI di Semarang 2008, disepakati untuk melakukan aksi nasional untuk mendesak
agar RUU Praktik Keperawatan segera dibahas melalui inisiatif DPR RI, bukan
Pemerintah. Pro dan kontra di antara kalangan komunitas keperawatan dan
pemerhati keperawatan terjadi. Ada yang mendukung gerakan aksi simpatik, namun
ada yang menolak dengan berbagai alasan. Serangkaian lobby dan aksi simpatik baik
di DPR RI maupun di Kementrian Kesehatan dilakukan dengan satu tekat bahwa RUU
Keperawatan harus disahkan. RUU Keperawatan masuk dalam agenda DPR RI untuk
diproses oleh DPR RI Periode 2009-2014.
Masukan
dari beberapa anggota DPR RI yang konsisten mendukung terus menjadi acuan utama
untuk bergerak mendorong pengesahan RUU Keperawatan. Berbagai nama Fraksi dan
Legislator pendukung proses, akan terus dikenang dengan rasa penghargaan yang
tinggi. Mereka selalu ada, ketika tantangan menghadang terutama ketika proses
harmonisasi substansi RUU dengan Pemerintah, tidak selalu berjalan lancar
kendatipun tetap dinamis. Proses politik terus berlangsung dengan resistensi
dari berbagai pihak. Namun rasa kesatuan dan persatuan sesama perawat dan
antara perawat dengan masyarakat yang berhak untuk mendapatkan perlindungan dan
akses terhadap pelayanan keperawatan dan kesehatan, akhirnya mengantarkan RUU
Keperawatan disahkan pada tanggal 25 September 2014.
Banyak
nama yang terlibat dalam perjuangan panjang ini. Beberapa periode kepemimpinan
PPNI sudah turut berjuang, dan akhirnya di bawah kordinasi Kordinator Satgas
RUU Keperawatan yaitu Bapak Harif Fadillah, SKp, SH, dengan Kordinator Lapangan
Iwan Effendi, dan tentunya Ketua Umum PP PPNI periode 2010-2015, Ibu Dewi Irawaty,
MA, Ph.D. Kerjasama yang erat dengan Direktorat Keperawatan Kemkes dan beberapa
stake holders, Pengurus PPNI di Pusat
dan Daerah yang telah berjuang bersama dengan penuh kesabaran. Akhirnya
disahkannya RUU Keperawatan menjadi UU Keperawatan. Menjadi tanggung jawab
Perawat bersama untuk terus menata implementasi UU Keperawatan ke depan agar
sesuai dengan tujuan utama keberadaannya adalah untuk melindungi masyarakat dan
perawat, memberikan apa yang menjadi hak masyarakat sebagai bagian dari hak
azasi manusia yang tidak bisa dan tidak boleh dihapuskan.[1]
Undang-undang keperawatan adalah tantangan. Tantangan bagi perawat untuk membuktikan bahwa perawat adalah profesi tenaga kesehatan yang mampu menyelenggarakan pelayanan keperawatan secara bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, aman, dan terjangkau oleh perawat yang memiliki etik dan moral tinggi, sertifikat, registrasi dan lisensi. Dengan tuntutan semacam itu maka profesi perawat harus dapat menjawabnya dengan memberikan pelayanan secara profesional. Bukan pelayanan yang hanya berdasarkan insting belaka tetapi harus dilandasi oleh keilmuan.[2]
[1] Achir
Yani Syuhaimie Hamid, 2014, Perjuangan
Panjang untuk Undang-Undang Keperawatan, Diakses pada: https://www.kompasiana.com/ayanihamid/54f958f8a33311fc078b4c94/perjuangan-panjang-untuk-undang-undang-keperawatan (Tanggal 1 Januari 2019).
[2] Puji
Hastuti, 2014, Mengenal Undang-Undang
Keperawatan, Diakses pada: https://www.kompasiana.com/pujih/54f92a6da33311ed068b4882/mengenal-undang-undang-keperawatan (Tanggal 1 Januari 2019).
BAB III
ASAS, TUJUAN DAN FUNGSI HUKUM DALAM KEPERAWATAN
Menurut J.C.T Simorangkir dan Woerjono
Satropranoto, Pengertian Hukum adalah
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, dimana menentukan tingkah laku
manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang
berwajib.[1]
R. Soerso
mengatakan Pengertian Hukum merupakan
himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan mengatur tata
kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta
mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang
melanggarnya.[2]
Menurut
Utrecht, Pengertian Hukum adalah himpunan peraturan (perintah dan
larangan) yang mengurus tata tertib kehidupan masyarakat yang harus ditaati
oleh masyarakat. Hukum merupakan himpunan petunjuk hidup, larangan dan perintah
yang mengatur tata tertib dalam masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh
anggota masyarakat. Oleh karenanya pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat
menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa.[3]
Menurut Sudikno
Mertokusumo, Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau
kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tibgkah
laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yangdapat dipaksakan
pelaksanaanya dengan suatu sanksi.[4]
A. Asas-Asas Hukum
Sebelum
membahas tentang tujuan dan fungsi hukum, alangkah baiknya apabila mengenali
terlebih dahulu asas-asas dalam hukum yang sering digunakan dan/atau di ucapkan
oleh beberapa ahli kesehatan yang memiliki latar belakang pendidikan hukum.
· Asas Legalitas (Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali) : Tidak boleh di hukum
seseorang apabila peraturan perundang-undangan tidak mengatur tentang perbuatan
yang dia lakukan.
· Lex specialis derogat legi generali:
Kalau terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang yang khusus dengan yang
umum maka yang khusus yang berlaku
· Lex superior derogat legi inferiori:
Kalau terjadi konflik/pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang
tinggi dengan yang rendah maka yang tinggilah yang harus didahulukan.
·
Lex posteriori derogat legi priori:
Undang-undang yang lama dinyatakan tidak berlaku apabila ada undang-undang yang
baru yang mengatur hal yang sama.
·
Lex Rei Sitae, Lex Situs: Status
hukum benda tidak bergerak/ tetap, tunduk kepada hukum dimana benda itu berada
(Statuta realita).
·
Lex Loci Contractus: Dalam Perjanjian
Perdata Internasional, hukum yang berlaku adalah hukum negara dimana perjanjian
dibuat.
·
Lex Loci Solotionis: Hukum yang berlaku
adalah hukum negara dimana perjanjian itu dilaksanakan.
·
Lex Loci Delicti Commissi: Apabila terjadi
perbuatan melanggar hukum / wan prestasi, maka yang berlaku adalah hukum negara
dimana penyelewengan perdata itu terjadi.
·
Lex Fori: Dalam hal terjadi penyelewengan
perdata, hukum yang berlaku adalah hukum negara dimana perkara diadili.
·
Lex Loci Actus: Berlaku hukum dimana
dilakukannya suatu perbuatan hukum.
· Lex Partriae: Hukum yang berlaku
bagi para pihak atau salah satu pihak dalam berperkara adalah Hukum
kewarganegaraannya.
· Lex Locus Delicti: Hukum yang berlaku
untuk menyelesaikan suatu perkara adalah hukum dimana perbuatan hukum tersebut
dilakukan.
· Lex Causae: Hukum yang akan
dipergunakan adalah hukum yang berlaku bagi persoalan pokok ( pertama ) yang
mendahului persoalan yang akan diselesaikan kemudian.
· Lex Actus: Hukum dari negara yang
mempunyai hubungan erat dengan transaksi yang dilakukan.
· Lex Originis: Ketentuan hukum
mengenai status dan kekuasaan atas subyek hukum tetap berlaku diluar negeri.
·
Lex certa: Ketentuan dalam
perundang-undangan tidak dapat di artikan lain.
· Lex Loci Celebrationis: Syarat
formalitas berlangsungnya perkawinan, berlaku hukum dari negara dimana
perkawinan dilangsungkan. ( locus regit actum ).
· Locus delictie: Tempat kejadian perkara, (TKP) : (a) Tempat
dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi, atau akibat yang ditimbulkannya;
(b) Tempat-tempat lain dimana barang-barang bukti atau korban yang berhubungan
dengan tindak pidana tersebut dapat diketemukan; tempat dimana pembuat
melakukan sesuatu adalah tempat dimana ia seharusnya melakukan sesuatu, atau
tempat terjadinya akibat yang dimaksud dalam perumusan peraturan
perundang-undangan atau tempat yang menurut perkiraan pembuat akan terjadi
akibat ini.
·
Asas Culpabilitas (Nulla poena sine culpa), artinya tiada pidana tanpa kesalahan.
·
Asas Opportunitas:
Penuntut umum berwenang untuk tidak melakukan penuntutan dengan pertimbangan
demi kepentingan umum.
·
Asas Presumption of Innocence
( Praduga tak bersalah ) : Seseorang harus dianggap tidak bersalah sebelum
dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
·
Asas in dubio pro reo: Dalam hal terjadi
keragu-raguan maka yang diberlakukan adalah peraturan yang paling menguntungkan
terdakwa.
·
Asas Individualiteit: Obyek hak kebendaan
selalu merupakan barang yang individueel bepaald, yaitu barang yang dapat
ditentukan . Artinya seseorang hanya dapat memiliki barang yang berwujud yang
merupakan kesatuan.
·
Asas Totaliteit: Seseorang yang
mempunyai hak atas suatu barang maka ia mempunyai hak atas keseluruhan barang
itu/ bagian-bagian yang tidak tersendiri.
·
Asas Onsplitsbaarheid (tidak dapat
dipisahkan): Pemisahan dari zakelijkrechten
tidak diperkenankan, tetapi pemilik dapat membebani hak miliknya dengan iura in realiena : jadi seperti
melepaskan sebagian dari wewenangnya.
·
Asas Pacta Sunt Servanda (janji itu
mengikat). Suatu perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya.
·
Asas Konsensualitas: Suatu perjanjian sudah
sah dan mengikat ketika telah tercapai kesepakatan para pihak dan sudah
memenuhi sayarat sahnya kontrak
·
Asas Canselling: Suatu asas yang
menyatakan bahwa perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat
dimintakan pembatalan.
·
Mobilia Personam Sequuntur: Status hukum
benda-benda bergerak mengikuti status hukum orang yang menguasainya.
·
Monogami: dalam suatu perkawinan dimana
seorang laki-laki hanya boleh memiliki seorang perempuan sebagai isteri dan
seorang perempuan hanya boleh memiliki seorang suami.
·
Ne Bis In Idem: Terhadap perkara yang sama tidak dapat diajukan dua kali pemeriksaan.
·
Onrechtmatige Overheidts daad:
Perbuatan yang melanggar hukum.
·
Unus Testis Nullus Testis: Satu saksi
bukan sanksi, maksudnya keterangan seorang saksi harus dilengkapi dengan
bukti-bukti lain.
·
Ubi Socitas Ibi Ius: Dimana Ada masyarakat disitu ada Hukum.
·
Uit Voerbaar bij Vooraad: Putusan yang dapat dilaksanakan Terlebih Dahulu, meskipun pihak yang
kalah mengajukan banding ataupun kasasi.
· Putusan Contradictoir: Putusan atas bantahan,
suatu putusan yang diambil setelah mendengarkan keterangan kedua belah pihak.
·
Provisionel Eis: Putusan Sela, putusan
yang diambil oleh hakim sebelum menjatuhkan putusan akhir.
·
Putusan Condemnatoir: putusan yang bersifat
penghukuman.
·
Putusan Declaratoir: Putusan yang
menentukan sifat suatu keadaan dengan tidak mengandung perintah kepada
pihak untuk untuk berbuat ataupun tidak berbuat sesuatu.
·
Putusan Constitutief: Putusan yang
melenyapkan suatu keadaan/situasi hukum.
· Punitive damages (Ganti rugi
penghukuman): Suatu ganti rugi dalam jumlah besar yang melebihi dari jumlah
kerugian yang sebenarnya, ganti rugi itu dimaksudkan sebagai hukuman bagi si
pelaku.
·
Preponderance of evidence: Bukti-bukti
yang lebih berbobot atau lebih meyakinkan atau lebih dapat dipecaya jika
dibanding dengan bukti lainnya, atau bukti-bukti yang dianggap cukup untuk
dapat membuktikan kebenaran suatu peristiwa.
·
Pro bono: Suatu perbuatan/pelayanan hukum
yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pihak yang tidak mampu tanpa
dipungut biaya.
·
Restitutie In Intergum: Pengembalian
obyek sengketa kepada keadaan semula.
·
Rechtmatige daad: Perbuatan sesuai
dengan hukum.
·
Requisitoir: Suatu pembuktian
tentang terbukti atau tidaknya surat dakwaan.
·
Restitusi: Suatu nilai tambah
yang telah diterima oleh pihak yang melakukan wanprestasi, nilai mana terjadi
sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak oleh pihak lain dari yang melakukan
wanprestasi.
·
Saksi a charge: Saksi yang
memberatkan/memberikan keterangan yang memberatkan.
·
Saksi a decharge: Saksi yang
meringankan/memberikan keterangan yang meringankan.
·
Teori fiktie (fiksi): yang menyatakan bahwa
begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap
tahu hukum/undang-undang (een
ieder wordt geacht de wet/het recht te kennen).
·
Verzet: Perlawanan, Deer den Verzet :
Perlawanan Pihak Ketiga.
·
Verstek: Putusan yang diambil diluar hadirnya
Tergugat.
·
Verjaring (Kadaluarsa):
Lampaunya tenggang waktu yang ditetapkan undang-undang, sehingga mengakibatkan
orang yang menguasai barang memperoleh hak milik.
·
Vrijspraak (Bebas dari segala
dakwaan) : Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim karena dari hasil
pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
· Zakwaarneming ( 1345 BW ). Asas dimana
seseorang yang melakukan pengurusan terhadap benda orang lain tanpa diminta
oleh orang yang bersangkutan, maka ia wajib mengurusnya sampai tuntas.
·
Barang bukti/corpus delicti:
Barang yang digunakan untuk melakukan suatu kejahatan atau hasil dari suatu
kejahatan.
·
Beban pembuktian terbalik:
Beban yang menjadi tanggung jawab pelaku untuk membuktikan ada tidaknya unsur
kesalahan dalam kasus pidana.
· Benturan kepentingan:
Benturan yang timbul ketika kepentingan seseorang memungkinkan orang lain
melakukan tindakan yang bertentangan dengan pihak tertentu, yang kepentingannya
seharusnya dipenuhi oleh orang lain tersebut.
B. Tujuan Hukum
Menurut Achmad Ali, persoalan tujuan hukum dititikberatkan melalui tiga
sudut pandang, antara lain:
1 Dari sudut
pandang ilmu positif-normatif, atau yuridis-dogmatik, di mana tujuan hukum dititkberatkan
pada segi kepastian hukumnya.
2. Dari sudut
pandang flsafat hukum, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan.
3. Dari sudut pandang
sosiologi hukum, di mana tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatanya.[5]
Oleh hal tersebut di atas, Achmad Ali mengklasifikasikan tujuan ke dalam
dua kelompok teori, yaitu:
·
Ajaran konvensional
Ajaran konvensional dibagi menjadi tiga, antara lain:
a) Ajaran etis;
menyatakan bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan.
b) Ajaran
utilitis; menyatakan bahwa pada asasnya, tujuan hukum adalah semata-mata untuk
menciptakan kemanfaatan atau kebaahagiaan masyarakat.
c) Ajaran normative-dogmatik;
menyatakan bahwa pada asasnya, tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan
kepastian hukum.[6]
·
Ajaran Modern
Ajaran modern dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Ajaran
prioritas baku
Menurut Achmad Ali berdasarkan proritas bahu dari Radbruch, keadilan
harus selalu diprioritaskan. Ketika hakim harus memilih Antara keadilan dan
kemanfaatan, maka pemilihan harus pada keadilan. Demikian pula ketika hakim
memilih antara kemanfaatan dan kepastian, maka pilihan harus pada kemanfaatan.
Karena prioritas pertama ialah keadilan,
kemudian kemanfaatab, dan terakhir barulah kepastian.
b) Ajaran
prioritas yang kasuistis
Semakin kompleksnya kehidupan manusia di era modern,pilihan yang sudah
dibakukan kadang-kadang justru bertentangan dengan kebutuhan hukum dalam kasus-kasus
tertentu. Sebab, adakalanya dalam satu kasus, keadilan yang lebih
diprioritaskan daripada kemanfaatan dan kepastian, namun ada kalanya tidak
mesti demikian. Mungkin untuk kasus-kasus lain, justru kemanfaatanlah yang
diprioritaskan, mungkin juga justru kepastian sehingga munculah ajaran yang
paling maju yang diberi nama “prioritas yang kasuistis”.[7]
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa tujuan
hukum dalam keperawatan adalah:
1. Memberikan
keadilan bagi perawat dalam melaksanakan pelayanan keperawatan baik secara
mandiri maupun secara kolaboratif di fasilitas pelayanan kesehatan.
2. Memberikan
kemanfaatan dalam mejalankan asuhan keperawatan.
3. Meberikan
kepastian untuk dapat diakui keberadaanya sebagai salah satu pemberi layanan
kesehatan.
C. Fungsi Hukum
Menurut Achmad Ali, fungsi hukum dibedakan sebagai berikut:
1. Hukum sebagai a Tool of Social Control
Artinya bahwa hukum bisa dibergunakan sebagai alat pengendali sosial di
masyarakat.
2. Hukum sebagai a
Tool of Social Engineering
Artinya bahwa hukum dijadikan sebagai alat untuk mengubah masyarakat
dengan sistem yang teratur dan terencana.
3. Hukum sebagai Symbol
Simbol berasal dari
kata dalam bahasa Yunani “symballo” yang
artinya melempar bersama-sama, melempar atau meletakkan bersama-sama dalam satu
ide atau gagasan objek yang kelihatan, sehingga objek tersebut mewakili
gagasan. Artinya hukum mencakup proses-proses menerjemahkan atau penggambaran
atau mengartikan suatu istilah sederhana tentang hubungan sosial serta
fenomena-fenomena lainya yang timbul interaksi dengan orang lain. Contohnya:
seorang perawat mengambil handphone
milik pasien yang tergeletak di ruang rawat inap dengan maksud memiliki dengan
jalan melawan hukum, oleh hukum pidana disimbolkan sebgai tindakan pencurian
yang seyogyanya dihukum.
4. Hukum sebagai a Political Instrument
Artinya bahwa hukum bisa dijadikan sebagai alat politik.
5. Hukum sebagai Integrator
Artinya bahwa hukum dapat dipergunakan sebagai alat pnyelesaian
konflik-konfik kemasyarakatan.[8]
Menurut Petrus Soerjowonoto, fungsi hukum dibagi menjadi lima, antara
lain:
1. Hukum berfungsi
sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Fungsi ini memberikan
petunjuk kepada masyarakat bagaimana mereka harus bertingkah laku.
2. Hukum berfungsi
sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial.
3. Hukum berfungsi
sebagai alat penggerak pembangunan
4. Hukum berfungsi
sebagai alat kritik.
5. Hukum berfungsi
sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik.[9]
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis
berpendapat bahwa fungsi hukum dalam keperawatan adalah:
1. Sebagai alat
yang mengendalikan perilaku perawat dalam menjalankan asuhan keperawatan.
2. Sebagai dasar
atau acuan perawat dalam melakukan interaksi sosial di bidang kesehatan.
3. Sebagai alat
penggerak pembangunan di bidang kesehatan.
4. Sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik antara perawat dengan pasien dan antara perawat dengan tenaga kesehatan lain.
[3] Ibid, hlm. 6.
[4] Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, hlm. 40.
[5] Achmad Ali, 2015, Menguak Tabirr Hukum, Jakarta: Prenamedia Group, hlm.87.
[6] Ibid, hlm. 88.
[7] Ibid, hlm. 98-100.
[8] Ibid, hlm. 102-120.
[9] Petrus Soerjowinoto, 2017, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata, hlm.49-50.
BAB IV
KEPERAWATAN
A. Pengertian Perawat
Perawat (bahasa Inggris: nurse, berasal dari bahasa Latin: nutrix yang berarti merawat atau memelihara) adalah suatu profesi
yang di fokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan komunitas dalam
mencapai, memelihara, dan menyembuhkan kesehatan yang optimal dan berfungsi.[1]
Pasal
1 ayat (2) Undang-Undang No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan, menyebutkan
bahwa : “perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi
keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah
sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan”.
Menurut PPNI, perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan
tinggi keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh
Pemerintah sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan.[2]
Menurut Achir Yani S. Hamid, perawat
merupakan orang pertama dan secara konsisten selama 24 jam sehari menjalin kontak
dengan pasien, perawat sangat berperan dalam membantu memenuhi kebutuhan
spiritual pasien.[3]
Menurut Kusnanto, perawat adalah seseorang (seorang
profesional) yang mempunyai kemampuan, tanggungjawab dan kewenangan
melaksanakan pelayanan/ asuhan keperawatan pada berbagai jenjang pelayanan
keperawatan.[4]
Menurt Robert
Priharjo, Perawat merupakan salah satu tenaga tim kesehatan yang mempunyai
waktu yang paling lama dapat mengadakan kontak dengan pasien.[5]
Menurut
Asmadi, Perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling
sering dan paling lama berinteraksi dengan klien. Sehingga perawat adalah pihak
yang paling mengetahui perkembangan kondisi kesehatan klien secara menyeluruh
dan bertanggung jawab atas klien.Perawat merupakan penolong utama klien dalam
melaksanakan aktivitas penting guna memelihara dan memulihkan kesehatan klien
atau mencapai kematian yang damai.[6]
Perawat
menurut International
Council of Nursing (ICN) adalah seseorang yang telah menyelesaikan program
pendidikan keperawatan, berwenang di Negara yang bersangkutan untuk memberikan
pelayanan dan bertanggung jawab dalam peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit serta pelayanan terhadap pasien.[7]
B. Peran Perawat
Peran
perawat merupakan
tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukan
dalam sistem, dimana dapat dipengartuhi oleh keadaan sosial baik dari profesi
maupun diluar profesi keperawatan yang bersifat konstan. Peran perawat menurut konsirsium ilmu
kesehatan tahun 1989 terdiri dari :
1. Peran
Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan
2. Peran ini dapat dilakukan
perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhann dasar manusia yang
dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan
proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan
dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar
manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya.
3. Peran Perawat sebagai advokat klien
Peran ini dilakukan oleh
perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterprestasikan berbagai
informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam
pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien,
juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi
hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak
atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima
ganti rugi akibat kelalaian.
4. Peran
Perawat sebagai Edukator
Peran ini dilakukan dengan
membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala
penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku
dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.
5. Peran
Perawat sebagai koordinator
Peran ini dilaksanakan
dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari
tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai
dengan kebutuhan klien.
6. Peran
Perawat sebagai kolaborator
Peran ini dilakukan karena
perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis,
ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan
yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk
pelayanan selanjutnya.
7. Peran
Perawat sebagai Konsultan
Peran ini sebagai tempat
konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk
diberikan. Pertan ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi
tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.
8. Peran
Perawat sebagai Pembaharuan
Peran ini dilakukan dengan
mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah
sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.
Selain peran perawat berdasarkan konsirsium ilmu kesehatan, terdapat
pembagian peran perawat menurut hasil lokakarya keperawatan tahun 1983, yang
membagi empat peran perawat:
1. Peran
Perawat sebagai Pelaksana Pelayanan Keperawatan
Peran ini dikenal dengan
peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara langsung atau tidak
langsung kepada klien sebagai individu, keluarga, dan masyarakat, dengan metoda
pendekatan pemecahan masalah yang disebut proses keperawatan.
2. Peran
Perawat sebagai Pendidik dalam Keperawatan
Sebagai pendidik, perawat
berperan dalam mendidik individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat serta
tenaga kesehatan yang berada di bawah tanggung jawabnya. Peran ini berupa
penyuluhan kepada klien, maupun bentuk desiminasi ilmu kepada peserta didik
keperawatan.
3. Peran
Perawat sebagai Pengelola pelayanan Keperawatan
Dalam hal ini perawat
mempunyai peran dan tanggung jawab dalam mengelola pelayanan maupun pendidikan
keperawatan sesuai dengan manajemen keperawatan dalam kerangka paradigma
keperawatan. Sebagai pengelola, perawat melakukan pemantauan dan menjamin
kualitas asuhan atau pelayanan keperawatan serta mengorganisasikan dan
mengendalikan sistem pelayanan keperawatan. Secara umum, pengetahuan perawat
tentang fungsi, posisi, lingkup kewenangan, dan tanggung jawab sebagai
pelaksana belum maksimal.
4. Peran
Perawat sebagai Peneliti dan Pengembang pelayanan Keperawatan
Sebagai peneliti dan
pengembangan di bidang keperawatan, perawat diharapkan mampu mengidentifikasi
masalah penelitian, menerapkan prinsip dan metode penelitian, serta
memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu asuhan atau pelayanan dan
pendidikan keperawatan. Penelitian di dalam bidang keperawatan berperan dalam
mengurangi kesenjangan penguasaan teknologi di bidang kesehatan, karena temuan
penelitian lebih memungkinkan terjadinya transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi,
selain itu penting dalam memperkokoh upaya menetapkan dan memajukan profesi
keperawatan.
C. Fungsi Perawat
Secara teoritik menurut Patricia W.
Iyer, perawat dalam melaksanakan pelayanan kesehatan mempunyai tiga fungsi,
yaitu: fungsi keperawatan mandiri, fungsi ketergantungan dan fungsi
kolaboratif.
1.
Fungsi keperawatan
mandiri (independent) adalah
aktivitas keperawatan yang dilaksanakan atas inisiatif perawat itu sendiri
berdasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan. Mundinger menyebutnya sebagai otonomous nursing practice to independent
nursing atau those activity that are
considered to be within nursing’s scope of diagnosis and treatment. Fungsi
keperawatan mandiri pada prinsipnya juga sering disebut sebagai perawatan
holistik, yaitu keperawatan yang berfokus pada promosi kesehatan yang melihat
individu secara keseluruhan baik fisik, pikiran dan jiwanya.[8]
Contoh tindakan perawat
dalam menjalankan fungsi independen adalah:
§
Pengkajian
seluruh sejarah kesehatan pasien/keluarganya dan menguji secara fisik untuk menentukan status kesehatan.
§
Mengidentifikasi
tindakan keperawatan yang mungkin dilakukan untuk memelihara atau memperbaiki
kesehatan.
§
Membantu pasien
dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
§
Mendorong untuk
berperilaku secara wajar.
2.
Fungsi Perawat Ketergantungan
(dependent)
Perawat membantu dokter memberikan
pelayanan pengobatan dan tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter dan
seharusnya dilakukan dokter, seperti pemasangan infus, pemberian obat, dan melakukan
suntikan. Oleh karena itu, setiap kegagalan tindakan medis menjadi tanggung
jawab dokter. Setiap tindakan perawat yang berdasarkan perintah dokter, dengan
menghormati hak pasien tidak termasuk dalam tanggung jawab perawat.
3.
Fungsi Perawat Ketergantungan
(dependent)
Tindakan perawat berdasar pada kerja
sama dengan tim perawatan atau tim kesehatan. Fungsi ini tampak ketika perawat
bersama tenaga kesehatan lainnya berkolaborasi mengupayakan kesembuhan pasien.
Mereka biasanya tergabung dalam sebuah tim yang dipimpin oleh seorang dokter.
Sebagai sesama tenaga kesehatan, masing-masing tenaga kesehatan mempunyai
kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien sesuai dengan
bidang ilmunya. Dalam kolaborasi ini, pasien menjadi fokus upaya pelayanan
kesehatan. Contohnya, untuk menangani ibu hamil yang menderita diabetes,
perawat bersama tenaga gizi berkolaborasi membuat rencana untuk menentukan
kebutuhan makanan yang diperlukan bagi ibu dan perkembangan janin. Ahli gizi
memberikan kontribusi dalam perencanaan makanan dan perawat mengajarkan pasien
memilih makan sehari-hari. Dalam fungsi ini, perawat bertanggung jawab secara
bersama-sama dengan tenaga kesehatan lain terhadap kegagalan pelayanan
kesehatan terutama untuk bidang keperawatannya.
D. Konsep Keperawatan
Keperawatan adalah sebuah seni dan sebuah ilmu. Keduanya membentuk suatu
hubungan sinergis yang jika di gabungkan akan menjadi lebih besar dibanding
jika tetap pada masing-masing entitasnya seni yang termanifestasi dalam pemeliharaan
dan pemberian kasih sayang yang menghibur tidak dapat berdiri tanpa dasar
pengetahuan ilmiah yang membenarkan tindakan perawatan, demikian sebaliknya.[9]
Menurut hasil Lokakarya
Keperawatan Nasional 1983, keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan
professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang
didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan
bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu,
keluarga, dan masyarakat baik yang sakit maupun sehat yang mencakup seluruh
siklus hidup manusia.[10]
Pasal
1 ayat (3) Undang-Undang No.38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan, menyebutkan
bahwa Keperawatan adalah kegiatan pemberian
asuhan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat baik dalam keadaan
sakit maupun sehat.
Keperawatan merupakan ilmu terapan yang menggunakan ketrampilan
intelektual professional, komunikasi dan aplikasi teknologi, serta menggunakan
proses keperawatan dalam membantu pasien/ keluarga dan masyarakat untuk
mencapai tingkat kesehatan yang optimal.
Menurut
Suwignyo terdapat lima konsep utama keperawatan:
1. Tanggung
jawab perawat
Tanggung jawab perawat yaitu membantu
apapun yang pasien butuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut (misalnya
kenyamanan fisik dan rasa aman ketika dalam medapatkan pengobatan atau dalam
pemantauan. Perawat harus mengetahui kebutuhan
pasien untuk membantu memenuhinya. Perawat harus mengetahui benar peran profesionalnya, aktivitas perawat profesional yaitu tindakan yang dilakukan
perawat secara bebas dan bertanggung jawab guna mencapai tujuan dalam membantu pasien. Ada beberapa
aktivitas spontan dan rutin yang bukan aktivitas profesional perawat yang dapat
dilakukan oleh perawat, sebaiknya hal ini dikurangi agar perawat lebih terfokus
pada aktivitas-aktivitas yang benar-benar menjadi kewenangannya.
2. Mengenal
perilaku pasien
Mengenal perilaku pasien yaitu dengan
mengobservasi apa yang dikatakan pasien maupun perilaku nonverbal yang
ditunjukan pasien.
3. Reaksi
segera
Reaksi segera meliputi persepsi, ide
dan perasaan perawat dan pasien. Reaksi segera adalah respon segera atau respon
internal dari perawat dan persepsi individu pasien , berfikir dan
merasakan.
4. Disiplin
proses keperawatan
Interaksi total (totally interactive) yang dilakukan tahap demi tahap, apa
yang terjadi antara perawat dan pasien dalam hubungan tertentu, perilaku
pasien, reaksi perawat terhadap perilaku tersebut dan tindakan yang harus
dilakukan, mengidentifikasi kebutuhan pasien untuk membantunya serta untuk melakukan tidakan yang tepat.
5. Kemajuan
/ peningkatan
Peningkatan
berarti tumbuh lebih, pasien menjadi lebih berguna dan produktif.[11]
Menurut
Asmadi, bahwa konsep keperawatan adalah sebagai berikut:
1. Keperawatan adalah
profesi yang tidak bisa terpisahkan dari kesehatan lain dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada klien. Perawat adalah profesi kesehatan yang paling
banyak jumlahnya dan yang paling terdepan dalam memberikan layanan kesehatan.
2. Keperawatan memiliki
beberapa tujuan antara lain memberikan pelayanan paripurna dan efektif kepada
klien serta memenuhi kebutuhan dasar manusia.
3.
Fungsi utama perawat
adalah membantu klien baik dari individu- masyarakat, baik yang sehat maupun
yang sakit sehingga mencapai derajat kesehatan yang optimal.
4. Intervensi keperawatan
dalam upaya meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, menyembuhkan serta
memelihara kesehatan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitative sesuai dengan wewenang, tanggung
jawab, etika profesi keperawatan sehingga klien dapat hidup sehat dan
produktif.[12]
Sedangkan
Konsep Teori Keperawatan menurut Dorothea Orem lebih berfokus kepada Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT).
Teori keperawatan defisit perawatan diri adalah sebuah teori yang terdiri dari
gabungan empat tori yang saling berhubungan, yaitu:
1. Teori perawatan diri (Self Care Theory): teori ini
menjelaskan alasan manusia melakukan perawatan diri dan menerangkan bagaimana
cara melakukan perawatan diri.
2. Teori ketergantungan perawatan (Self Care Dependent Care Agency): teori
ini menjelaskan cara keluarga atau teman-teman membantu memenuhi kebutuhan
perawatan diri untuk orang yang membutuhkan.
3. Teori defisit perawatan diri (Self Care Deficit): teori ini
menjelaskan mengapa individu membutuhkan perawatan diri dan layak untuk dibantu
dalam memenuhi kebutuhan perawatan dirinya.
4. Teori sistem keperawatan (Nursing System Theory): teori ini
menjelaskan hubungan antara perawat dengan pasien yang selalu di jaga untuk
meningkatkan derajat kesehatan pasien.[13]
E. Proses Keperawatan
Proses keperawatan di dalam praktik terdiri dari
lima tahap, yaitu: assessment, diagnosis,
intervension, implementation, dan evaluation. Tahap-tahap tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Assesment (pengkajian)
merupakan tahap pertama dalam proses keperawatan. Di dalam tahap ini dilakukan
pengumpulan informasi pasien, keluarga, dan masyarakat yang meliputi informasi
fisik, perkembangan, psikologis, kognisi, sosial, dan spiritual dalam format
yang telah ditentukan.
2.
Diagnosis keperawatan
merupakan analisis secara kritis dan interpretasi data yang telah
disistematisasikan berdasarkan perspektif keperawatan. Diagnosis keperawatan
menggambarkan status masalah kesehatan dan penyebab timbulnya masalah tersebut.
Diagnosis keperawatan terdiri dari tiga
komponen yaitu: masalah, penyebab, dan tanda/gejala. Apabila respon pasien
berubah maka diagnosis keperawatan juga berubah sesuai dengan perkembangan
kondisi pasien tersebut.
3.
Intervension (Perencanaan)
dalam asuhan keperawatan merupakan rencana dan tahapan penentuan prioritas
diagnosis keperawatan, penetapan, sasaran dan tujuan, penetapan kriteria
evaluasi, dan merumuskan intervensi keperawatan.
4.
Implementation merupakan
pelaksanaan dari rencana keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan pasien secara optimal.
5.
Evaluation merupakan
proses terakhir keperawatan yang menentukan tingkat keberhasilan asuhan
keperawatan. Hal yang dievaluasi adalah:
a)
Keakuratan,
kelengkapan, dan kualitas data.
b)
Teratasi
tidaknya masalah pasien.
c)
Pencapaian
tujuan.
d)
Ketepatan
intervensi keperawatan.[14]
[1] Wikipedia Bahasa
Indonesia versi online, diakses dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Keperawatan (Tanggal
2 Januari 2019).
[2] DPP PPNI, 2017, Pedoman Praktik
Keperawatan Mandiri, Jakarta: DPP PPNI, hlm. 4.
[3] Diakses dari: http://www.lepank.com/2012/08/pengertian-perawat-menurut-beberapa-ahli.html https://id.wikipedia.org/wiki/Keperawatan (Tanggal 22 Januari 2019).
[4] R. Muntoha, 2015, Skripsi: “Hubungan antara Beban Kerja dengan
Perilaku Caring Perawat di Ruang Perawatan Khusus RSUD dr. R. Goeteng
Taroenadibrata Purbalingga”, Purbalingga: Repository UMP, hlm. 11.
[5] Ibid, hlm. 1.
[6] Ibid, hlm. 1.
[7] Ibid, hlm. 1.
[8] M. Fakih, “Kedudukan
Hukum Keperawatan Dependen dalam Transaksi Terapeutik” Yustisia Vol. 2 No.
2, 2013.
[9] Bennita
W. Vaunghans, 2013, Keperawatan Dasar
(Edisi Terjemahan), Yogyakarta: Rapha Publishing, hlm.5.
[10] Sri
Praptianingsih, 2007, Kedudukan Hukum
Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, hlm.25.
[11] Diakses dari : http://dosen.stikesdhb.ac.id/fitra-herdian/wp-content/uploads/sites/19/2016/02/jtptunimus
-gdl-masniarg2a-6121-3-babii.pdf (Tanggal
22 September 2018).
[12] Diakses dari :http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/14701/6.%20BAB%20II.pdf?
sequence=6&isAllowed=y (Tanggal 22
September 2018).
[13] Lilis
dan Ramadhaniayati, 2018, Falsafah Dan
Teori Keperawatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 76.
[14] Sri
Praptianingsih, Op.Cit, hlm. 39-44.
BAB V
ETIKA KEPERAWATAN
Etik atau ethics berasal dari bahasa yunani : “etos” yang berarti adat, kebiasaan, perilaku atau karakter. Menurut kamus Webster, etik adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang apa yang baik dan buruk secara moral.
Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah sebuah sesuatu di mana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
A. Prinsip Etika Keperawatan
1. Otonomi (Autonomy) : Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri
2. Berbuat baik (Beneficience) : Melakukan hal-hal yang baik untuk orang lain. Merupakan prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan orang lain/pasien.
3. Keadilan (Justice) : Hak setiap orang untuk diperlakukan sama.
Merupakan suatu prinsip moral untuk berlaku adil bagi semua individu. Artinya individu mendapat tindakan yang sama mempunyai kontribusi yang relative sama untuk kebaikan kehidupan seseorang
4. Tidak merugikan (Nonmaleficience) : Tindakan/ prilaku yang tidak menyebabkan kecelakaan atau membahayakan orang lain.
5. Kebebasan (freedom) : Prilaku tanpa tekanan dari luar, memutuskan sesuatu tanpa tekanan atau paksaan pihak lain. Bahwa siapapun bebas menentukan pilihan yang menurut pandangannya sesuatu yang terbaik
6. Kejujuran (Veracity): Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan saling percaya.
7. Menepati janji (Fidelity): Peduli pada pasien merupakan komponen paling penting dari praktek keperawatan, terutama pada pasien dalam kondisi terminal. Rasa kepedulian perawat diwujudkan dalam memberi asuhan keperawatan dengan pendekatan individual, bersikap baik, memberikan kenyamanan dan menunjukan kemampuan profesional
8. Karahasiaan (Confidentiality): Melindungi informasi yang bersifat pribadi, prinsip bahwa perawat menghargai semua informsi tentang pasien dan perawat menyadari bahwa pasien mempunyai hak istimewa dan semua yang berhubungan dengan informasi pasien tidak untuk disebarluaskan secara tidak tepat.
9. Akuntabilitas (Accountability): Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
B. Tujuan Etika Keperawatan
Menurut American Ethics Commission Bureau on Teaching, tujuan etika keperawatan adalah mampu :
a. Mengenal dan mengidentifikasi unsur moral dalam praktek keperawatan.
b. Membentuk strategi/cara menganalisis masalah moral yang terjadi dalam praktek keperawatan.
c. Menghubungkan prinsip-prinsip moral yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan pada diri sendiri, keluarga, masyarakat dan kepada Tuhan, sesuai dengan kepercayaannya.
Menurut National League for Nursing (NLN): Pusat Pendidikan keperawatan milik Perhimpunan Perawat Amerika, pendidikan etika keperawatan bertujuan:
a. Meningkatkan pengertian peserta didik tentang hubungan antar profesikesehatan dan mengerti tentang peran dan fungsi masing-masing anggota tim tersebut.
b. Mengembangkan potensi pengambilan keputusan yang berkenaan denganmoralitas, keputusan tentang baik dan buruk yang akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan sesuai dengan kepercayaannya. Mengembangkan sikap pribadi dan sikap profesional peserta didik.
c. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menerapkan ilmu dan prinsip-prinsip etika keperawatan dalam praktek dan dalam situasi nyata.
C. Fungsi Etika Keperawatan
Etika keperawatan juga memiliki fungsi penting bagi perawat dan seluruh individu yang menikmati pelayanan keperawatan. Fungsi-fungsi tersebut adalah:
a. Menunjukkan sikap kepemimpinan dan bertanggung jawab dalam mengelola asuhan keperawatan,
b. Mendorong para perawat di seluruh Indonesia agar dapat berperan serta dalam kegiatan penelitian dalam bidang keperawatan dan menggunakan hasil penelitian serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan atau asuhan keperawatan,
c. Mendorong para perawat agar dapat berperan serta secara aktif dalam mendidik dan melatih pasien dalam kemandirian untuk hidup sehat, tidak hanya di rumah sakit tetapi di luar rumah sakit,
d. Mendorong para perawat agar bisa mengembangkan diri secara terus menerus untuk meningkatkan kemampuan profesional, integritas dan loyalitasnya bagi masyarakat luas,
e. Mendorong para perawat agar dapat memelihara dan mengembangkan kepribadian serta sikap yang sesuai dengan etika keperawatan dalam melaksanakan profesinya,
f. Mendorong para perawat menjadi anggota masyarakat yang responsif, produktif, terbuka untuk menerima perubahan serta berorientasi ke masa depan sesuai dengan perannya.
D. Pelanggaran Etika Keperawatan
Berikut ini adalah contoh jenis-jenis pelanggaran berdasarkan kode etik keperawatan:
1. Pelanggaran Ringan
a) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Pasien
• Membiarkan pasien dalam keadaan tidak rapi.
• Tidak mengorientasikan tempat (ruangan) dan petugas kesehatan kepada pasien.
• Memberi informasi yang tidak optimal.
• Tidak mencuci tangan setiap kali akan dan selesai berkontak dengan pasien atau melakukan tindakan.
• Kurang menunjukan sikap empati.
• Tidak memberi informasi pasien saat akan melakukan tindakan Keperawatan.
• Melakukan tindakan/ perilaku yang dapat mengganggu kenyamanan atau ketenangan kerja (berbicara keras, menghidupkan radio, TV, dll)
b) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Tugas
Tidak berusaha memahami berbagai prosedur dan kebijakan rumah sakit yang terkait dengan tugas sebagai perawat.
c) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Sesama Perawat dan Profesi Lain
• Kurang menghargai privacy, hasil kerja, martabat perawat lain atau profesi lain.
• Tidak menghargai kelebihan/ prestasi perawat lain atau profesi lain.
• Tidak menghormati hak sesama perawat dan atau tenaga kesehatan lain.
d) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Profesi Keperawatan
Berpenampilan tidak rapi, rambut tidak rapi/ gondrong, tidak memakai pakaian dinas/ seragam sesuai yang ditetapkan.
2. Pelanggaran Sedang
a) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Pasien
• Tidak memperhatikan kebersihan diri pasien, memandikan, menggosok gigi/ oral hygiene, vulva hygien.
• Memberi informasi yang tidak bertanggung jawab yang membuat kecemasan pada pasien dan keluarga.
• Tidak memberikan bimbingan rohani/ menunjuk pada pemuka agama pada saat pasien membutuhkan/ dalam sakaratul maut.
• Melakukan tindakan keperawatan tidak sesuai dengan protap yang dapat merugikan pasien tetapi tidak membahayakan jiwa.
• Tidak membantu memenuhi kebutuhan eliminasi pada pasien yang butuh bantuan.
• Tidak melakukan prosedur teknik aseptik/ antiseptik yang mengakibatkan terjadi infeksi.
• Tidak melakukan tindakan pencegahan dikubitus (mengubah posisi, memberi pelembab, bedak, massage, mengganti alata tenun yang basah/ kotor).
b) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Tugas
• Menjalankan tugas tidak sesuai dengan prosedur tetap dan kebijakan rumah sakit yang berlaku.
• Tidak melakukan antisipasi terhadap keamanan kenyamanan pasien.
• Tidak memelihara mutu pelayanan dan asuhan keperawatan secara optimal.
• Tidak melakukan evaluasi setelah melakukan tindakan keperawatan (respon pasien, kondisi pasien dll).
• Tidak mawas diri dalam melaksanakan tugas perawatan.
c) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Sesama Perawat dan Profesi Lain
• Tidak mau bekerjasama dalam tugas dengan sesama perawat atau profesi lain.
• Tidak mau membantu perawat lain dalam menjalankan tugas saat dibutuhkan.
• Tidak memelihara suasana kerja yang harmonis dan kondusif.
• Melemparkan tanggung jawab keapda perawat lain.
• Tidak mau memberi/ transformasi ilmu, keterampilan dan pengalaman kepada perawat lain atau profesi lain.
• Tidak mau menerima pengetahuan, pengalaman, keterampilan dari semua perawat dan profesi lain dalam rangka peningkatan keterampilan di bidang keperawatan.
• Membicarakan kekurangan/ keburukan perawat lain di depan/ kepada pasien/ keluarga.
d) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Profesi Keperawatan
• Menolak untuk meningkatkan pendidikan formal dan non formal.
• Tidak berupaya meningkatkan kemampuan profesional.
• Tidak menjunjung tinggi nama baik profesi dengan menunjukan perilaku dan sifat pribadi yang tercela, merokok diruang perawatan, tidak menggunakan seragam lengkap, menjelekkan profesi perawat atau organisasi profesi, mengeluarkan kata-kata kotor saat berdinas.
3. Pelanggaran Berat
a) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Pasien
• Tidak memenuhi kebutuhan nutrisi, cairan elektrolit.
• Tidak memenuhi kebutuhan oksigenisasi, kebersihan jalan nafas.
• Tidak memperhatikan/ mempertahankan sirkulasi kardiovaskuler.
• Tidak bertindak pada saat pasien dalam keadaan sekarat/ henti jantung/ pain (kecuali keinginan keluarga).
• Tidak memperhatikan keamanan pasien (pasien jatuh, tergelincir, keracunan, salah obat, salah transfusi dll).
• Melakukan tindakan Keperawatan yang tidak sesuai prosedur tetap yang dapat menyebabkan kematian / kecacatan.
• Memberikan informasi yang tidak benar / tidak dapat dipertanggung jawabkan.
• Meminta imbalan kepada pasien/ keluarga.
• Bersikap judes dan tidak ramah dalam melayani pasien/ keluarga (laporan tertulis/ lisan/ kotak saran).
• Tidak menjaga kerahasiaan pasien/ keluarga pada profesi / orang yang berhak mengetahui.
• Komunikasi yang tidak baik dan dimuat dimedia massa.
• Mengunggah poto pasien di medsos saat sedang dilakukan tindakan atau terbius.
• Tidak melakukan prosedur aseptik/ antiseptik.
• Tidak menghargai agama pasien/ keluarga.
• Membedakan pelayanan keperawatan terhadap pasien berdasarkan status sosial dan martabat pasien.
b) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Tugas
• Berulang kali melakukan tugas yang tidak sesuai dengan prosedur tetap dan kebijakan rumah sakit yang dapat merugikan pasien secara fisik/ mental.
• Tidak memegang teguh rahasia jabatan.
• Bekerja dengan mempertimbangkan kesukuan, jenis kelamin, aliran politik, agama dan status sosial sesuai dengan keinginan pribadi.
c) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Sesama Perawat dan Profesi Lain
• Bertengkar dengan semua perawat atau profesi lain.
• Melakukan tindakan tidak etis terhadap sesama perawat atau profesi lain.
• Mencelakakan perawat dan profesi lain.
• Mengadu domba sesama perawat atau profesi lain.
• Melindungi perbuatan teman yang tidak etis/ praktek legal.
d) Tanggung Jawab Perawat Terhadap Profesi Keperawatan
• Mengkomersialkan / memperjual belikan harta rumah sakit untuk kepentingan pribadi atau profesi Keperawatan.
• Menjual nama organisasi profesi Keperawatan untuk kepentingan pribadi, mencari dana atas nama profesi lain untuk kepentingan pribadi, promosi produk tertentu dikaitkan dengan profesi untuk kepentingan pribadi.
• Menggunakan obat-obat terlarang/ alkohol saat bertugas.
• Meninggalkan/ tidak dinas ketika dinas sore, malam tanpa izin.
• Meninggalkan/ tidak dinas selama 7 hari berturut-turut dalam satu bulan tanpa izin.
Penanganan masalah etika Keperawatan merupakan penanganan masalah yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan pelanggaran masalah Kode Etik Keperawatan Indonesia dan Kode Etik Kebidanan. Yang bertanggung jawab dalam masalah etik adalah:
Direktur Rumah Sakit
Kepala Bidang Pelayanan Keperawatan.
Kepala Ruangan.
Ketua Komite Keperawatan melalui Sub Komite Etik Komite Keperawatan.
Untuk mekanisme penyelesaian masalah etika meliputi:
• Membuat kronologis kejadian.
• Menilai bobot masalah (pelanggaran ringan, sedang, berat).
• Penyelesaian masalah secara berjenjang yaitu : Kepala Ruangan, Kepala Bidang Pelayanan Keperawatan, Direktur Rumah Sakit dengan melibatkan sub komite etik komite keperawatan, dan organisasi profesi (PPNI).
Berikut ini penanganan masalah etika sesuai dengan jenis- jenis pelanggaran
a. Pelanggaran Ringan
• Pelanggaran ini ditangani/ diselesaikan oleh kepala ruangan.
• Perawat yang melakukan pelanggaran diberi teguran lisan
• Kepala ruangan membuat laporan/ menyerahkan kronologis ke kepala bidang pelayanan keperawatan dan harus diketahui oleh sub komite etik komite keperawatan.
b. Pelanggaran Sedang
• Kepala ruangan membuat laporan/ menyerahkan kronologis ke kepala bidang pelayanan keperawatan
• Pelanggaran ini ditangani oleh kepala bidang pelayanan keperawatan dan harus diketahui oleh sub komite etik komite keperawatan.
• Kepala bidang Pelayanan keperawatan memanggil perawat yang melakukan pelanggaran dan wajib/ harus membuat surat pernyataan, serta memberikan sangsi tertulis kepada perawat yang membuat pelanggaran.
• Pelanggar dialihkan tanggungjawabnya
c. Pelanggaran Berat
• Kepala Ruangan membuat laporan/ menyerahkan kronologis ke kepala bidang pelayanan keperawatan.
• Kepala bidang pelayanan keperawatan menyerahkan laporan yang sebelumnya sudah diketahui oleh sub komite etik komite keperawatan ke Direktur.
• Kepala bidang pelayanan keperawatan, Kepala Ruangan, Sub komite etik komite keperawatan serta Direktur bersidang untuk menentukan hukuman yang akan diberikan.
E. Mekanisme Penanganan Masalah Etika
Penanganan masalah etika Keperawatan merupakan penanganan masalah yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan pelanggaran masalah Kode Etik Keperawatan Indonesia dan Kode Etik Kebidanan. Yang bertanggung jawab dalam masalah etik adalah:
• Direktur Rumah Sakit
• Kepala Bidang Pelayanan Keperawatan.
• Kepala Ruangan.
• Ketua Komite Keperawatan melalui Sub Komite Etik Komite Keperawatan.
Untuk mekanisme penyelesaian masalah etika meliputi:
• Membuat kronologis kejadian.
• Menilai bobot masalah (pelanggaran ringan, sedang, berat).
• Penyelesaian masalah secara berjenjang yaitu : Kepala Ruangan, Kepala Bidang Pelayanan Keperawatan, Direktur Rumah Sakit dengan melibatkan sub komite etik komite keperawatan, dan organisasi profesi (PPNI).
Berikut ini penanganan masalah etika sesuai dengan jenis- jenis pelanggaran
1. Pelanggaran Ringan
• Pelanggaran ini ditangani/ diselesaikan oleh kepala ruangan.
• Perawat yang melakukan pelanggaran diberi teguran lisan
• Kepala ruangan membuat laporan/ menyerahkan kronologis ke kepala bidang pelayanan keperawatan dan harus diketahui oleh sub komite etik komite keperawatan.
2. Pelanggaran Sedang
• Kepala ruangan membuat laporan/ menyerahkan kronologis ke kepala bidang pelayanan keperawatan
• Pelanggaran ini ditangani oleh kepala bidang pelayanan keperawatan dan harus diketahui oleh sub komite etik komite keperawatan.
• Kepala bidang Pelayanan keperawatan memanggil perawat yang melakukan pelanggaran dan wajib/ harus membuat surat pernyataan, serta memberikan sangsi tertulis kepada perawat yang membuat pelanggaran.
• Pelanggar dialihkan tanggungjawabnya
3. Pelanggaran Berat
• Kepala Ruangan membuat laporan/ menyerahkan kronologis ke kepala bidang pelayanan keperawatan.
• Kepala bidang pelayanan keperawatan menyerahkan laporan yang sebelumnya sudah diketahui oleh sub komite etik komite keperawatan ke Direktur.
• Kepala bidang pelayanan keperawatan, Kepala Ruangan, Sub komite etik komite keperawatan serta Direktur bersidang untuk menentukan hukuman yang akan diberikan.
BAB VI
TANGGUNGJAWAB DAN TANGGUNG GUGAT PERAWAT
A.
Tanggung Jawab
Salah satu ciri
perawat professional adalah melaksanakan tanggung jawab sesuai dengan kode etik
serta berdasarkan standar praktik keperawatan yang telah disepakati. Penjabaran
dari tanggung jawab tersebut adalah:
1. Tanggung jawab
terhadap pasien
·
Memenuhi kebutuhan pelayanan keperawatan kepada pasien
dengan penuh rasa tanggung jawab sesuai kebutuhanya.
·
Melindungi pasien terhadap. hal yang dapat
membahayakan merugikan dirinya dengan mengutamakan keselamatan pasien.
·
Membantu pasien untuk menolong dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
memelihara kesehatanya.
·
Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan
dengan tugas yang dipercayakan kepadanya.
2. Tanggung jawab
terhadap dirinya sendiri
·
Melindungi dirinya dari kemungkinan tertular penyakit.
·
Melindungi dirinya dari gangguan yang dating dari
lingkungan pekerjaan.
·
Menghindari konflik dengan orang lain dalam melakukan
tugasnya melalui metode penyelesaian masalah.
3. Tanggung jawab
terhadap profesi
·
Mengadakan kerjasama dengan anggota tim kesehatan
dalam melakukan tugasnya.
·
Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan.
·
Meningkatkan pengetahuan tentang ilmu keperawatan
sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
·
Melakukan kewajibanya dengan rasa tulus ikhlas sesuai
dengan martabat tradisi leluhur keperawatan.
·
Tidak akan mempraktikkan pengetahuan dan ketrampilan
untuk tujuan yang bertentangan dengan norma kemanusiaan.
·
Matang dalam pertimbangan kemampuan sejawat jika
menerima atau mengalih tugaskan yang ada hubunganya dengan keperawatan
·
Menjunjung tinggi nama baik profesi dengan menunjukkan
perilaku dan kepribadian yang tinggi.
·
Membina dan memelihara mutu organisasi profesi
keperawatan sebagai sarana pengabdianya.
4. Tanggung jawab
terhadap masyarakat
Menjalin
hubungan kerjasama yang baik dengan masyarakat dalam mengambil prakarsa dan
mengadakan upaya kesehatan serta upaya kesejahteraan umum sebagai bagian tugas
kewajibanya bagi masyarakat.
5. Tanggung jawab
terhadap bangsa dan tanah air
·
Perawat senantiasa mematuhi peraturan yang berlaku dan
berperan aktif menyumbangkan pikiranya
kepada pemerintah guna meningkatkan pelayanan kesehatan, terutama keperawatan.
·
Memelihara suasana lingkungn yang menghormati nilai
budaya, adat istiadat, dan kelangsungan hidup beragama dari pasien, individu,
keluarga dan masyarakat.[1]
Menurut
ICN (International Council Nurse) tanggungjawab perawat adalah sebagai berikut:
1.
Tanggung Jawab Utama
Perawat
Tanggung jawab utama
perawat adalah meningkatkan kesehatan, mencegah timbulnya penyakit, memelihara
kesehatan dan mengurangi penderitaan. Untuk melaksanakan tanggung jawab utama
tersebut, perawat harus meyakini bahwa :
·
Kebutuhan terhadap pelayanan keperawatan di
berbagai tempat adalah sama.
·
Pelaksanaan praktik keperawatan dititik beratkan
pada penghargaan terhadap kehidupan yang bermartabat dan menjunjung tinggi hak
asasi manusia.
·
Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan dan /atau
keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, perawat
mengikutsertakan kelompok dan instansi terkait.
2.
Perawat, Individu dan
Anggota Kelompok Masyarakat
Tanggung jawab utama
perawat adalah melaksanakan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan
masyuarakat. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas, perawat perlu
meningkatkan keadaan lingkungan kesehatan dengan menghargai nilai-nilai yang
ada di masyarakat, menghargai aadat kebiasaan serta kepercayaan individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat yang menjadi pasien atau kliennya. Perawat dapat
memegang teguh rahasia pribadi (privasi) dan hanya dapat memberikan keterangan
bila diperlukaan oleh pihak yang berkepentingan atau pengadilan.
3.
Perawat dan
Pelaksanaan Praktik Keperawatan
Perawat memegang peranan
penting dalam menentukan dan melaksanakan standar praktik keperawatan untuk
mencapai kemampuan yang sesuai dengan standar pendidikan keperawatan. Perawat
dapat mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya secara aktif untuk menopang
perannya dalam situasi tertentu. Perawat sebagai anggota profesi, setiap saat
dapat mempertahankan sikap sesuai dengan standar profesi keperawatan.
4.
Perawat dan
Lingkungan Masyarakat
Perawat dapat
memprakarsai pembaharuan, tanggap, mempunyai inisiatif, dan dapat berperan
serta secara aktif dalam menentukan masalah kesehatan dan masalah sosial yang
terjadi di masyarakat.
5.
Perawat dan Sejawat
Perawat dapat menopang
hubungan kerja sama dengan teman kerja, baik tenaga keperawatan maupun tenaga
profesi lain di keperawatan. Perawat dapat melindungi dan menjamin seseorang,
bila dalam masa perawatannya merasa terancam.
6.
Perawat dan Profesi
Keperawatan
Perawat memainkan peran
yang besar dalam menentukan pelaksanaan standar praktik keperawatan dan
pendidikan keperawatan . Perawat diharapkan ikut aktif dalam mengembangkan
pengetahuan dalam menopang pelaksanaan perawatan secara profesional. Perawat
sebagai anggota profesi berpartisipasi dalam memelihara kestabilan sosial dan
ekonomi sesuai dengan kondisi pelaksanaan praktik keperawatan.
B.
Tanggung Gugat
Tanggung gugat
dapat diartikan sebagai bentuk partisipasi perawat dalam membuat suatu
keputusan dan belajar dengan keputusan itu dan konsekunsi-konsekuensinya. Perawat
hendaknya memiliki tanggung gugat artinya bila bila ada pihak yang menggugat ia
siap dan berani menghadapinya. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan
profesinya.
Macam-macam jenis Tanggung Gugat :
1. Contractual Liablity
Tanggung gugat jenis ini muncul karena adanya ingkar janji, yaitu tidak
dilaksanakanya suatu kewajiban (prestasi) atau tidak dipenuhinya sesuatu hak
pihak lain sebagai akibat adanya hubungan kontraktual. Dalam kaitanya dengan hubungan terapetik, kewajiban
atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh health
care provider adalah berupa upaya (effort),
bukan hasil (result). Karena itu perawat hanya bertanggung gugat atas upaya medik yang
tidak memenuhi standar, atau dengan kata lain, upaya medik yang dapat dikatagorikan
sebagai civil malpractice.
2. Liability in Tort
Tanggung
gugat jenis ini merupakan tanggung gugat yang tidak didasarkan atas adanya
contractual obligation, tetapi atas
perbuatan melawan hukum. Pengertian melawan hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan
yang berlawanan dengan hukum, kewajiban hukum diri sendiri atau kewajiban hukum
orang lain saja tetapi juga yang berlawanan dengan kesusilaan yang baik dan berlawanan
dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang
lain atau benda orang lain.
3. Strict Liability
Tanggung
gugat jenis ini sering disebut tanggung gugat tanpa kesalahan (liability whitout fault) mengingat
seseorang harus bertanggung jawab meskipun tidak melakukan kesalahan apa-apa;
baik yang bersifat intensional,
recklessness ataupun negligence. Tanggung
gugat seperti ini biasanya berlaku bagi product
sold atau article of commerce,
dimana produsen harus membayar ganti rugi atas terjadinya malapetaka akibat
produk yang dihasilkannya, kecuali produsen telah memberikan peringatan akan
kemungkinan terjadinya risiko tersebut.
4. Vicarious Liability
Tanggung
gugat jenis ini timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya (subordinate). Dalam kaitannya dengan
pelayanan medik maka RS (sebagai employer)
dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang bekerja
dalam kedudukan sebagai sub-ordinate (employee).
Terjadinya hubungan perawat dan
pasien dalam pelayanan kesehatan diawali dengan adanya transaksi terapeutik.
Sejak seorang pasien mengunjungi tempat praktik perawat maka disitu terjadilah
hubungan hukum. Hubungan hukum perawat dan pasien termasuk dalam perjanjian pada umumnya yang
dalam pasal 1234 BW ditentukan bahwa “Tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Sebagai suatu perjanjian, maka hubungan antara perawat dengan asien harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320 BW, yaitu:
1.
Kesepakatan
para pihak yang mengikat dirinya
2.
Kecakapan para
pihak untuk membuat perikatan/ melakukan kesepakatan
3.
Suatu hal tertentu
4.
Suatu sebab
yang halal.[2]
Syarat tersebut bersifat kumulatif sehingga tiak dipenuhinya salah satu
diantara keempat syarat tersebut dapat menyebabkan perjanjian tersebut menjadi
batal.
Apabila Perawat sebagai tenaga kesehatan dalam hal
berstatus sebagai pegawai rumah sakit sehungga atas pekerjaan yang dilakukanya
berlaku Pasal 1367 BW sebagai berikut
“ Seseorang tidak saja
bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatanya sendiri,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang
menjadi tanggunganya, …………… Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat
orang-orang lain untuk mewakili urusan mereka, adalah bertanggungjawab tentang
kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka
didalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang yang dipakainya”
Berdasarkan ketentuan di atas, maka perawat yang bekerja di rumah sakit tidak memikul tanggung gugat karena ia sebagai pegawai rumah sakit dalam menjalankan upaya pelayanan kesehatan yang merupakan fungsi dn tugas yang dipikul oleh rumah sakit sebagai suatu badan usaha yang menjalankan upaya kesehatan. Hal serupa juga telah tertuang dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang rumah Sakit. Namun undang-undang ini tidak berlaku bagi perawat yang menjalankan pelayanan kesehatan berupa praktik keperawatan mandiri. Dengan kata lain apabila perawat melakukan praktek mandiri dan melakukan kesalahan dalam pelayananya maka tanggung gugat terletak pada dirinya sendiri.[3]
BAB VII
HUBUNGAN HUKUM PERAWAT DENGAN PASIEN
Hukum mengatur perilaku hubungan antar manusia sebagai
subjek hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. Dalam kehidupan manusia, baik
secara perorangan maupun berkelompok, hukum mengatur perilaku hubungan baik
antar manusia yang satu dengan yang lain, antar kelompok manusia, maupun antar
manusia dengan dengan kelompok manusia.
A. Hak dan Kewajiban Perawat
Sebagaimana
Pasal 36 dan 37 UU No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan, hak dan kewajiban
perawat adalah sebagai berikut:
Hak
1.
memperoleh pelindungan
hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar
profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundangundangan;
2.
memperoleh informasi
yang benar, jelas, dan jujur dari Klien dan/atau keluarganya.
3.
menerima imbalan jasa
atas Pelayanan Keperawatan yang telah diberikan;
4.
menolak keinginan Klien
atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik, standar pelayanan, standar
profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan Peraturan
Perundang-undangan; dan
5.
memperoleh fasilitas
kerja sesuai dengan standar.
Kewajiban
1. melengkapi
sarana dan prasarana Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar Pelayanan
Keperawatan dan ketentuan Peraturan Perundangundangan;
2. memberikan
Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan Keperawatan,
standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan
3. Peraturan
Perundang-undangan;
4. merujuk
Klien yang tidak dapat ditangani kepada Perawat atau tenaga kesehatan lain yang
lebih tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya;
5. mendokumentasikan
Asuhan Keperawatan sesuai dengan standar;
6. memberikan
informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti mengenai
tindakan Keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya sesuai dengan batas
kewenangannya;
7. melaksanakan
tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan
kompetensi Perawat; dan
8. melaksanakan
penugasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah.
B. Hak dan Kewajiban Pasien
Sebagaimana
Pasal 38 dan 40 UU No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan, hak dan kewajiban
pasien adalah sebagai berikut:
Hak
1.
mendapatkan informasi
secara, benar, jelas, dan jujur tentang tindakan Keperawatan yang akan
dilakukan;
2.
meminta pendapat
Perawat lain dan/atau tenaga kesehatan lainnya;
3.
mendapatkan Pelayanan
Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan Keperawatan, standar
profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan;
4.
memberi persetujuan
atau penolakan tindakan Keperawatan yang akan diterimanya; dan
5.
memperoleh keterjagaan kerahasiaan kondisi kesehatannya.
Kewajiban
1. memberikan
informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang masalah kesehatannya;
2. mematuhi
nasihat dan petunjuk Perawat;
3. mematuhi
ketentuan yang berlaku di Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
4. memberikan
imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
C. Hak Pasien yang Meninggal
Pasien yang akan meninggal berhak diperlakukan
sebagaimana manusia yang hidup sampai ajal tiba; mempertahankan harapannya,
tidak peduli apapun perubahan yang terjadi; mendapatkan perawatan yang dapat
mempertahankan harapannya, mengekspresikan perasaan dan emosinya sehubungan
dengan kematian yang sedang dihadapinya;
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan
perawatannya; memperoleh perhatian dalam
pengobatan dan perawatan secara berkesinambungan, walaupun tujuan
penyembuhannya harus diubah menjadi tujuan memberikan rasa nyaman; meninggal dalam kesendirian; bebas dari rasa
sakit; memperoleh jawaban atas pertanyaannya secara jujur; memperoleh bantuan
dari perawat atau medis untuk keluarga yang ditinggalkan agar dapat menerima
kematiannya; meninggal dalam damai dan
bermartabat; tetap dalam kepercayaan
atau agamanya dan tidak diambil keputusan yang bertentangan dengan kepercayaan
yang dianutnya; mengharapkan bahwa kesucian raga manusia akan dihormati setelah
yang bersangkutan meninggal; memperdalam
dan meningkatkan kepercayaannya, apapun artinya bagi orang lain; mendapatkan perawatan dari orang yang
professional, yang dapat mengerti kebutuhan dan kepuasaan dalam menghadapi
kematian.[1]
D. Peranan Hak dan Kewajiban dalam Etika Keperawatan
Dalam
prinsip etika keperawatan, hak perawat dan pasien memiliki beberapa peranan
atau manfaat yang sangat penting dalam dunia keperawatan. Berikut adalah
peranan hak dan kewajiban dalam prinsip etika keperawatan.
1.
Mencegah konflik antara
perawat dan pasien. Artinya dengan adanya hak dan kewajiban yang dilindungi
oleh ketentuan hukum termasuk juga etika keperawatan maka perawat dan pasien
tidak bisa berbuat semaunya sendiri. Ada hak-hak dan kewajiban yang harus
diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap pihak. Hak dan kewajiban tersebut
dilindungi oleh hukum yang berlaku.
2.
Pembenaran pada suatu
tindakan. Maksudnya, hak dan kewajiban yang dimiliki oleh perawat maupun pasien
sebenarnya membenarkan tindakan yang telah dilakukan sebelumnya (kewajiban).
Misalnya, ketika seorang perawat mengobati pasien dengan baik dan benar sesuai
dengan keahlian yang dimilikinya hingga pasien tersebut sembuh dari sakitnya,
maka tentu hak perawat tersebut adalah mendapatkan penghargaan. Ketika perawat
menerima penghargaan tersebut, maka sebenarnya pada saat yang sama muncul
pembenaran terhadap pengobatan (pelayanan kesehatan) maupun kewajiban yang
telah dilakukan sebelumnya terhadap pasien.
3. Menyelesaikan perselisihan. Jika terjadi perselisihan antara pasien dan perawat termasuk dengan institusi sekalipun, prinsip hak dan kewajiban yang dilindungi oleh ketentuan hukum dapat menjadi pedoman penyelesaiannya. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa jika setiap pihak, baik perawat, pasien, maupun institusi keperawatan, berpegang teguh pada konsep hak dan kewajiban, maka perselisihan tidak akan terjadi. Misalnya, tidak akan pernah terjadi malpraktek karena pasien memiliki hak mendapatkan pelayanan yang baik.[2]
BAB VIII
TUGAS DAN WEWENANG PERAWAT
A. Pengertian Kewenangan
Kewenangan
adalah hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu; hal berwenang;
hak dan kekuasaanya yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.[1]
Dalam
Black Law Dictionary kewenangan di
artikan lebih luas, tidak hanya melakukan praktek kekuasaan, tetapi kewenangan
juga di artikan dalam konteks menerapkan dan menegakan hukum, adanya ketaatan
yang pasti, mengandung perintah, memutuskan, adanya pengawasan yuridiksi bahkan
kewenangan di kaitkan dengan kewibawaan, charisma, dan bahkan kekuatan fisik.[2]
Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No.30 tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan menyebutkan bahwa: “wewenang adalah hak yang dimiliki
oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya
untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan”.
Menurut
H.D. Stout dalam Ridwan HR mengatakan bahwa:
“Bovoegdheid is een begrip het
bestuurlijke organisatierecht, wat kan worden omshreven als het geheel van
regels dan betrekking heelf op de verkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke
bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurrechtelijke
rechtsverkeer”.
(Wewenang
adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat
di jelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan
dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan
hukum publik).[3]
Menurut
Bagir Manan dalam Ridwan HR,wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan
kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya
menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.[4]
Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu,
sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan tertentu.
Menurut
Philipus M. Hadjon, dalam hukum
tata negara wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan
hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan
dengan kekuasaan. Kewenangan dapat diperoleh melalui tiga sumber, yaitu
atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada
suatu jabatan, sedangkan delegasi dan mandat adalah pemindahan/ pengalihan
suatu kewenangan yang ada.[5]
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang
berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau diberi oleh
kekuasaan eksekutif dan administratif. Dan didalam kewenangan terdapat
wewenang-wewenang.[6]
Menurut P. Nocolai dalam Ridwan HR, kewenangan berkaitan dengan hak dan
kewajiban yaitu:
“(Het vermogen tot het verrichten
van bepaalde rechtshandelingen [handelingen die op rechtgevolg gericht zijn en dus
ertoe strekken dat bepaalde rechtsvolgen onstaan of teniet gaan]. Een recht houdt in de (rechtens gegeven) vrijheid om
een bepaalde feitelijke handeling te verrichten of n ate laten, of de (rechtens
gegeven) aanspraak op het verichten van een handeling door een ander. Een
plicht impliceert een verplichting om een bepaalde handeling te verrichten of n
ate laten)”.
(Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu [yaitu tindakan-tindakan
yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul
dan lenyapnya akibat hukum]. Hak berisi
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut
pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat
keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu).
B. Sumber Kewenangan
H.D.
van Wijk/Willem Konijnenbelt membagi macam-macam kewenangan sebagai berikut:
1.
Attributie: toekenning van een
bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang
pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan),
2.
Delegatie: overdracht van een
bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang
pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainya),
3.
Mandaat: een bestuursorgaan laat zijn
bevoegheid namens hem uitofenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ
pemerintahan mengizinkan kewenanganya dijalankan oleh organ lain atas namanya).[7]
Untuk
memperjelas perbedaan yang mendasar antara wewenang atribusi, delegasi, dan
mandat, berikut dikemukakan skema tentang perbedaan tersebut sebagai berikut:
Tabel: 3.1
Perbedaan Cara Perolehan dan Tanggungjawab
Wewenang Pemerintahan
|
Atribusi |
Delegasi |
Mandat |
Cara Perolehan |
Perundang-undangan |
Pelimpahan |
Pelimpahan |
Kekuatan mengikatnya |
Tetap melekat sebelum ada perubahan
peraturan perundang-undangan. |
Dapat dicabut atau ditarik kembali
apabila ada pertentangan atau penyimpangan (contrazuz actus). |
Dapat ditarik atau digunakan
sewaktu-waktu oleh pemberi wewenang (mandans). |
Tanggungjawab dan tanggung gugat |
Penerima wewenang bertanggungjawab
mutlak akibat yang timbul dari wewenang. |
Pemberi wewenang (delegans) melimpahkan tanggungjawab dan tanggung gugat kepada
penerima wewenang (delegataris). |
Berada pada pemberi mandat (mandans). |
Hubungan wewenang |
Hubungan hukum pembentuk
undang-undang dengan organ pemerintahan. |
Berdasarkan atas wewenang atribusi
yang dilimpahkan kepada delegataris. |
Hubungan yang bersifat internal
Antara bawahan degan atasan |
Sumber: Nomensen Sinamo, (2016).
Berdasarkan Chapter
101 (mandate, delegation and conferral of power) General Administrative Law Act
(GALA) Belanda, perbedaan atribusi, delegasi dan mandat dapat diuraikan sebagai
berikut:
Tabel: 4.2
Perbedaan Atribusi, Delegasi, dan
Mandat Menurut General Administrative Law
Act (GALA) Belanda
ATRIBUSI |
DELEGASI |
MANDAT |
Atribusi
adalah wewenang badan/ pejabat TUN yang bersumber pada konstitusi/
undang-undang. |
a) Delegasi pelimpahan wewenang dari
satu badan/ pejabat TUN kepada badan/ pejabat TUN lainya, dan tanggung jawab
atas wewenang itu ikut beralih kepada badan/ pejabat TUN yang menerima
limpahan wewenang, b) Delegasi tidak boleh kepada bawahan (no delegation to subordinates), c) Delegasi hanya berdasarkan ketentuan
undang-undang. |
a)
Mandat
adalah wewenang untuk mengambil keputusan atas nama badan/ pejabat TUN yang
memberikan mandat, b)
Pengambilan
keputusan oleh penerima mandat (mandatory)
berdasarkan pertimbangan pemberi mandat (mandator).
Mandat dapat diberikan secara umum (general
mandate) atau secara khusus (special
mandate). |
Sumber: A’an dan Freddy, (2017).
C. Tugas dan Wewenang Perawat dalam Melaksanakan Pelayanan Kesehatan
Tugas
dan wewenang perawat dalam melaksanakan pelayanan kesehatan secara umum
sebagaimana dimaksud pada UU No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan adalah
sebagai berikut:
1.
Dalam menjalankan tugas
sebagai pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya kesehatan perorangan,
perawat berwenang:
a.
melakukan pengkajian
keperawatan secara holistik;
b.
menetapkan diagnosis
keperawatan;
c.
merencanakan tindakan
keperawatan;
d.
melaksanakan tindakan
keperawatan;
e.
mengevaluasi hasil tindakan
keperawatan;
f.
melakukan rujukan;
g.
memberikan tindakan
pada keadaan gawat darurat sesuai dengan kompetensi;
h.
memberikan konsultasi
keperawatan dan berkolaborasi dengan dokter;
i.
melakukan penyuluhan
kesehatan dan konseling; dan
j.
melakukan
penatalaksanaan pemberian obat kepada klien sesuai dengan resep tenaga medis
atau obat bebas dan obat bebas terbatas.
2.
Dalam menjalankan tugas
sebagai pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya kesehatan masyarakat,
perawat berwenang:
a.
melakukan pengkajian
keperawatan kesehatan masyarakat di tingkat keluarga dan kelompok masyarakat;
b.
menetapkan permasalahan
keperawatan kesehatan masyarakat;
c.
membantu penemuan kasus
penyakit;
d.
merencanakan tindakan
keperawatan kesehatan masyarakat;
e.
melaksanakan tindakan
keperawatan kesehatan masyarakat;
f.
melakukan rujukan
kasus;
g.
mengevaluasi hasil
tindakan keperawatan kesehatan masyarakat;
h.
melakukan pemberdayaan
masyarakat;
i.
melaksanakan advokasi
dalam perawatan kesehatan masyarakat;
j.
menjalin kemitraan
dalam perawatan kesehatan masyarakat;
k.
melakukan penyuluhan
kesehatan dan konseling;
l.
mengelola kasus; dan
m.
melakukan
penatalaksanaan keperawatan komplementer dan alternatif.
3.
Dalam menjalankan tugas
sebagai penyuluh dan konselor bagi klien, perawat berwenang:
a.
melakukan pengkajian
keperawatan secara holistik di tingkat individu dan keluarga serta di tingkat
kelompok masyarakat;
b.
melakukan pemberdayaan
masyarakat;
c.
melaksanakan advokasi
dalam perawatan kesehatan masyarakat;
d.
menjalin kemitraan
dalam perawatan kesehatan masyarakat; dan
e.
melakukan penyuluhan
kesehatan dan konseling.
4.
Dalam menjalankan
tugasnya sebagai pengelola pelayanan keperawatan, Perawat berwenang:
a.
melakukan pengkajian
dan menetapkan permasalahan;
b.
merencanakan,
melaksanakan, dan mengevaluasi pelayanan keperawatan; dan
c.
mengelola kasus.
5.
Dalam menjalankan
tugasnya sebagai peneliti keperawatan, perawat berwenang;
a.
melakukan penelitian
sesuai dengan tandard an etika;
b.
menggunakan sumber daya
pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan atas izin pimpinan; dan
c.
menggunakan pasien
sebagai subjek penelitian sesuai dengan etika profesi dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
6.
Dalam melaksanakan
tugas berdasarkan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Perawat berwenang:
a. melakukan
tindakan medis yang sesuai dengan kompetensinya atas pelimpahan wewenang
delegatif tenaga medis;
b. melakukan
tindakan medis di bawah pengawasan atas pelimpahan wewenang mandat; dan
c.
memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan program Pemerintah.
7.
Dalam melaksanakan tugas
pada keadaan keterbatasan tertentu, Perawat berwenang:
a.
melakukan pengobatan
untuk penyakit umum dalam hal tidak terdapat tenaga medis;
b.
merujuk pasien sesuai
dengan ketentuan pada sistem rujukan; dan
c.
melakukan pelayanan
kefarmasian secara terbatas dalam hal tidak terdapat tenaga kefarmasian.
D. Pola Hubungan Kerja Perawat
Pola
hubungan kerja perawat menurut Hasyim dalam Ngesti W. Utami adalah sebagai
berikut:[8]
1. Hubungan kerja
perawat dengan pasien
Pasien
adalah fokus dari upaya asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat sebagai
salah satu komponen tenaga kesehatan. Hubungan perawat dan pasien adalah
hubungan yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan
untuk pencapaian tujuan klien. Dalam hubungan itu, perawat menggunakan pengetahuan
komunikasi guna memfasilitasi hubungan yang efektif. Dasar hubungan antara
perawat dengan pasien adalah hubungan yang saling menguntungkan (mutual
huminity). Hubungan yang baik antara perawat dan pasien terjadi apabila:
a.
Terdapat rasa saling percaya
antara perawat dan pasien.
b.
Perawat benar-benar
memahami tentang hak-hak pasien dan harus melindungi hak tersebut, salah
satunya hak untuk menjaga privasi pasien.
c.
Perawat harus sensitif
terhadap perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada pribadi pasien yang
disebabkan oleh penyakit yang dideritanya, antara lain kelemahan fisik dan
ketidakberdayaan.
d.
Perawat harus memahami
keberadaan pasien atau klien sehingga dapat bersikap sabar dan tetap
memperhatikan pertimbangan etis dan moral.
e.
Dapat bertanggungjawab
dan bertanggung gugat atas segala resiko yang mungkin timbul selama pasien
dalam perawatan.
f.
Perawat sedapat mungkin
berusaha untuk menghindari konflik antara nilai-nilai pribadinya dan nilai
pribadi pasien dengan cara membina hubungan yang baik antara pasien, keluarga
dan teman.
2. Hubungan kerja
perawat dengan sejawat
Perawat
dalam menjalankan tugasnya harus dapat membina hubungan baik dengan semua
perawat yang berada di lingkungan kerjanya.Dalam membina hubungan tersebut,
sesama perawat harus terdapat rasa saling menghargai dan tenggang rasa yang
tinggi agar tidak terjebak dalam sikap saling curiga dan benci.
Perawat
dan teman sejawat selalu menunjukkan sikap memupuk rasa perandaan dengan silih
asuh, silih asih, silih asah.
a.
Silih asuh artinya
sesama perawat diharapkan saling membimbing, menasihati, menghormati, dan
mengingatkan bila sejawat melakukan kesalahan atau kekeliruan.
b.
Silih asih artinya
setiap perawat dalam menjalankan tugasnya diharapkan saling menghargai satu
sama lain, saling kasih mengasihi sebagai anggota profesi, saling bertenggang
rasa dan bertoleransi yang tinggi sehingga tidak terpengaruh oleh hasutan yang
dapat membuat sikap saling curiga dan benci.
c.
Silih asah artinya
perawat yang merasa lebih pandai/tahu dalam hal ilmu pengetahuan diharapkan
membagi ilmu yang dimilikinya kepada rekan sesama perawat tanpa pamrih.
3. Hubungan kerja
perawat dengan profesi lain yang terkait
Dalam
melaksanakan tugasnya, perawat tidak dapat bekerja sendiri tanpa berkolaborasi
dengan profesi lain. Profesi lain tersebut diantaranya adalah dokter, ahli
gizi, ahli farmasi, tenaga laboratorium, tenaga rontgen dan sebagainya.
Dalam
menjalankan tugasnya, setiap profesi dituntut untuk mempertahankan kode etik
profesi masing-masing. Kelancaran tugas masing-masing profesi tergantung dari
ketaatannya dalam menjalankan dan mempertahankan kode etik profesinya.
Bila
setiap profesi telah dapat saling menghargai, maka hubungan kerja sama akan
dapat terjalin dengan baik, walaupun pada pelaksanaannya sering juga terjadi
konflik-konflik etis.
4. Hubungan kerja
perawat dengan institusi tempat bekerja
Terbinanya
hubungan kerja yang baik antara perawat dengan institusi tempat bekerja, dapat
dicapai dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.
Menanamkan nilai dalam
diri perawat bahwa bekerja itu tidak sekedar mencari uang, tapi juga perlu hati
yang ikhlas.
b.
Bekerja juga merupakan
ibadah, yang berarti bahwa hasil yang diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan
dengan sungguh-sungguh dan penuh rasa tanggung jawab akan dapat memenuhi
kebutuhan lahir dan batin.
c.
Tidak semua keinginan
individu perawat akan pekerjaan dan tugasnya dapat terealisasi dengan baik
sesuai dengan nilai-nilai yang ia miliki.
d.
Upayakan untuk
memperkecil terjadinya konflik nilai dalam melaksanakan tugas keperawatan
dengan menyesuaikan situasi dan kondisi tempat kerja.
e. Menjalin kerjasama dengan baik dan dapat memberikan kepercayaan kepada pemberi kebijakan bahwa tugas dan tanggung jawab keperawatan selalu mengalami perubahan sesuai IPTEK.
[2] Agus Roni Arbaben, 2017, Pengertian Kewenangan, Sumber-Sumber Kewenangan Dan Kewenangan Membentuk Undang-Undang, diakses pada: https://agusroniarbaben.wordpress.com/2017/06/03/pengertian-kewenangan-sumber-sumber-kewenangan-dan-kewenangan-membentuk-undang-undang/ (Tanggal 3 Oktober 2018).
[3] Ridwan HR, 2014, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 98.
[4] Ibid, hlm. 99.
[5]Philipus, dkk, 2015, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 125.
[6] A’an dan Freddy, 2017, Hukum Administrasi, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 111.
[7] Ibid, hlm. 102.
[8] Ngesti W. Utami, Loc. Cit, hlm. 125-127.
BAB IX
MALPRAKTIK KEPERAWATAN
Menurut American
Nurses Association (ANA), "Standar Praktik Keperawatan Profesional adalah
pernyataan berwibawa dari tugas bahwa semua perawat terdaftar, terlepas dari
peran, populasi atau keahlian khusus diharapkan tampil dengan kompeten"
(2010, hal 2). ANA selanjutnya menyatakan bahwa standar dapat berubah karena
dinamika keperawatan profesional berevolusi dan keadaan klinis atau kondisi
spesifik dapat mempengaruhi penerapan standar pada waktu tertentu (ANA, 2010).
Pada tahun 2010, ANA mendukung perawatan WOC sebagai praktik khusus (Wound,
Ostomy and Continence Nurses Society, 2010). Oleh karena itu, penting bagi
perawat WOC untuk menyadari standar dan cakupan praktik sebagai panduan dasar
untuk mencapai kesempurnaan dalam praktik dan untuk mengenali implikasi hukum
dari standar dan definisi lingkup praktik.
Aspek hukum
keperawatan memiliki dampak pada cara perawatan diberikan kepada pasien oleh
perawat. Masalah hukum membentuk lingkungan di mana keperawatan dipraktekkan
dan menentukan bagaimana dokumen disimpan atau dibagi. Pada akhirnya, perawat
dan asuhan keperawatan yang mereka berikan dinilai berdasarkan definisi hukum
untuk standar perawatan bagi perawat. "Standar perawatan" tertulis
dan "pedoman" tersedia sebagai sumber untuk menentukan bagaimana
asuhan keperawatan disampaikan dan kualitas asuhan. Namun, definisi hukum
tentang standar perawatan untuk perawat bukanlah "pedoman" atau
"kebijakan" yang ditetapkan oleh seseorang atau institusi manapun.
Sebaliknya, ini adalah perwujudan pengetahuan kolektif untuk apa yang
dibutuhkan perawat rata-rata dan menetapkan kriteria minimum untuk kemahiran.
Malpraktek itu
sendiri merupakan kelalaian, kesalahan, atau pelanggaran tugas oleh profesional
yang mengakibatkan cedera /kerusakan pada pasien. Menurut Reising dan Allen,
klaim malapraktik muncul terhadap perawat saat perawat gagal:
·
Menilai dan memantau.
·
Mengikuti standar
perawatan.
·
Menggunakan peralatan secara bertanggung jawab.
·
Menyampaikan.
·
Mendokumentasikan.
·
Bertindak sebagai advokat pasien dan mengikuti rantai
komando.
A.
Unsur Malpraktik
Kelalaian Medis
terdapat 4 kriteria “4D” yang secara kumulatif semuanya harus terbukti untuk
menjatuhkan sanksi bagi tenaga kesehatan untuk membayar ganti rugi kepada pasien/keluarganya
dalam forum pengadilan. Ke 4 D
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Duty of care by the doctor to the injured patient (kewajiban) yaitu tenaga kesehatan yang
digugat memang mempunyai kewajiban (duty) sebagai akibat adanya hubungan
kontraktual.
2. Dereliction of duty (pelanggaran kewajiban) yakni, adanya
wanprestasi atau melalaikan kewajiban (dereliction of duty).
3. Damage (kompensasi
kerugian) yang foreseeable, yakni telah terjadi kerugian (damage atau compensable
injury).
4. Direct cause (sebab
langsung) yakni pelanggaran kewajiban mengakibatkan kerugian, adanya
hubungan langsung antara kerugian itu dengan kelalaian melaksanakan kewajiban (direct
causation).
B.
Jenis-Jenis Malpraktik
Berpijak
pada hakekat malpraktek adalan praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan
standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang
dapat dipiah dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun
kadang kala sebutan malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih
jenis malpraktek. Secara garis besar malprakltek dibagi dalam dua golongan
besar yaitu mal praktik medik (medical malpractice) yang
biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichal malpractice)
dan malpraktek yuridik (yuridical malpractice). Sedangkan
malpraktik yurudik dibagi menjadi tiga yaitu malpraktik perdata (civil malpractice),
malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktek
administrasi Negara (administrative malpractice).
1.
Malpraktik Medik (medical malpractice)
John.D.Blum merumuskan: Medical
malpractice is a form of professional negligence in whice miserable injury
occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or omission by
defendant practitioner. (malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian
professional yang menyebabkan terjadinya luka berat pada pasien / penggugat
sebagai akibat langsung dari perbuatan ataupun pembiaran oleh
dokter/terguguat).
Sedangkan rumusan yang berlaku di
dunia kedokteran adalah Professional misconduct or lack of ordinary
skill in the performance of professional act, a practitioner is liable for
demage or injuries caused by malpractice. (Malpraktek adalah perbuatan yang
tidak benar dari suatu profesi atau kurangnya kemampuan dasar dalam
melaksanakan pekerjaan. Seorang dokter bertanggung jawab atas terjadinya kerugian
atau luka yang disebabkan karena malpraktik), sedangkan junus hanafiah
merumuskan malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan
tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam
mengobati pasien atau orang yang terluka menurut lingkungan yang sama.
2.
Malpraktik Etik (ethical malpractice)
Malpraktik etik adalah tindakan
dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran, sebagaimana yang diatur dalam
kode etik kedokteran Indonesia yang merupakan seperangkat standar etika,
prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk dokter. Hal ini juga serupa bagi
penyelenggara keperawatan sebagai penerima tangungjawab dari dokter.
3.
Malpraktik Yuridis (juridical malpractice)
Malpraktik yuridis adalah
pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan profesi kedokteran dan tenaga
kesehatan lainnya yang melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku.
Malpraktik Yuridis meliputi:
a.
Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktik perdata terjadi jika
dokter dan tenaga kesehatan tidak melakukan kewajiban (ingkar janji) yaitu
tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter
dan tenaga kesehatan yang dapat dikatagorikan sebagai melpraktik perdata antara
lain :
§ Tidak melakukan apa yang menurut
kesepakatan wajib dilakukan
§ Melakukan apa yang disepakati
dilakukan tapi tidak sempurna
§ Melakukan apa yang disepakati
tetapi terlambat
§ Melakukan apa yang menurut
kesepakatan tidak seharusnya dilakukan
b.
Malpraktik Pidana (criminal malpractice)
Malpraktik pidana terjadi, jika perbuatan
yang dilakukan maupun tidak dilakukan memenuhi rumusan undang-undang hukum
pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa perbuatan positif (melakukan sesuatu)
maupun negative (tidak melakukan sesuatu) yang merupakan perbuatan tercela (actus
reus), dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) berupa
kesengajaan atau kelalaian.
Contoh malpraktik pidana dengan
sengaja adalah :
·
Melakukan aborsi tanpa tindakan medik
·
Mengungkapkan rahasia kedokteran dengan sengaja
·
Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam
keadaan darurat
·
Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar
·
Membuat visum et repertum tidak benar
·
Memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan
dalan kapasitasnya sebagai ahli
Contoh malpraktik pidana karena kelalaian:
·
Kurang hati-hati sehingga menyebabkan gunting tertinggal
diperut
·
Kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien luka berat
atau meninggal
c.
Malpraktik Administrasi Negara (administrative
malpractice)
Malpraktik administrasi terjadi
jika dokter dan tenaga kesehatan
menjalankan profesinya tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum
administrasi Negara. Misalnya:
·
Menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin
·
Menjalankan praktik kedokteran tidak sesuai dengan kewenangannya
·
Melakukan praktik kedokteran dengan ijin yang sudah
kadalwarsa.
·
Tidak membuat rekam medik.
C.
Klasifikasi Kegagalan Medis
Di dalam hukum
kesehatan kegagalan dalam tindakan dan/pengobatan dikenal 3 (tiga) istilah,
yakni:
1.
Risiko Medis
Risiko (risk) mengandung pengertian “the possibility of something bad happening at some time in the future; a situation that could be dangerous or have a bad result”yang artinya kemungkinan sesuatu yang buruk terjadi pada suatu waktu di masa depan; situasi yang bisa berbahaya atau berdampak buruk.
Risiko medis dapat dimaknai sebagai suatu keadaan yang tidak dikehendaki baik oleh pasien maupun tenaga kesehatan setelah tenaga kesehatan tersebut berusaha semaksimal mungkin dan juga sesuai standar profesi, standar playanan, dan standar profesional prosedur telah terpenuhi, namun kecelakaan itu tetap terjadi.
Misalnya: pada
saat melakukan Sectio Caesarea dokter
obgyn bersama perawat asisten bedah, pasien mengalami syok
hipovolemik karena perdarahan yang tidak kunjung berhenti. Dokter anestesi nampak juga terlibat membantu persalinan
tersebut. Dokter anestesi melakukan resusitasi cairan dan dokter obgyn berusaha
menghentikan perdarahan tersebut akan tetapi nyawa pasien tidak bisa
diselamatkan.
2.
Komplikasi Medis
Komplikasi
medis adalah sebuah
perubahan yang
tak diinginkan dari suatu tindakan atau pemberian terapi. Kondisi yang memperburuk atau
menunjukkan jumlah gejala yang lebih besar atau perubahan patologi, yang
menyebar ke seluruh tubuh atau berdambak pada sistem organ lainya.
Misalnya:
perawat/dokter memberikan obat antibiotik kepada pasien yang mana sebelumnya
pasien/keluarga tidak mengetahui bahwa pasien itu alergi terhadap obat
tersebut, sehingga mengakibatkan terjadinya syok anafilatik pada pasien.
3.
Malpraktik medis
Menurut Black’s Law Dictionary, mendefinisikan
malpraktik sebagai:
“professional
misconduct or Unreasonable lack or skill atau failure of one rendering proffesinal services to exercise that degree
of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the
community by average prudent reputable member of the profession damage to the
recipiebt or those services or those entilited to rely upon them”.
Dari pengertian
tersebut diatas, dengan menggunakan perspektif hukum, dapat dimaknai bahwa
malpraktik dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja (intentinal) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang
mahiran yang tidak beralasan.
Malpraktik medis
adalah kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya
yang tidak sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional,
akibat kesalahan atau kelalaian tersebut pasien menderita luka berat, cacat
bahkan meninggal dunia.
Misalnya:
perawat asisten bedah dan dokter bedah meninggalkan instrument berupa kasa atau
jarum bedah di dalam tubuh pasien.
Dari uraian di
atas, penulis menyimpulkan bahwa setiap adanya dugaan terjadi malpraktik medis
belum tentu itu merupakan kelalaian medis. Bisa saja hal itu merupakan
komplikasi medis, karena banyak kasus terjadi di masyarakat orang-orang salah
membedakan yang mana itu bentuk kelalaian dan yang mana itu
komplikasi
atau cedera medis.
BAB X
SANKSI HUKUM DALAM PELAYANAN KEPERAWATAN
Sanksi dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Belanda, sanctie, seperti dalam poenale sanctie yang terkenal dalam sejarah Indonesia pada masa kolonial Belanda. Sanksi
adalah alat pemaksa agar seseorang menaati norma-norma yang berlaku.
Menurut “Black's Law Dictionary
Seventh Edition”, sanksi (sanction) adalah:
“A penalty
or coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or
order (a sanction for discovery abuse)”
Di Indonesia, secara umum, dikenal sekurang-kurangnya tiga jenis sanksi
hukum yaitu:
A.
Sanksi Hukum
Pidana
Dalam hukum pidana, sanksi hukum disebut hukuman. Menurut R. Soesilo, hukuman adalah:
“Suatu
perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada
orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”
Hukuman
sendiri diatur dalam pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:
1. Hukuman pokok, yang terbagi menjadi:
a. hukuman mati;
b. hukuman penjara;
c. hukuman kurungan;
d. hukuman denda.
2. Hukuman-hukuman tambahan, yang terbagi menjadi:
a. pencabutan beberapa hak yang tertentu;
b. perampasan barang yang tertentu;
c. pengumuman keputusan hakim.
Berikut
adalah contoh sanksi hukum pidana bagi perawat yang banyak terjadi di
masyarakat:
·
UU No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Pasal 62 (2)
Pelaku usaha yang merugikan konsumen dipidana penjara paling lama 2
(dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
·
UU No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas
berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat
seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi
dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat,
metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi
yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi
dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
·
UU No. 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Pasal 103
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak
melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
·
UU No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 191
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik
pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda,
luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin
edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan
kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
·
UU No. 36 tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
Pasal 85 (1)
Setiap Tenaga Kesehatan yang dengan sengaja
menjalankan praktik tanpa memiliki STR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Pasal 86 (1)
Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa
memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
·
KUHP
Pasal
290 ayat (1)
Barangsiapa melakukan perbuatan
cabul dengan seseorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak
berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 322 ayat (1)
Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib
disimpanya karena jabatan atau pencarianya, baik yang sekarang maupun yang
dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
Pasal 359
Barang siapa karena kesalahanya (kealpaanya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama
lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 360 ayat (1)
Barang siapa karena kesalahanya (kealpaanya)
menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan hukuman pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 360 ayat (2)
Barang siapa karena kesalahanya (kealpaanya)
menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat sedemikian rupa sehingga timbul
penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama
waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat
ribu lima ratus rupiah.
B.
Sanksi Hukum
Perdata
Dalam hukum perdata, putusan yang dijatuhkan
oleh hakim dapat berupa:
1. putusan condemnatoir yakni putusan yang bersifat menghukum pihak yang
dikalahkan untuk memenuhi prestasi (kewajibannya). Contoh: salah satu pihak
dihukum untuk membayar kerugian, pihak yang kalah dihukum untuk membayar biaya
perkara;
2. putusan declaratoir yakni putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan
yang sah menurut hukum. Putusan ini hanya bersifat menerangkan dan menegaskan
suatu keadaan hukum semata-mata. Contoh: putusan yang menyatakan bahwa
penggugat sebagai pemilik yang sah atas tanah sengketa;
3. putusan constitutif yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan hukum
dan menciptakan keadaan hukum baru. Contoh: putusan yang memutuskan suatu
ikatan kontrak.
Jadi, dalam
hukum perdata, bentuk sanksi hukumnya dapat berupa:
·
kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban);
·
hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatu
keadaan hukum baru.
Sedangkan
dalam praktiknya, hakim yang mengadili dan memutus perkara perdata juga dapat
menghukum pihak yang berperkara berupa:
·
pembayaran ganti rugi materiil;
·
pembayaran ganti rugi immateriil.
Dalam Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) disebut bahwa tiap perbuatan melanggar
hukum yang membawa kerugian kepada orang (pihak) lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
C.
Sanksi
Administrasi/Administratif
Sedangkan
untuk sanksi administrasi/administratif,
adalah sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan
undang-undang yang bersifat administratif. Pada umumnya sanksi administrasi/ administratif
berupa;
a) Teguran lisan,
b) Peringatan
tertulis,
c) Denda
administratif,
d) Pencabutan izin praktik.
Berdasarkan uraian di atas, penulis
menyimpulkan bahwa alasan aparat penegak hukum tidak menggunakan UU No. 38
tahun 2014 tentang Keperawatan dalam mengadli perawat yang melakukan
pelanggaran hukum, malah justru memakai peraturan perundang-undangan yang lain,
adalah karena dalam UU No. 38 tahun 2014 tidak mencantumkan ketentuan pidana.
Sehingga aparat penegak hukum biasanya memakai pasal dalam UU No. 36 tahun 2004
tentang Kesehatan dan UU No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, KUHP dalam
menjerat perawat yang melakukan pelanggaran.
BAB XI
PERLINDUNGAN HUKUM
BAGI PERAWAT DAN PASIEN
Menurut Soedikno Mertokusumo, perlindungan hukum
adalah jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri
maupun di dalam hubungan manusia.[1]
Pasal 3 ayat (3) UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menjelaskan bahwa, “setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Hal ini sesuai dengan
teori Satjipto Raharjo yang menyatakan bahwa, perlindungan hukum adalah memberi
pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan
perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak
yang diberikan oleh hukum.[2]
Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah
perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi
manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan Pancasila.[3]
Perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yaitu:
·
Perlindungan hukum preventif, yang dituangkan dalam bentuk
peraturan-peraturan pencegahan yang pada dasarnya merupakan patokan bagi setiap
tindakan yang akan dilakukan masyarakat, meliputi seluruh aspek tindakan
manusia.
·
Perlindungan hukum represif, berwujud adanya
badan-badan hukum yang mengurus dalam upaya penyelesaian sengketa, yang terdiri
dari pengadilan dalam lingkup peradilan umum, dan Instansi Pemerintah yang
merupakan lembaga banding administrasi.[4]
Menurut Sukendar, perlindungan
hukum perawat adalah tindakan atau upaya untuk melindungi perawat dari perbuatan
sewenang-wenang oleh orang lain yang tidak sesuai dengan aturan hukum.
Perlindungan tersebut diberikan kepada perawat agar mereka dapat menikmati
semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau, terkait pula dengan adanya hak
dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh perawat sebagai subyek hukum dalam interaksinya
dengan sesama manusia serta lingkungannya. Strategi perlindungan
hukum bagi perawat komplementer-alternatif antara lain:
·
Upaya preventif : melengkapi administrasi (STR, SIPP,
sertifikasi keahlian, SOP) dalam praktik keperawatan mandiri, mempelajari peraturan-peraturan tentang
hukum kesehatan yang berkembang di Indonesia, organisasi profesi dan organisasi
seminat mendesak atau mengusulkan payung hukum (Perda / otonomi daerah)
setempat untuk membuat peraturan tentang perlindungan hukum terhadap nakes (di
dalamnya perawat), organisasi profesi menjalin kerjasama dengan Kapolda,
Kapolres, Kapolsek setempat, organisasi profesi dan organisasi seminat menjalin
hubungan dengan Ketua adat atau pemuka
agama setempat, organisasi profesi menjalin kerjasama dengan Ormas yang ada
didaerahnya.
·
Upaya represif : melakukan advokasi yaitu di mulai
dari pendampingan hukum, melakukan mediasi dalam penyelesaian sengketa, membela
dan memastikan bahwa perawat tersebut mendapatkan hak-haknya dalam
menjalankan proses hukum. Selain itu memastikan
bahwa perawat tersebut telah memberikan ganti rugi.[5]
Sedangkan Menurut Rudi Yulianto, perlindungan
hukum bagi pasien dalam pelayanan keperawatan secara mandiri sampai sekarang
belum ada perlindungan hukumnya sehingga pasien sebagai konsumen layanan jasa
bisa menggunakan Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
untuk mendapatkan perlindunganya. Berbeda dengan perawat, dalam kontrak
terapeutik perawat di lindungi oleh Undang-Undang. Dalam UU Kesehatan, pasien berhak menuntut ganti
rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan
yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan
kesehatan yang diterimanya. Layanan
kesehatan merupakan bentuk jasa sebagaimana dalam point 5 (lima) UU No.8 tahun
1999 bahwa yang disebut jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan
atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.[6]
Berikut ini adalah perlindungan hukum
bagi pasien dan perawat yang tertera dalam peraturan perundang-undangan:
1. Undang-Undang Dasar 1945
·
Pasal 28D ayat (1) berbunyi “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum”.
Penjelasan Penulis: Pasal 28D ayat (1) menandakan bahwa
setiap orang termasuk perawat dan pasien memiliki hak yang sama untuk
mendapatkan perlindungan hukum dari Negara Indonesia.
·
Pasal 28 I ayat (4) berbunyi “Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah”.
Penjelasan Penulis: Hak pasien pada Fasyankes adalah mendapatkan
pelayanan kesehatan sesuai standar profesi dan mendapatkan perlindungan hukum.
Dan pada pasal 28I ayat (4) membuktikan bahwa pemerintah melindungi hak-hak
tersebut.
2. Undang-Undang
No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
·
Pasal 3 berbunyi, Perlindungan konsumen
bertujuan:
a.
meningkatkan kesadaran,
kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b.
mengangkat harkat dan
martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian
barang dan/atau jasa;
c.
meningkatkan pemberdayaan
konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d.
menciptakan sistem
perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan
informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e.
menumbuhkan kesadaran pelaku
usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang
jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f.
meningkatkan kualitas
barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau
jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Penjelasan Penulis: Pasal
di atas telah menunjukkan bahwa Undang-Undang tersebut melindungi pasien selaku
pengguna jasa layanan kesehatan.
· Pasal
4 berbunyi, hak konsumen adalah:
a.
hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.
hak untuk memilih
barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.
hak atas informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.
hak untuk didengan
pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.
hak untuk mendapatkan
advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut;
f.
hak untuk mendapat
pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.
hak untuk diperlakukan
atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.
hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.
hak-hak yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Penjelasan Penulis: seperti
kita ketahui bahwa jasa merupakan barang yang tidak berwujud namun bisa
diperjual belikan. Sehingga pasal di atas menunjukkan perlindungan hukum secara
preventif dan represif.
·
Pasal 6 huruf b berbunyi
“ pelaku usaha berhak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik”
Penjelasan
Penulis: pasal 6 menunjukkan bahwa tenaga
kesehatan selaku penjual jasa juga mendapat perlindungan hukum.
·
Pasal 7 huruf f dan g
berbunyi:
~ f
: Pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
~ g
: Pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.
Penjelasan Penulis: Pasal 7 huruf f
dan g menunjukkan upaya perlindungan hukum represif terhadap pasien selaku
pengguna jasa layanan kesehatan.
·
Pasal 19 ayat (1) berbunyi “Pelaku usaha bertanggung
jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian
konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan”.
Penjelasan
Penulis: Pasal di atas menunjukkan perlindungan
hukum represif kepada pasien yang merasa telah di rugikan atas pelayanan
kesehatan.
·
Pasal 45 berbunyi:
(1)
Setiap konsumen yang
dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2)
Penyelesaian sengketa
konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3)
Penyelesaian sengketa
di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan
tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
(4)
Apabila telah dipilih
upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,gugatan melalui
pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil
oleh salah satu pihak atau oleh pihak yang bersengketa.
Penjelasan Penulis:
Pasal di atas merupakan upaya perlindungan hukum represif, karena
mendeskripsikan tentang mediasi yaitu jalur yang ditempuh dalam penyelesaian
sengketa.
·
Pasal 47 berbunyi “Penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai
bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk
menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian
yang diderita oleh konsumen”.
Penjelasan
Penulis: Pada Pasal 47 juga menggambarkan bentuk
perlindungan hukum kepada pasien.
3. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan
·
Pasal 27 ayat (1) berbunyi “Tenaga kesehatan berhak mendapatkan
imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya”.
Penjelasan Penulis: Pasal 27 ayat (1)
menunjukkan bahwa tenaga kesehatan (termasuk di antaranya perawat) berhak
mendapatkan perlindungan hukum. Itu berarti perawat yang melakukan pelayanan
komplementer-anternatif juga dilindungi oleh pemerintah.
·
Pasal 29 berbunyi “dalam hal
tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya,
kelalaian tersebut harus di selesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.
Penjelasan Penulis: Pasal 29 menjelaskan bahwa antara kedua
belah pihak bila terjadi perselisihan maka harus diselesaikan melalui mediasi.
Mediasi merukan upaya perlindungan hukum represif.
·
Pasal 58 ayat (1) berbunyi “setiap orang berhak menuntut ganti rugi
terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya”.
Penjelasan Penulis: Pasal 58 ayat (1)
menunjukkan bahwa apabila tenaga kesehatan dalam hal ini perawat yang melakukan
pelayanan komplementer-alternatif telah menimbulkan kerugian kepada pasien maka
pasien tersebut berhak menuntut ganti rugi. Dan ganti rugi merupakan salah satu
upaya perlindungan hukum represif.
·
Pasal 58 ayat (2) berbunyi “tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat”.
Penjelasan Penulis: Pasal 58 ayat (2)
secara tidak langsung menunjukkan bahwa pemerintah melindungi tenaga kesehatan
termasuk perawat apabila melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pecegahan
kecacatan pasien yaitu dengan tidak membebankan ganti rugi.
4. Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit
·
Pasal 3 berbunyi: Pengaturan
penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:
a.
mempermudah akses
masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan;
b.
memberikan perlindungan
terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya
manusia di rumah sakit;
c.
meningkatkan mutu dan
mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan
d.
memberikan
kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.
Penjelasan:
pasal diatas menunjukkan bahwa Rumah
Sakit memberikan perlindungan hukum bagi pasien beserta karyawanya.
·
Pasal 6 ayat (1) berbunyi: Pemerintah dan
pemerintah daerah bertanggung jawab untuk :
a.
menyediakan Rumah
Sakit berdasarkan kebutuhan
masyarakat;
b.
menjamin pembiayaan
pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin, atau orang tidak mampu
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.
membina dan
mengawasi penyelenggaraan Rumah
Sakit;
e.
memberikan
perlindungan kepada Rumah Sakit agar dapat memberikan pelayanan kesehatan
secara profesional dan bertanggung jawab; memberikan perlindungan kepada
masyarakat pengguna jasa pelayanan Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
f.
menggerakkan peran
serta masyarakat dalam pendirian Rumah Sakit sesuai dengan jenis pelayanan yang
dibutuhkan masyarakat;
g.
menyediakan informasi
kesehatan yang dibutuhkan oleh
masyarakat;
h.
menjamin pembiayaan pelayanan kegawat daruratan di
Rumah Sakit akibat bencana dan kejadian luar biasa;
i.
menyediakan sumber daya
manusia yang dibutuhkan; dan
j.
mengatur pendistribusian
dan penyebaran alat kesehatan berteknologi tinggi dan bernilai tinggi.
Penjelasan Penulis: Pasal di atas menunjukkan bahwa pemerintah memberikan
perlindungan hukum bagi rumah sakit dan pasien dalam pelayanan kesehatan.
·
Pasal 13 ayat (3) berbunyi:
Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan
standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional
yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan
keselamatan pasien.
Penjelasan
Penulis:
Pasal 13 ayat (3) menggambarkan
perlindungan hukum secara preventif bagi pasien. Karena apabila tenaga
kesehatan melakukan pelayanan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan
Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi pasti
dapat mencegah terjadinya malpraktik.
·
Pasal 29 ayat (1) huruf
b berbunyi: Tenaga kesehatan wajib memberi pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien
sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit;
Penjelasan
Penulis:
Pasal tersebut menjelaskan bahwa dengan
meningkatkan patient safety berarti juga memberikan pelayanan yang aman dan
bermutu. Pasal tersebut juga termasuk upaya perlindungan hukum.
·
Pasal 32 Setiap pasien
mempunyai hak:
a.
memperoleh informasi
mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
b.
memperoleh informasi
tentang hak dan kewajiban pasien;
c.
memperoleh
layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
d.
memperoleh
layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional;
e.
memperoleh
layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik
dan materi;
f.
mengajukan
pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
g.
memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan
keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
h.
meminta konsultasi
tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin
Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;
i.
mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk
data-data medisnya;
j.
mendapat informasi
yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya
pengobatan;
k.
memberikan persetujuan
atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap
penyakit yang dideritanya;
l.
didampingi keluarganya
dalam keadaan kritis;
m.
menjalankan ibadah
sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu
pasien lainnya;
n.
memperoleh
keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit;
o.
mengajukan usul,
saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya;
p.
menolak pelayanan
bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
q.
menggugat
dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan
yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan
r.
mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan
standar pelayanan melalui media cetak
dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan: Pasal
32 huruf c,d,e,f,n, q dan r, merupakan bentuk perlindungan hukum bagi pasien
secara preventif dan represif.
·
Pasal 46 : Rumah
Sakit bertanggung jawab secara
hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.
Penjelasan: pasal 46 merupakan bentuk
perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas selama berada
di lingkungan Rumah Sakit.
5.
Undang-Undang No. 36 tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan
·
Pasal 4 ayat (2) berbunyi
“Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau”.
Penjelasan
Penulis:
Pasal di atas menggambarkan bahwa pelayanan kesehatan yang aman juga termasuk
perlindungan hukum secara preventif.
·
Pasal 19 berbunyi “Pemerintah
bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu,
aman, efisien, dan terjangkau”.
Penjelasan
Penulis:
Pasal 19 memberikan kewenangan kepada
pemerintah secara atributif dalam memberikan upaya perlindungan hukum preventif
bagi pasien.
·
Pasal 27 ayat (1) berbunyi “Tenaga kesehatan berhak
mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya.
Penjelasan
Penulis:
Pasal 27 ayat (1) menunjukkan bahwa Tenaga Kesehatan juga mendapatkan
perlindungan hukum.
·
Pasal 29 berbunyi “Dalam
hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya,
kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.
Penjelasan
Penulis:
Pasal 29 menggambarkan upaya
perlindungan hukum secara represif bagi
tenaga kesehatan dan pasien.
·
Pasal 58 ayat (1) berbunyi “Setiap orang berhak
menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”.
Penjelasan
Penulis:
Pasal di atas merupakan bentuk
perlindungan hukum secara represif bagi pasien.
·
Pasal 48 ayat (1) berbunyi “Untuk
terselenggaranya praktik tenaga kesehatan yang bermutu dan pelindungan kepada
masyarakat, perlu dilakukan pembinaan praktik terhadap tenaga kesehatan”.
Penjelasan
Penulis:
Pasal di atas memerintahkan stake holder yang bersangkutan dalam
menjamin dan perlindungan hukum bagi pasien dan tenaga kesehatan.
·
Pasal 57 a berbunyi “Tenaga Kesehatan dalam menjalankan
praktik berhak memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur
Operasional.
Pasal 57 ayat a menunjukkan bahwa tenaga
kesehatan, termasuk perawat dilindungi oleh Pemerintah selama menjalankan tugas
dengan benar.
·
Pasal 58 (1) huruf a
berbunyi: Tenaga Kesehatan dalam menjalankan
praktik wajib: memberikan
pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi,
Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan
Penerima Pelayanan Kesehatan;
Penjelasan
Penulis:
Pasal di atas menunjukkan bahwa apabila
perawat bekerja sesuai dengan standar mampu meminimalisir terjadinya
malpraktik. Ini merupakan salah satu upaya perlindungan hukum secara preventif
·
Pasal 74 berbunyi: Pimpinan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dilarang mengizinkan Tenaga Kesehatan yang tidak memiliki STR dan
izin untuk menjalankan praktik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Penjelasan
Penulis:
Dengan melengkapi administrasi dalam
pelayanan kesehatan, hal itu dapat mencegah terjadinya tindak pidana.
·
Pasal 75 berbunyi: Tenaga
Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak mendapatkan pelindungan hukum sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
·
Pasal 76 berbunyi: Pimpinan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam meningkatkan dan menjaga mutu pemberian
pelayanan kesehatan dapat membentuk komite atau panitia atau tim untuk kelompok
Tenaga Kesehatan di lingkungan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
·
Pasal 77 berbunyi: Setiap
Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian
Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Penjelasan
Penulis:
Pasal 75 dan 76 merupakan upaya perlindungan
hukum prevenif bagi tenaga kesehatan, sedangkan pasal 77 merupakan upaya
perlindungan hukum represif bagi pasien.
6.
Undang-Undang No. 38 tahun 2014 tentang
Keperawatan
· Pasal 36 huruf a berbunyi “perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan
berhak memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan”.
· Pasal 38 huruf c berbunyi “setiap orang
berhak mendapatkan
pelayanan keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan Keperawatan,
standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan”.
Penjelasan
Penulis: Pasal 36 huruf a dan pasal 38 huruf c menunjukkan antara
perawat dan pasien berhak mendapatkan perlindungan hukum selama dalam
menjalankan pelayanan keperawatan. Pasal tersebut di
atas adalah upaya perlindungan hukum
secara preventif.
Dari uraian tersebut
di atas, penulis menyimpulkan bahwa implementasi perlindungan hukum bagi perawat dan pasien adalah
sebagai berikut:
Tabel 11.1
Perlindungan Hukum bagi Perawat
Upaya Preventif |
Upaya Represif |
1.
Memenuhi
kewajiban perawat (misalnya: bekerja sesuai dengan SPO, standar etik, standar
profesi dan standar pelayanan). 2.
Melengkapi
administrasi dalam praktik keperawatan mandiri (misalnya: STR, SIKP, dan sertifikat
keahlian/kompetensi, 3.
Memenuhi hak
pasien, 4.
Melakukan
kolaborasi seprofesional mungkin dengan tenaga kesehatan lainya 5.
Mengjindari pelanggaran
etik. |
1.
Melakukan
mediasi dengan pasien (yang dalam hal ini bisa diwakili oleh mediator dan
Rumah Sakit). 2.
Memberikan
ganti rugi atau jaminan kepada pasien apabila pasien merasa dirugikan setelah
diberikan pelayanan. |
Tabel 11.1
Perlindungan Hukum bagi Pasien
Upaya Preventif |
Upaya Represif |
1.
Meminta
Perawat memenuhi haknya saat hendak melakukan transaksi terapeutik, 2.
Meminta
jaminan keamanan dan keselamatan sebelum dilakukan penatalaksanaan
keperawatan. |
1.
Mengadukan pelayanan
kesehatan kepada Pemerintah dan/atau Aparat Penegak Hukum, 2.
Menuntut
ganti rugi terhadap perawat. |
Perlindungan hukum perawat dan pasien dalam pelayanan keperawatan, antara keduanya telah dilindungi oleh pemerintah dan rumah sakit melalui regulasi yang ada meskipun secara langsung tidak ditegaskan dalam peraturan bagaimana cara melindunginya. Akan tetapi perlindungan tersebut dapat dilihat melalui hak dan kewajiban baik pasien maupun perawat. Karena keduanya harus saling melengkapi untuk menciptakan perlindungan hukum melalui upaya preventif dan represif.
[2] Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 53.
[3] Philipus M. Hadjon, 1985, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu, hlm. 20.
[4] Ibid. hlm. 3-5.
[5] Hasil wawancara dengan Sukendar, Tanggal 30 Desember 2018 di Gedung Walikota Kediri..
[6] Hasil wawancara dengan Rudi Yulianto, Tanggal 2 Januari 2019 di RS TNI AD Surabaya.
BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA MEDIS DALAM PENYELENGGARAAN ASUHAN KEPERAWATAN
Penyelesaian sengketa adalah prosedur atau cara yang dilakukan untuk mengakhiri suatu perselisihan
oleh masing-masing pihak guna mencapai kesepakatan perdamaian. Sedangkan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Hubungan sosial (manatol) yang dilakukan
manusia dengan manusia lainnya tidak lepas dari ikatan kerja sama dan
permasalahan yang akan terjadi di dalamnya. Kondisi ini berlaku juga dalam
dunia kesehatan khususnya tindakan pelayanan kesehatan (medis) yang diberikan tenaga
kesehatan kepada pasien terikat dengan kontrak terapeutik. Begitu banyak dan
rumitnya kasus kesehatan yang bermunculan, menuntut solusi yang berkeadilan bagi
tenaga kesehatan dan pasien sebagai pihak yang memiliki hubungan kontrak
terapeutik.[1]
Proses penanganan tindakan medis tidak dipungkiri bisa menimbulkan
sengketa. Sengketa dalam kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai
sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan atau
dapat juga diartikan sebagai pertikaian atau perselisihan. Penyebab sengketa
medis ini bisa timbul dari ketidakpuasan pasien atas tindakan medis yang
dilakukan oleh perawat dalam melaksanakan
upaya pengobatan. Ketidakpuasan tersebut bisa semakin memanas dikarenakan
adanya dugaan kelalaian dan kesalahan (perbuatan
melanggar/malpraktek medis) dalam tindakan medis sehingga pasien
mendapat kerugian dari aspek kesehatan.
Beragam permasalahan dibidang kesehatan membuat kedudukan hukum menjadi
penting. Hukum dijadikan sebagai alat untuk mengatur dan menyelesaikan
sengketa medis. Sengketa medis meliputi :
·
Sengketa
yang terjadi dalam hubungan antara perawat dan pasien;
·
Obyek
sengketa adalah upaya penyembuhan yang dilakukan oleh perawat;
·
Pihak
yang merasa dirugikan dalam sengketa medis ialah pasien baik kerugian berupa
cacat/luka bahkan menuju pada kematian;
·
Kerugian
yang diderita pasien disebabkan oleh adanya dugaan kesalahan dan kelalaian dari
perawat.
A.
Jenis Dan Bentuk
Penyelesaian Sengketa
- Peradilan
suatu
proses penyelesaian sengketa melalui
kekuasaan kehakiman yang dijalankan di pengadilan.
- Arbitrase
Berdasarkan
UU No. 30 tahun 1999, yang disebut arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa
perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase secara
tertulis oleh pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum atau setelah timbul sengeketa.
- Negosiasi
Negosiasi
merupakan proses tawar-menawar dengan berunding secara damai untuk mencapai
kesepakatan antarpihak yang berperkara, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai
penengah.[2]
Dalam
praktik, negosiasi dilakukan karena 2 (dua) alasan, yaitu:
·
untuk mencari sesuatu
yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya dalam transaksi jual
beli, pihak penjual dan pembeli saling memerlukan untuk menentukan harga, dalam
hal ini tidak terjadi sengketa; dan
·
untuk memecahkan
perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para pihak.[3]
Dengan
demikian, dalam negosiasi, penyelesaian sengketa dilakukan sendiri oleh pihak
yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.
- Konsoliasi
Konsiliasi
adalah penyelesaian sengketa dengan intervensi pihak ketiga (konsiliator),
dimana konsiliator lebih bersifat aktif, dengan mengambil inisiatif menyusun
dan merumuskan langkah-langkah penyelesaian, yang selanjutnya ditawarkan kepada
para pihak yang bersengketa. Jika pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan
suatu kesepakatan, maka pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari
sengketa. Meskipun demikian konsiliator tidak berwenang membuat putusan, tetapi
hanya berwenang membuat rekomendasi, yang pelaksanaanya sangat bergantung pada
itikad baik para pihak yang bersengketa sendiri.[4]
- Konsultasi
Konsultasi
adalah suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu
(klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak
konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan
kebutuhan kliennya.[5]
Marwan dan
Jimmy P, menjelaskan arti konsultasi, sebagai berikut: “Permohonan nasihat atau
pendapat untuk menyelesaikan suatu sengketa secara kekeluargaan yang dilakukan
oleh para pihak yang bersengketa kepada pihak ketiga”.[6]Dengan
demikian dapat disimpulan bahwa konsultasi adalah permintaan pendapat kepada
pihak ketiga (konsultan) terkait sengketa yang dihadapi.
- Mediasi
Pengertian
mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan dibantu oleh pihak ketiga
(mediator) yang netral/tidak memihak. Peranan mediator adalah sebagai penengah
(yang pasif) yang memberikan bantuan berupa alternatif-alternatif penyelesaian
sengketa untuk selanjutnya ditetapkan sendiri oleh pihak yang bersengketa.[7]
Sengketa
mediasi diatur dalam Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBG, dan PERMA No.1 Tahun 2016 tentang Mediasi, dimana dalam Pasal 1 ayat (7)
mendefinisikan bahwa mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
mediator. Hadirnya mediasi dalam menyelesaikan sengketa medis sangat beralasan
dikarenakan tidak semua permasalahan sengketa medis harus di selesaikan secara
litigasi di pengadilan.
Di dalam UU
No. 38 tahun 2014 tentang Keperawatan tidak ada pasal yang mengatur atau
mencantumkan di dalamnya tentang penyelesaian sengketa. Oleh karena itu penulis
mengambil dasar hukum dari UU No. 36 tahun 2009 dan UU No. 36 tahun 2014.
Sesuai
dengan Pasal 29 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan “dalam hal tenaga
kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian
tersebut harus di selesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”. Selain itu juga pada Pasal 78 UU No.36
tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan “dalam hal Tenaga
Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya yang
menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang
timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan”.
Pelanggaran
disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan atau ketentuan penerapan
keilmuan, yang pada hakekatnya dapat dikelompokkan dalam 3 hal, yakni:
·
Melaksanakan praktik keperawatan yang tidak kompeten,
·
Tugas dan tanggung jawab professional pada pasien tidak dilaksanakan dengan
baik,
·
Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi
keperawatan.
Mediasi
dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam menyelesaikan sengeketa medis
dikarenakan beberapa alasan berikut :
1. Bahwa upaya
penyembuhan yang dilakukan oleh perawat merupakan upaya penyembuhan yang
didasarkan pada usaha yang maksimal dan ikhtiar (inspanningverbintenis);
2. Ruang lingkup
kesehatan untuk membuktikan dugaan perbuatan melanggar (malpraktek keperawatan)
bukanlah hal yang mudah namun harus dipelajari dan di analisis terlebih dahulu
setiap perbuatan buruk (adverse event); dan
3. Tidak semua adverse
event identik dengan malpraktek medis.
Kaitan
mediasi dengan upaya keselamatan terhadap pasien yakni sebagai berikut :
1. Bahwa
keselematan pasien (patient safety) diartikan sebagai upaya menghindari
dan mencegah adverse event yang disebabkan pelayanan kesehatan serta
meningkatkan mutu. Keselamatan pasien tidak hanya tertumpu pada orang (person),
peralatan, atau departemen saja, tetapi juga interaksi dari komponen dan
sistem.
2. Adverse
event yang terjadi tidak secara otomatis merupakan bukti
adanya malpraktek kedokteran yang unsurnya terdiri dari;
·
duty,
·
dereliction of duty,
·
demage,
·
direct causation between demage anda
direliction of duty.[8]
Berdasarkan
uraian tersebut diatas, maka sengketa medis yang dikategorikan masuk dalam
ruang lingkup hukum khusus, haruslah ditangani secara khusus. Hal demikian
menjadikan mediasi sebagai langkan awal untuk menyelesaikan sengketa medis baik
pada badan aribitrase, Majelis Kehormatan Etik Keperawatan serta PPNI sebagai
wadah tunggal profesi keperawatan yang memiliki kewenangan menjadi mediator untuk
menyelesaikan sengketa medis dalam dunia pelayanan kesehatan.
B.
Peran Mediasi
dalam Penyelesaian Sengketa
Peran Mediasi dalam penyelesaian sengketa sangat penting karena
:
• Untuk mengatasi masalah penumpukan perkara. Kalau para pihak
menyelesaikan sendiri sengketanya tanpa diadili oleh hakim, maka tugas hakim
untuk memeriksa perkara menjadi berkurang. Apabila selesai dengan damai, akan
mengurangi perkara banding, kasasi dan PK.
• Penyelesain sengketa lebih cepat dan lebih murah. Kalau
diselesaikan dengan proses litigasi, maka kemungkinan pihak yang kalah
mengajukan upaya hukum banding , kasasi atau PK dan dengan sendirinya proseskan
lebih panjang dan memakan waktu yang lama, disamping biayanya akan lebih besar.
• Memperluas akses para pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa
keadilan tidak selalu diperoleh melalui proses litigasi, tetapi dapat juga
diperoleh melalui proses musyawarah mufakat.
• Institusionalisasi proses mediasi kedalam sistim peradilan dapat
memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesain
sengketa. Kalau dahulu fungsi peradilan yang menonjol adalah memutus, maka
setelah berlakunya PERMA No. 1 Tahun 2008, fungsi memutus berjalan seiring
dengan fungsi mendamaikan.
• Mediator sebagai penengah dapat memberikan usulan-usulan
kompromi diantara para pihak.
• Mediator dapat memberikan usaha-usaha atau jasa-jasa lainnya,
seperti memberi bantuan dalam melaksanakan kesepakatan, bantuan keuangan,
mengawasi pelaksanaan kesepakatan, dan lain-lain.
C.
Prinsip Perawat
Apabila Menjadi Seorang Mediator
Tujuh
prinsip yang harus dipedomani oleh mediator dalam penyelesaian sengketa
kelalaian tenaga kesehatan khususnya dokter, perawat dan bidan melalui mediasi
agar tujuan win-win solution bisa dicapai. Ketujuh prinsip tersebut kami
kenalkan dengan istilah PRINSIP IKNEMOOK[9]
yang terdiri dari; prinsip itikad baik para pihak, prinsip kepercayaan, prinsip
netralitas, prinsip eksklusif mediator (med-power), prinsip open mind[10],
prinsip otonomi prinsipal dan prinsip kerahasiaan.
Prinsip pertama, itikad baik.
Masing-masing pihak yang sengketa harus didasari adanya kesamaan dari dalam
hati dan pikirannya untuk menempuh penyelesaian sengketa melalui mediasi
sebagai pilihan yang dikehendaki secara sadar atas keinginan dan kemauan mereka
sendiri secara sukarela dan tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak-pihak lain
atau pihak luar atau advokat. Prinsip itikad baik ini dibangun atas dasar bahwa
para pihak sesungguhnya saling membutuhkan, dokter tidak ada niat mencelakakan
pasiennya dan memiliki kesamaan pandangan bahwa motivasi penyelesaian sengketa
semata-mata adalah ingin mencapai perdamaian.
Prinsip kedua, kepercayaan atau trust.
Prinsip ini dimaksudkan adalah membangun komitmen antara pasien, perawat dan
mediator harus saling percaya, prinsip ini tidak bisa berdiri sendiri, prinsip
dibangun oleh mediator dengan bersamaan dengan prinsip lainnya yaitu
menunjukkan sikap netralitasnya seorang mediator dalam memimpin proses mediasi.
Prinsip ketiga, netralitas (neutrality).
Di dalam mediasi, penerapan prinsip ini penting dinyatakan secara tegas ketika
pertama kali mediator menyampaikan tata tertib mediasi atau pada saat
perkenalan, yang perlu disadari oleh mediator bahwa peran seorang mediator
hanya memfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik para pihak
yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang memimpin dan mengontrol proses
berjalan tidaknya mediasi. Dalam mediasi, seorang mediator tidak bertindak
layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah atau benarnya salah satu
pihak atau mendukung pendapat dari salah satunya, atau memaksakan pendapat dan
penyelesaiannya kepada kedua belah pihak, tetapi mediator juga berperan
mengendalikan proses mediasi jika situasi prinsipal memanas dan terjadi suasana
yang tidak kondusif maka mediator dapat menghentikan atau menunda/ menskor
proses mediasi dan menjadwalkan ulang pada waktu yang ditentukan bersama.
Prinsip keempat, eksklusif mediator sebut
juga sebagai jantungnya penyelesaian mediasi (med-power), prinsip ini merupakan prinsip yang membedakan secara
khusus dibandingkan dengan proses mediasi pada perkara-perkara perdata pada
umunya, prinsip ini memberikan penegasan bahwa mediator yang menyelesaian
perkara malpraktik medik harus memiliki pengetahuan dalam bidang ilmu kesehatan
dan juga memiliki wawasan/ pengetahuan dalam bidang ilmu hukum pada umunya
lebih khusus pada hukum kesehatan. Pada prinsip inilah kemampuan seorang
mediator dalam mengendalikan proses mediasi dituntut untuk dapat memengaruhi
(meluruskan paham yang keliru) para pihak, bahwa dia mengetahui duduk perkara
yang sedang disengketakan, jika prinsip ini tidak terpenuhi, maka proses
mediasi pada sengketa malpraktik medik akan sulit diselesaikan oleh mediator
biasa, jika tidak ada maka proses mediasi dapat dilakukan oleh mediator (Sarjana
Hukum) pada umumnya tetapi harus dia dampingi oleh Co Mediator dari tenaga
kesehatan baik seorang dokter atau perawat, alasannya dalam proses mediasi
peran mediator sebagai pemimpin dan yang dipimpin dalam proses mediasi adalah
seorang perawat yang terkadang sering menganggap dirinyalah yang paling tahu
tentang penyakit dan perjalanan penyakit pasiennya dan bisa saja untuk
kepentingan membela diri seorang perawat tersebut menyatakan bahwa pelayanannya
sudah sesuai dengan Standar Prosedur
Operasional (SPO) sedangkan fakta hukumnya belum tentu demikian, sehingga
seorang mediator dituntut untuk memiliki kemampuan menguji dan menyamakan
pemahaman dengan profesi ini sekaligus menjelaskan kepada dokter tersebut juga
kepada pasien duduk perkara hukumnya.
Prinsip kelima, membuka pikiran (open mind), Bahwasanya seorang
pasien yang melakukan gugatan kepada perawat seringkali pasien tidak mengetahui
proses, sifat dan objek hubungan hukum
antara pasien dengan perawat, begitu juga sebaliknya, mereka tidak
memahami manfaat mediasi. Penerapan prinsip ini menuntut mediator untuk membuka
wawasan principal tentang aspek hukum malpraktik medik dan menjelaskan manfaat-manfaat
mediasi serta perlu juga menjelaskan gambaran panjangnya waktu dan besarnya
biaya kalau sengketa ditempuh dengan jalur litigasi, dan mediator dituntut dan
diharapkan dapat melakukan pendekatan
religi humanistic[11]
dengan menyebutkan dalil ajaran agama yang mengharuskan perdamaian, misalnya
khusus bagi yang beragama Islam menyebutkan satu surah dalam Al Quran yang
paling sering penulis pakai dalam proses mediasi yakni QS. Al Hujurat (49) :
10.
Prinsip keenam, otonomi principal.
Prinsip ini didasari oleh keyakinan bahwa pasien dan perawat memiliki hak asasi
yang melekat pada dirinya yang tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun,
termasuk juga penasihat hukumnya, mediator memberikan kebebasan mutlak dan
terarah kepada pengerucutan permasalahan yang dialaminya, mengecilkan
perbedaan-perbedaan diantara para pihak dan yang paling penting mediator
membimbing para pihak untuk mengikuti bisikan nuraninya sendiri dan mediator
membangun kesadaran hakikat penciptaan jati diri sebagai manusia yang saling
membutuhkan dan mencintai kedamaian.
Prinsip ketujuh mediasi malpraktik medik
adalah kerahasiaan atau confidentiality.
Prinsip ini memberikan jaminan kepada parapihak yang bersengketa bahwa yang
terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak yang
bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik atau pers oleh masing-masing
pihak. Demikian juga mediator menjamin rahasia parapihak akan dijaga dan jika
perlu dimusnahkan.
Penerapan
temuan prinsip penyelesaian sengketa kelalaian tenaga kesehatan melalui mediasi
ini tidak bisa terlepas dari prinsip dasar dari asuhan keperawatan tersebut
dalam memberikan pelayanan, seorang perawat yang bersungguh-sungguh menolong
pasien tanpa memperhitungkan imbalan jasa lebih dahulu (itikad baik), upaya
yang dilakukan sudah maksimal, pelayanan yang diberikan sesuai dengan
kompetensinya serta sesuai standar prosedur operasional dan kehati-hatian namun
ternyata hasilnya tidak sesuai dengan keinginannya, tentu hal ini tidak patut
dijadikan landasan gugatan oleh seorang pasien, karena prinsip hubungan hukum perawat
dengan pasien adalah tidak memperjanjikan hasil, namum demikian jika terdapat
adanya unsur kelalaian tanpa adanya means rea(sikap batin pelaku pembuat
pidana), penyelesaian mediasi adalah merupakan solusi terbaik bagi pasien
maupun perawat itu sendiri.[12] Baca juga : Prosedur penyelesaian kasus sengketa medis
[2] Odebhora, 2011, “Penyelesaian Sengketa”, Diakses pada: https://odebhora.wordpress.com/2011/05/17/penyelesaian-sengketa/ (Tanggal 30 Januari 2019).
[7] Siti Yuniarti, 2017, Ragam dan bentuk Penyelesaian sengketa”, Diakses pada: http://business-law.binus.ac.id/2017/05/31/ragam-dan-bentuk-alternatif-penyelesaian-sengketa/ (Tanggal 30 Januari 2019)
[9] IKNEMOOK merupakan singkatan yang penulis buat untuk memudahkan dalam menghapal, kepanjangannya dalah prinsip Itikad baik para pihak, Kepercayaan, Netralitas, Eksklusif Mediator
[10] med-power, Open mind, Otonomi prinsipal dan Kerahasiaan. Teori ini dikemukakan oleh machli riyadi dalam sidang terbuka disertasi pada FH Unair 2016.
[11] pendekatan relegi humanistic, maksudnya adalah suatu pendekatan berdasarkan pengalaman penulis dengan mencari dan menyampaikan dalil-dalin agama yang dianut oleh principal dan disampaikan dengan pendekatan sesuai dengan adat/kebiasaan masing-masing pihak.
[12] Machli Riyadi, 2017, Penyelesaian Sengketa Tenaga Kesehatan Melalui Mediasi, (Disajikan dalam acara Seminar dan Workshop Kesehatan Nasional, Semarang Minggu 5 November 2017 di Gedung Satya Graha KORPRI).
BAB XIII
ADMINISTRASI KEPERAWATAN
Administrasi
dalam arti sempit adalah kegiatan yang meliputi: catat-mencatat,
surat-menyurat, pembukuan ringan, ketik-mengetik, agenda, dan sebagainya yang
bersifat teknis ketatausahaan. Sedangkan Administrasi dalam arti luas adalah
seluruh proses kerja sama antara dua orang atau lebih dalam mencapai tujuan
dengan memanfaatkan sarana dan prasarana tertentu secara berdaya guna dan
berhasil guna.
Administrasi
Keperawatan adalah persyaratan yang harus dimiliki dalam menyelenggarakan
Asuhan Keperawatan di Fasilitas pelayanan Kesehatan demi mencapai suatu tujuan.
Dalam
UU No.38 tahun 2014 yang dimaksud:
·
Sertifikat Kompetensi
adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi Perawat yang telah lulus Uji
Kompetensi untuk melakukan Praktik Keperawatan.
·
Sertifikat Profesi
adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik Keperawatan yang diperoleh
lulusan pendidikan profesi.
·
Registrasi adalah
pencatatan resmi terhadap Perawat yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi
atau Sertifikat Profesi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta
telah diakui secara hukum untuk menjalankan Praktik Keperawatan.
·
Surat Tanda Registrasi
yang selanjutnya disingkat
·
STR adalah bukti
tertulis yang diberikan oleh Konsil Keperawatan kepada Perawat yang telah
diregistrasi.
·
Surat Izin Praktik
Perawat yang selanjutnya disingkat SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Perawat sebagai pemberian
kewenangan untuk menjalankan Praktik Keperawatan.
Peraturan
yang berkenaan dengan administrasi keperawatan:
· Pasal
18
(1)
Perawat yang
menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki STR.
(2)
STR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Konsil Keperawatan setelah memenuhi
persyaratan.
(3)
Persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a.
memiliki ijazah
pendidikan tinggi Keperawatan;
b.
memiliki Sertifikat
Kompetensi atau Sertifikat Profesi;
c.
memiliki surat
keterangan sehat fisik dan mental;
d.
memiliki surat pernyataan
telah mengucapkan sumpah/janji profesi; dan
e.
membuat pernyataan
mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
· Pasal
19
(1)
Perawat yang
menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki izin.
(2)
Izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIPP.
(3)
SIPP sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota atas
rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat Perawat
menjalankan praktiknya.
(4)
Untuk mendapatkan SIPP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Perawat harus melampirkan:
a.
salinan STR yang masih
berlaku;
b.
rekomendasi dari
Organisasi Profesi Perawat; dan
c.
surat pernyataan
memiliki tempat praktik atau surat keterangan dari pimpinan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
(5)
SIPP masih berlaku
apabila:
a.
STR masih berlaku; dan
b.
Perawat berpraktik di
tempat sebagaimana tercantum dalam SIPP.
·
Pasal 21
Perawat yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama Praktik Keperawatan.
BAB XIV
HUKUM KESEHATAN DAN RUMAH SAKIT
(SUATU ACUAN BAGI
PELAKSANA PELAYANAN KEPERAWATAN)
A. Hukum
Kesehatan
H.J.J.Leenen,
hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berhubungan langsung pada
pemberian pelayanan kesehatan dan penerapanya pada hukum perdata, hukum
administrasi dan hukum pidana. Arti
peraturan disini tidak hanya mencakup pedoman internasional, hukum kebiasaan,
hukum yurisprudensi, namun ilmu pengetahuan dan kepustakaan dapat juga
merupakan sumber hukum.[1]
Van
der Mijn, hukum kesehatan dapat dirumuskan sebagai kumpulan pengaturan yang
berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga penerapannya kepada hukum
perdata, hukum pidana dan hukum administrasi.
Hukum medis yang mempelajari hubungan yuridis dimana dokter menjadi
salah satu pihak, adalah bagian dari hukum kesehatan.[2]
Hukum
kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan dan pelayanan kesehatan. Hal tersebut menyangkut hak dan kewajiban
menerima pelayanan kesehatan (baik perorangan dan lapisan masyarakat) maupun
dari penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasinya, sarana,
standar pelayanan kesehatan dan lain-lain. Pemerintah saat ini menyadari rakyat
yang sehat merupakan aset dan tujuan utama dalam mencapai masyarakat adil dan
makmur. Peraturan dan ketentuan hukum tidak saja di bidang kedokteran, tetapi mencakup seluruh
bidang kesehatan seperti, farmasi, obat-obatan, rumah sakit, kesehatan jiwa,
kesehatan masyarakat, kesehatan kerja, kesehatan lingkungan dan lain-lain.
Kumpulan peraturanperaturan dan ketentuan hukum inilah yang dimaksud dengan
hukum kesehatan.[3]
Jika
dilihat hukum kesehatan, maka ia meliputi:
1.
Hukum medis (Medical law)
2.
Hukum keperawatan (Nurse law)
3.
Hukum rumah sakit (Hospital law)
4.
Hukum pencemaran
lingkungan (Environmental law)
5.
Hukum limbah .(dari
industri, rumah tangga, dsb)
6.
Hukum polusi (bising,
asap, debu, bau, gas yang mengandung racun)
7.
Hukum peralatan yang
memakai X-ray (Cobalt, nuclear)
8.
Hukum keselamatan kerja
9.
Hukum dan peraturan
peraturan lainnya yang ada kaitan langsung yang dapat mempengaruhi kesehatan
manusia.[4]
Dasar
hukum kesehatan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait, yaitu
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Undang-Undang ini merupakan
landasan setiap penyelenggara usaha kesehatan. Oleh karena itu, ada baiknya
setiap orang yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan mengetahui dan
memahami apa saja yang diatur di dalam undang-undang tersebut. Tujuan dari
undang-undang ini adalah untuk meningkatkan kesehatan seluruh anggota
masyarakat. Sehingga penyelenggaraan kesehatan harus mengikuti ketentuan yang
sudah ditetapkan. Undang- undang
kesehatan juga memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1.
Alat untuk meningkatkan
hasil guna dan daya guna penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang meliputi
upaya kesehatan dan sumber daya.
2.
Menjangkau perkembangan
yang makin kompleks yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
3.
Memberi kepastian dan
perlindungan hukum terhadap pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan.[5]
Undang-Undang
No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan diciptakan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan demi terselenggaranya pembangunan kesehatan yang berasaskan
perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak
dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama. Pembangunan
kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang
produktif secara sosial dan ekonomis.
Sebagaimana
pasal 47 UU No. 36/2009 bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan dilaksanakan
melalui kegiatan:
1.
pelayanan kesehatan;
2.
pelayanan kesehatan
tradisional;
3.
peningkatan kesehatan
dan pencegahan penyakit;
4.
penyembuhan penyakit
dan pemulihan kesehatan;
5.
kesehatan reproduksi;
6.
keluarga berencana;
7.
kesehatan sekolah;
8.
kesehatan olahraga;
9.
pelayanan kesehatan
pada bencana;
10. pelayanan
darah;
11. kesehatan
gigi dan mulut;
12. penanggulangan
gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran;
13. kesehatan
matra;
14. pengamanan
dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
15. pengamanan
makanan dan minuman;
16. pengamanan
zat adiktif; dan/atau
17. bedah
mayat.
Dalam
hukum kesehatan juga banyak disinggung tentang asas hukum. Asas hukum adalah
norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh hukum tidak dianggap
berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Dalam ilmu kesehatan, dikenal
beberapa asas yaitu :
1.
Sa
science et sa conscience artinya bahwa
kepandaian seorang ahli kesehatan tidak boleh bertentangan dengan hati nurani
dan kemanusiaannya. Biasanya digunakan pada peraturan hak-hak tenaga medis,
tenaga medis berhak menolak dilakukannya tindakan medis jika bertentangan
dengan hati nuraninya.
2.
Agroti
Salus Lex Suprema yaitu keselamatan
pasien adalah hukum yang tertinggi.
3.
Deminimis
noncurat lex yaitu hukum tidak mencampuri
hal-hal yang sepele. Hal ini berkaitan dengan kelalaian yang dilakukan oleh
petugas kesehatan. Selama kelalaian itu tidak berdampak merugikan pasien maka
hukum tidak akan menuntut.
4.
Res
ispa liquitur yaitu faktanya telah berbicara.
Digunakan di dalam kasus-kasus malpraktik dimana kelalaian yang terjadi tidak
perlu pembuktian lebih lanjut karena faktanya terlihat jelas.[6]
Hukum Kesehatan tidak hanya
bersumber pada hukum tertulis saja tetapi juga yurisprudensi, traktat, Konvensi,
doktrin, konsensus dan pendapat para ahli hukum maupun kedokteran. Hukum
tertulis, traktat, Konvensi atau yurisprudensi, mempunyai kekuatan mengikat (the binding authority), tetapi
doktrin, konsensus atau pendapat para ahli tidak mempunyai kekuatan mengikat,
tetapi dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam melaksanakan
kewenangannya, yaitu menemukan hukum baru. Sumber hukum dapat dibedakan ke dalam :
1. Sumber hukum materiil adalah
faktor-faktor yang turut menentukan isi hukum. Misalnya, hubungan
sosial/kemasyarakatan, kondisi atau struktur ekonomi, hubungan kekuatan
politik, pandangan keagamaan, kesusilaan dan sebagainya.
2. Sumber hukum formal merupakan tempat atau
sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum; melihat sumber
hukum dari segi bentuknya.
Yang termasuk sumber hukum formal, adalah :
a. Undang-undang (UU);
b. Kebiasaan;
c. Yurisprudensi;
d. Traktat (Perjanjian antar negara);
e. Perjanjian;
f. Doktrin (pendapat para sarjana hukum
terkemuka).
B. Hukum
Rumah Sakit
Pasal 1 angka 1 UU No. 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit menyebutkan bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan
yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Senada dengan UU No.44/2009 diatas, Pasal
1 angka 1 Permenkes No. 4 tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan
Kewajiban Pasien, menyebutkan bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Pengertian Rumah Sakit menurut para
ahli: [7]
1.
Menurut Muninjaya: Rumah
sakit merupakan bagian dari sistem pelayanan publik kesehatan yang harus
memenuhi kriteria availability, appropriateness, continuity sustainability,
acceptability, affordable, dan quality.”
2. Menurut Siregar: Rumah sakit adalah suatu
organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan ilmiah khusus dan rumit, dan
difungsikan oleh berbagai kesatuan personil terlatih dan terdidik dalam menghadapi
dan menangani masalah medik modern,yang semuanya terkait bersama-sama dalam
maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemliharaan kesehatan yang baik.
Sedangkan
pengertian Rumah Sakit menurut Asosiasi Rumah Sakit: [8]
1. Menurut Assosiation of Care, Rumah Sakit adalah pusat di mana pelayanan
kesehatan masyarakat, Pendidikan serta penelitian kedokteran diselenggarakan.
2. Menurut American Hospital Assosiation, Rumah Sakit adalah suatu alat
organisasi yang terdiri dari tenaga medis professional yang terorganisir serta
sarana kedokteran yang permanen menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan
keperawatan yang berkesinambungan diagnosis serta pengobatan penyakit yang
diderata oleh pasien.
Endang
Wahyati Y, dalam bukunya menjelaskan bahwa hukum rumah sakit adalah semua
ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pelayanan kesehatan, yang
terkait pelaksanaan hak dan kewajiban dalam hubungan hukum yang terjalin antara
rumah sakit sebagai privider dan masyarakat sebagai receiver, dengan segala
implikasi hukumnya, yang meliputi penerapan hukum pidana, hukum perdata, dan
hukum administrasi negara.[9]
Dari
uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum rumah sakit adalah peraturan yang berupa norma dan
sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur aktivitas rumah sakit, menjaga
ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya kekacauan, dan untuk menjamin
bahwa adanya kepastian hukum bagi
tenaga kesehatan dan pasien.
Hubungan
hukum antara tenaga kesehatan dengan rumah sakit,adalah merupakan hubungan
hukum keperdataan yang didasarkan pada hukum keperdataan dalam menjalankan
tugas pekerjaanya.[10]
Ketentuan hubungan hukum tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1601
KUHPerdata, yaitu:
“selainya persetujuan-persetujuan untuk
melakukan sementara jasa-jasa, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus
untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan dan atau tidak ada, oleh
kebiasaan, maka adalah dua macam persetujuan dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainyadengan
menerima upah, persetujuan perburuhan dan pemborongan pekerjaan”.
Dari ketentuan pasal tersebut di atas
menggambarkan adanya hubungan antara pemberi pekerjaan dan penerima pekerjaan
yang diikat dalam suatu pekerjaan dengan mendapatkan kompensasi upah.
UU No. 44/2009 dapat
dijadikan acuan bagi tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan,
karena rumah sakit diperintahkan untuk memberikan perlindungan hukum atas
kelalaian yang telah diakibatkan oleh tenaga kesehatan. Walaupun demikian bukan
berarti tenaga kesehatan bisa seenaknya
berbuat di luar batas kewenanganya, namun tenaga kesehatan tetap
dituntut untuk mejalankan pelayanan secara professional yang mengacu pada
peraturan perundang-undangan. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 57 huruf a UU
No. 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, menyatakan bahwa tenaga kesehatan berhak
mendapatkan perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi,
Standar Prosedur Operasional. Artinya bahwa, apabila tenaga kesehatan tidak
melaksanakan tindakan sesuai yang diperintahkan undang-udang ini, maka dia
tidak berhak memperoleh perlindungan hukum.
Dengan adanya pengelolaan
rumah sakit yang efektif dan efisien dapat memberikan pelayanan kesehatan yang
maksimal bagi pasien dan dapat memberikan perlindungan hukum bagi tenaga
kesehatan di dalamnya. Pengelolaan rumah sakit yang efektif dan efisien dapat
dilihat dari 3 aspek meliputi Good Corporate Governance (GCG), Good Clinical
Standard (GCS), dan Good Ethical Practice (GEP).[11]
Rumah sakit bertanggungjawab
atas kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit yang menyebabkan kerugian pada
pasien, dengan dasar:
1. Secara yuridis normatif hal ini
merupakan penerapan ketentuan Pasal 1367 KHUPerdata, dan Pasal 46 UU No.29/2004
tentang Rumah Sakit, dan Standar Profesi dan akreditasi pelayanan kesehatan
secara internasional.
2. Secara yuridis doktrinal, rumah sakit
bertanggungjawab atas kelalaian tenaga tenaga kesehatan dengan adanya doktrin respondeat
superior, dan rumah sakit bertanggungjawab atas kualitas perawatan (duty
to care).
3. Secara yuridis teoritis, rumah sakit
sebagai korporasi, maka berlaku asas vicarious liability, hospital
liability, corporate liability, sehingga rumah sakit dapat bertanggung
gugat atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang bekerja dalam
kedudukan sebagai sub-orditae (employee).[12]
Adanya
ketentuaan Pasal 46 UU Rumah Sakit ini, secara psikologis dapat mempengaruhi
tenaga kesehatan di dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dapat
bertindak kurang hati-hati bahkan dapat seenaknya. Tenaga kesehatan yang
bertindak demikian, karena beranggapan jika ada kelalaian akan menjadi
tanggungjawab rumah sakit. Meskipun demikian, tenaga kesehatan dalam bentuk criminal
malpractice, maka akan tetap dapat dipertanggungjawabkan perbuatanya.
Diperkuat dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang
yang karena keslahanya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pasal
tersebut tidak menyebutan bahwa majikan/pimpinan/rumah sakit ikut
bertanggugjawab atas kesalahan yang diperbuat oleh orang tersebut.
[1] Diakses dari: http://digilib.unila.ac.id/5780/12/BAB%20II.pdf (Tanggal 13 Agustus 2019).
[2] Diakses dari: http://digilib.unila.ac.id/5780/12/BAB%20II.pdf (Tanggal 16 Agustus 2019).
[3] Amir Amri, 1997, Bunga
Rampai Hukum Kedokteran, Jakarta: Widya Medika, hlm. 29.
[4]
J. Guwandi, 2004, Hukum Medical, Jakata: FKUI, hlm.13.
[5] Alexandra Indriyanti,
2008, Etika dan Hukum Kesehatan,
Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, hlm. 172.
[6] Ibid, hlm. 167.
[7] Silontong,
2018, “Pengertian Rumah Sakit Menurut
Para Ahli”, diakses dari: https://www.silontong.com/2018/05/07/pengertian-rumah-sakit-menurut-para-ahli/# (Tanggal
13 Agustus 2019).
[8] Wildan
Pahlevi, 2009, “Skripsi: Analisis
Pelayanan Pasien di Unit Admisi Rawat”, Jakarta: FKM UI, hlm.6.
[9] Endang
Wahyati Yustina, 2012, Mengenal Hukum Rumah Sakit, Bandung: Keni Media, hlm.14.
[10] Edy
Krisharyanto, “Beberapa Aspek Hukum Rumah
Sakit dalam Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan”, PERSPEKTIF Vol. 4, No.
2, 2001.
[11] Agus Hadian Rahim, “Membangun
Tata Kelola Etika dan Hukum Rumah Sakit”, Disajikan dalam Acara Pertemuan Penguatan dan Sosialisasi Serta Peran Komite
Etik dan Hukum Rumah Sakit (Jakarta, 22 Februari 2018 di Sekretariat Direktorat
Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI).
[12] Setya
Wahyudi, “Tanggungjawab Rumah Sakit
terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga Kesehatan dan Implikasinya”, Jurnal
Dinamika Hukum, Vol. 11, No. 3, 2011.
BAB XV
INFORMED CONSENT DAN REKAM MEDIS
A. Informed Consent
Informed Consent menurut komalawati
adalah suatu kesepakatan/ persetujuan pasien atas upaya medis yang akan
dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi
dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya,
disertai informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi.[1]
Informed Consent menurut J.
Guwandi, adalah informasi atau keterangan dari seorang dokter yang wajib
diberitahukan kepada pasien sebelum melakukan tindakan. Informasi tersebut
meliputi:
·
Diagnosa yang ditegakkan,
·
Sifat dan luasnyatindakan yang dilakukan,
·
Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut,
·
Risiko-risiko dari tindakan tersebut,
·
Konsekwensinya apabila tidak dilakukan tindakan,
·
Biaya-biaya yang menyangkut tindakan tersebut.[2]
Pada Pasal 1 Permenkes No. 290
tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran mendefiniskan bahwa,
persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien
atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Informed Consent dalam pelayanan
keperawatan adalah suatu tindakan perawat dalam memberikan penjelasan kepada
pasien maupun keluarga setelah mendapatkan perintah dari dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan guna mewakilinya dalam mendapatkan persetujuan tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Sebagaimana Pasal 10
ayat (3) Permenkes No. 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran,
disebutkan bahwa tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan
sesuai dengan kewenanganya. Dan ayat (4) menyebutkan bahwa tenaga kesehatan
tertentu tersebut adalah tenaga kesehatan yang terlibat dalam memberikan
pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien.
Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga tidak menghapus
tanggung gugat (secara hukum, baik perdata maupun pidana) terhadap dokter atau
tenaga kesehatan lainya yang melakukan kelalaian atau kesalahan yang merugikan
pasien.
Seorang pasien dan keluarga berhak memperoleh penjelasan tentang
tindakan apa yang hendak dilakukan, karena jika tidak maka berisiko pelanggaran
tindak pidana penganiayaan, Pasal 351 KUHP ayat (2) menjelaskan bahwa jika
suatu perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana paling lama 5 tahun. Sehingga dalam hal ini, ada baiknya dokter dan
tenaga kesehatan selalu melakukan komunikasi kepada pasien dan keluarga.
Secara garis besar bentuk izin (persetujuan) dapat dibedakan, antara
lain:[3]
1. Persetujuan
Tertulis
Persetujuan tertulis adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien/
keluarga pasien setelah mendapatkan penjelasan atau informasi dari dokter atau
tenaga kesehatan lainya mengenai ha-hal yang akan dilakukan (tindakan medis) terhadap
pasien dalam bentuk tertulis pada formulir khusus yang telah disediakan.
Persetujuan tertulis diberikan terhadap:
·
Semua tindakan medis yang mengandung risiko tinggi.
·
Tindakan-tindakanyang hasilnya sulit diprediksi
(meragukan).
2. Persetujuan
Lisan
Persetujuan lisan adalah persetujuan yang diberikan tidak dalam bentuk
tertulis pada formulir khusus yang telah disediakan melainkan dengan Bahasa
isyarat yang mudah dimengerti, misalnya;
·
Mengiyakan dengan perkataan,
·
Menganggukkan kepala,
·
Mengedipkan mata,
·
Menggerakkan tangan,
·
Diam saja /contact
eyes (dengan catatan pasien sadar dan mengerti pembicaraan).
Bila dokter dan tenaga kesehatan yang akan melakukan tindakan, meragukan
persetujuan yang diberikan pasien secara lisan, misalnya tingkat kesadaran naik
turun, dan bila diprediksi akan menimbulkan suatu masalah dikemudian hari, maka
sebaiknya persetujuan diberikan dalam bentuk tertulis, walaupun tidak masuk
kriteria untuk persetujuan tertulis.
3. Tanpa
Persetujuan
Adakalanya pada suatu kondisi, pasien masuk ke rumah sakit dalam kondisi
tidak sadar (tanpa pengantar), dan diperlukan tindakan segera untuk mengatasi
kegawatan yang terjadi. Apabila didiamkan saja sampai pasien sadar atau sampai
keluarga pasien dating, dapat di pasien nyawa pasien akan susah tertolong.
Dalam suatu aturan yang diberlakukan tentu ada aturan-aturan yang
mengatur pengecualian (artinya boleh dilanggar dengan persyaratan-persyaratan
tertentu). Jadi ada beberapa kondisi di mana pasien tidak bias dimintai untuk membuat
persetujuan baik lisan maupun tulisan, yaitu:
·
Dalam kondisi gawatdarurat,
·
Pasien anak-anak yang tidak cakap hukum,
·
Pasien dengan keterbelakangan mental atau gangguan
jiwa,
·
Pasien dalam kondisi tidak sadar,
·
Perluasan suatu tindakan bedah medis.
B. Rekam Medis
Rekam medis menurut Desriza Ratman merupakan catatan medis dan dokumen
medis. Catatan yaitu tulisan yang dibuat
oleh dokter atau dokter gigi tentang segala tindakan yang dilakukan kepada
pasien dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan. Dokumen yaitu catatan
dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu yang berisikan laporan
pemeriksaan penunjang, catatan observasi, pengobatan harian dan semua rekaman
baik berupa foto radiologi, gambar pencitraan (imaging) dan rekaman elektro-diagnostik.[4]
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Permenkes No. 269/ MENKES/ PER/ III/ 2008
tentang Rekam medis, adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang
telah diberikan kepada pasien.
Rekam medis dalam pelayanan keperawatan adalah segala sesuatu bentuk
dokumentasi keperawatan atas segala tindakan kedokteran maupun keperawatan yang
telah dilimpahkan pada perawat di fasilitas Pelayanan kesehatan dan berisi
asuhan keperawatan yang telah dijalankan.
Jenis dan isi rekam medis menurut permenkes 269/MENKES/PER/III/2008
tentang rekam medis, antara lain:
1. Isi rekam medis untuk
pasien rawat jalan pada sarana pelayanan kesehatan sekurang-kurangnya memuat
a. identitas pasien;
b. tanggal dan waktu;
c. hasil anamnesis, mencakup
sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
d. hasil pemeriksaan fisik dan
penunjang medik;
e. diagnosis;
f. rencana penatalaksanaan;
g. pengobatan dan/atau
tindakan;
h. pelayanan lainyang telah
diberikan kepada pasien;
i. untuk pasien kasus gigi
dilengkapi dengan odontogram klinik; dan
j. persetujuan tindakan bila
diperlukan.
2. Isi rekam medis untuk pasien rawat inap dan
perawatan satu hari sekurang-kurangnya memuat:
a. identitas pasien;
b. tanggal dan waktu;
c. hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya
keluhan dan riwayat penyakit;
d. hasil pemerisaan fisik dan penunjang medik;
e. diagnosis:
f. rencana penatalaksanaan;
g. pengobatan dan/atau tindakan;
h. persetujuan tindakan bila diperlukan;
i. catatan observasi klinis dan hasil pengobatan;
j. ringkasan pulang (discharge summary);
k. nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau
tenaga kesehalan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan;
l. pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
tertentu; dan
m. untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan
odontogram klinik.
3. Isi rekam medis untuk pasien gawat darurat
sekurang-kurangnya memuat:
a. identitas pasien;
b. kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan
kesehatan;
c. identitas pengantar pasien;
d. tanggal dan waktu;
e. hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya
keluhan dan riwayat penyakit;
f. hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
g. diagnosis;
h. pengobatan dan/atau tindakan;
i. ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan
pelayanan unit gawat darurat dan rencana tindak lanjut;
j. nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau
tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan;
k. sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang
akan dipindahkan ke sarana pelayanan kesehatan lain; dan
l. pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
4. Isi rekam medis pasien dalam keadaan bencana, memuat:
a. identitas pasien;
b. kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan
kesehatan;
c. identitas pengantar pasien;
d. tanggal dan waktu;
e. hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya
keluhan dan riwayat penyakit;
f. hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
g. diagnosis;
h. pengobatan dan/atau tindakan;
i. ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan
pelayanan unit gawat darurat dan rencana tindak lanjut;
j. nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau
tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan;
k. jenis bencana dan lokasi di mana pasien ditemukan;
l. kategori kegawatan dan nomor pasien bencana masal;
dan
m. identitas yang menemukan pasien;
Tujuan pendokumentasian pada rekam medis dapat membantu dan mempermudah:
·
Komunikasi antara anggota/ tim heath provider
·
Sebagai bahan ajar,
·
Sebagai bahan riset,
·
Sebagai bahan penelitian/observasi,
·
Sebagai bahan audit,
·
Sebagai bahan untuk menghitung tagihan pembayaran,
·
Sebagai black
box bila terjadi perselisihan.[5]
Pokok yang terpenting dari suatu rekam medis adalah ia bisa merupakan
suatu dokumen yang bersifat legal. Dengan demikian maka rekam medis ini menjadi
sesuatu yang esensial pada pembelaan tuntutan malpraktik medis. Suatu rekam
medis yang baik memungkinkan rumah sakit untuk mengadakan rekontruksi yang baik
mengenai pemberian pelayanan kepada pasien serta memberi gambaran untuk dinilai
apakah perawatan dan pengobatan yang diberikan dapat diterima atau tidak dalam
situasi dan keadaan demikian. Rekam medis harus diisi segera dan secara
langsung oleh pada saat dilkukan tindkan pada pemberian instruksi oleh dokter
atau oleh perawat dan pada saat dilakukan observasi telah timbul suatu gejala
atau suatu perubahan, dan sewaktu melakukan tindkan. Jika hal ini tdak ditaati,
bisa terkena tuntutan kelalaian seperti pada kasus berikut ini:[6]
·
Hansch v. Hackett, 66 P.2nd (Wash 1973)
Sebuah rumah sait dianggap bertanggungjawab terhadap elalaian seorang
perawat karena tidak memperhatikan dan mencatat tanda-tanda eklamsi di dalam
rekam medis.
Pengadilan berpendapat bahwa gejala-gejala ini seharusnya diamati oleh
perawat, walaupun ia tidak tahu persis gejala-gejala itu. Seharusnya perawat
tersebut langsug menulisnya di dalam catatan rekam medis. Jika informasinya ada
tertulis di dalam rekam medis, maka dokter yang merawatnya akan segera
mengetahuinya dan bias langsung menginstruksikan untuk dilakukan
tindakan-tindakan yang diperlukan.
·
Collins vs Westlake Community Hospital (Illinois 1974)
Penggugat mengatakan bahwa staf perawat rumah sakit telah lalai dalam
mengawasi kondisidan sirkulasi kakinya sewaktu ipasangkan kayu spalk, sehingga
kelalaian ini mengakibatkan kakinya harus diamputasi.
Pengadilan Illinois telah memeriksa catatan pada rekam medis dan berkesimpulan
bahwa, tidak adanya catatan observasi dari kaki selama tujuh jam yang kritis,
menunjukkan suatu bukti telah tidakdilakukan observasi pada saat-saat yang
kritis tersebut.
Dari contoh kasus di atas dapat disimpulkan bahwa begitu berartinya
rekam medis dalam pelayanan kesehatan, sehingga seluruh tenaga kesehatan yang
terlibat langsung dalam merawat pasien wajib mengisi rekam medis. Sekecil
apapun tindakan yang telah dilakukan oleh tenaga kesahatan, maka yang
bersangkutan haruslah menulis di rekam medis apa yang telah ia lakukan.
[1] Desriza
Ratman, 2013, Aspek Hukum Informed
Consent dan Rekam Medis dalam Transaksi Terapeutik, Bandung: Keni Media,
hlm.39.
[2] J.
Guwandi, 2004, Informed Consent,
Jakarta: FKUI, hlm. 15.
[3] Desriza
ratman, Op. Cit, hlm.41-46.
[4] Ibid, hlm.70.
[5] Ibid,, hlm.70.
[6] J.
Guwandi, 2005, Rahasia Medis,
Jakarta: FKUI, hlm. 53-56.
BAB XVI
EUTHANASIA
A.
Pengertian Euthanasia
Istilah
Euthanasia secara etimologis, berasal dari kata Yunani yaitu eu dan thanatos yang berarti “mati yang baik” atau “mati dalam keadaan
tenang atau senang”. Dalam bahasa inggris sering disebut Marc Killing, sedangkan menurut “Encyclopedia American mencantumkan Euthanasia ISSN the practice of ending life in other to give release from
incurable sufferering”. Di Belanda disebutkan bahwa Euthanasia adalah
dengan sengaja tidak melakukan suatu usaha (nalaten)
untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja tidak melakukan sesuatu
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan
khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.[1]
Menurut Kartono Muhammad, euthanasia
dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:
1.
Euthanasia pasif, mempercepat kematian dengan cara menolak
memberikan/mengambil tindakan pertolongan biasa, atau menghentikan pertolongan
biasa yang sedang berlangsung.
2.
Euthanasia aktif, mengambil tindakan secara aktif, baik
langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan kematian.
3.
Euthanasia sukarela, mempercepat kematian atas persetujuan
atau permintaan pasien.
4.
Euthanasia tidak sukarela, mempercepat kematian tanpa
permintaan atau persetujuan pasien, sering disebut juga sebagai merey
killing.
5. Euthanasia nonvolountary, mempercepat
kematian sesuai dengan keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui
pihak ketiga, atau atas keputusan pemerintah.[2]
Istilah
euthanasia dalam Kode Etik Kedokteran
mengandung 3 arti yaitu :[3]
1.
Pindah ke alam baka
dengan tenang dan aman, tanpa penderitan
2.
Ketika hidup berakhir,
penderitaan si sakit diringankan dengan memberikan obat penenang, dan
3.
Mengakhiri penderitaan
dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri
dan keluarganya.
Untuk
dapat lebih memahami lebih lagi timbulnya masalah euthanasia, perlu dipahami mengenai konsep mati. Konsep mati pada
waktu dulu adalah apabila jantung dan paru-paru sudah tidak berfungsi lagi atau
tidak bekerja lagi orang tersebut sudah dinyatakan mati dan tidak diperlukan
pertolongan lagi. Kini keadaan sudah
berubah, jika seseorang dalam perawatan yang intensif, dan jantungnya sudah
berhenti dengan tekhnologi yang ada jantung tersebut dapat dipacu untuk bekerja
lagi.[4]
Perubahan-perubahan
tersebut menyebabkan standar matinya seseorang yang dari berhentinya jantung
dan paru-paru sudah tidak relevan lagi. Kerusakan yang terjadi pada otakpun,
jika fungsi organ masih dapat dipertahankan, belum dapat dikatakan seseorang
tersebut telah mati. Oleh karena itu dalam hal ini sangat penting untuk dapat
mengetahui apa sebanarnya konsep mati yang dapat diterima oleh masyarakat,
sehingga untuk menentukan mati (secara teknis) dokter harus memiliki (secara
moral) keyakinan untuk mempertemukan keduanya
(moral-teknis).
Untuk
melihat permasalahan tentang konsep mati, Kartono Mohammad mengemukakan tentang
konsep kematian sebagai berikut:[5]
1.
Mati sebagai
berhentinya darah mengalir. Konsep ini bertolak dari kriteria mati berupa
berhentinya jantung, organ yang memompa darah mengalir keseluruh tubuh. Dalam
Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya
fungsi jantung dan paru-paru. Dalam kedokteran, teknologi resusitasi telah
memungkinkan jantung dan paru-paru yang semula berhenti adakalanya dapat
dipulihkan kembali, sehingga dapat dilihat dari perkembangan teknologi,
kriteria mati yang ditetapkan Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1981 perlu
ditinjau ulang.
2.
Mati sebagai
terlepasnya nyawa dari tubuh. Pada umumnya banyak yang berasumsi bahwa nyawa
terlepas dari tubuh ketika darh berhenti mengalir. Tetapi dikaitkan dengan
perkembangan teknologi yang telah dikemukakan diatas, dapatkah nyawa ditarik
kembali melalui teknologi resusitasi? Jika beranggapan bahwa sekali nyawa
terlepas, tidak mungkin manusia dapat menariknya kembali, maka kriteria
berhentinya darah mengalir pada saat nyawa meninggalkan tubuh tidak tepat lagi.
3.
Hilangnya kemampuan
tubuh secara permanen (irreversible lost
ability). Dalam pengertian ini, fungsi organ-organ tubuh yang semula
bekerja terpadu kini berfungsi sendiri tanpa terkendali, karena fungsi
pengendali (otak), sudah rusak dan tidak mampu mengendalikan lagi. Pandangan
ini memang sudah sangat teknis tetapi belum memastikan bahwa otak telah mati
tetapi hanya mengatakan bahwa otak telah tidak mampu lagi mengendalikan fungsi
organ-organ lain secara terpadu. Pandangan ini diwarnai oleh pengalaman dalam
teknologi transplantasi organ. Secara teknis medis untuk kepentingan
transplantasi, memang pandangan ini memadai. Tetapi, secara moral masih menjadi
pertanyaan, jika organ-organ masih berfungsi, meski tidak terpadu lagi,
benarkah orang tersebut sudah mati.
4.
Hilangnya kemampuan
manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi sosial.
Konsep ini dikembangkan dari konsep yang ketiga diatas, tetapi dengan penekanan
nilai moral yaitu dengan memeperhatikan fungsi manusia sebagai mahluk sosial.
Dari seluruh
uraian tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa euthanasia dalam
keperawatan adalah suatu usaha menghilangkan nyawa seseorang dengan
menghentikan tindakan asuhan keperawatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan baik
dengan permintaan maupun tidak atas permintaan. Suatu perbuatan yang
bertentangan dengan etika keperawatan.
B.
Jenis-Jenis Euthanasia
Berdasarkan
pengertian Euthanasia, dapat diketahui bahwa Euthanasia dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu :
1.
Euthanasia atas
permintaan (Volunter)
sebuah
penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan
pasien.
2.
Euthanasia tidak atas
permintaan (Involunter)
suatu
tindakan yang dilakukan terhadap pasien dimana pasien tersebut tidak dalam keadaan
sadar, dalam keadaan seperti ini pasien tidak mungkin untuk menyampaikan
keinginannya, dalam hal ini dianggap pihak keluarga pasien yang bertanggung
jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan
pembunuhan kriminal.
Kedua
macam Euthanasia tersebut dapat pula dibagi menjadi dua
bagian,
yaitu :
1.
Euthanasia aktif
Suatu
peristiwa dimana seorang dokter atau tenaga kesehatan lainnya, secara sengaja
melakukan suatu tindakan untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien.
Euthanasia
aktif, baik atas permintaan maupun tanpa permintaan, dapat dibedakan lagi
menjadi dua macam, yaitu :
1.
Euthanasia secara
langsung
Suatu usaha untuk
meringankan penderitaan pasien sedemikian rupa sehingga secara logis dapat
diperhitungkan bahwa hidup pasien diperpendek atau diakhiri.
2.
Euthanasia secara tidak
langsung
Usaha untuk
memperingan kematian dengan efek samping (mengetahui adanya risiko tindakan) bahwa
pasien barangkali meninggal dalam waktu lebih cepat. Di sini termasuk pemberian
segala macam obat narkotika, hipnotika, dan anelgetika yang barangkali secara de
facto memperpendek kehidupan walaupun hal itu disengaja.
2.
Euthanasia pasif
Suatu
keadaan dimana seorang dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara sengaja tidak
memberikan bantuan medis terhadap pasien yang dapat memperpanjang hidupnya.
Dalam hal ini bukan berarti tindakan perawatan dihentikan sama sekali,
melainkan tetap diberikan dengan maksud untuk membantu pasien dalam fase
hidupnya yang terakhir.
Euthanasia
pasif yang dilakukan atas permintaan dapat dinamakan “Auto Euthanasia”. Pengertian euthanasia pasif adalah suatu keadaan
dimana seorang pasien, dengan sadar menolak secara tegas untuk menerima
perawatan medis.
C.
Contoh Kasus Euthanasia di Indonesia
1.
Dikutip dari DetikNews.com, di Indonesia, upaya pengajuan
permohonan euthanasia pernah terjadi di penghujung 2004, suami Ny. Agian yang
bernama Panca Satria Hasan Kusuma mengajukan permohonan euthanasia ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengakhiri penderitaan istrinya yang
menderita stroke dan tidak kunjung sembuh, namun permohonan itu ditolak oleh
pengadilan. Menurut pakar hukum pidana Indriyanto Seno
Adji, tindakan euthanasia harus memenuhi persyaratan medis dan bukan
karena alasan sosial ekonomi. Menurutnya, sifat limitatif ini untuk mencegah
agar nantinya pengajuan euthanasia tidak sewenang-wenang.[6]
2.
Dikutip dari DetikNews.com, Afandi, warga Batang pada pertengahan bulan
September 2018 menulis surat kepada kejaksaan negeri agar diperbolehkan disuntik
mati. Hal itu dilakukan karena putus asa penyakit maag kronis tak kunjung
sembuh. Kejaksaan Negeri Batang pun langsung menolak permintaan Afandi yang
pernah dikirimkannya dan Kejaksaan akan menindak tegas secara hukum jika benar
Afandi telah mengirimkan surat tersebut dan menindak tegas orang yang akan
membantu Afandi. Menurut penjelasan Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara
(Kasidatun) Kejari Batang, Dista Anggara, yang bersangkutan telah melanggar Pasal 344 KUHP dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara.
Dalam Pasal tersebut dijelaskan
bahwa " Barang siapa menghilangkan jiwa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata
dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun”.[7]
D.
Aspek Hukum Euthanasia
Pada prinsipnya, hak untuk hidup merupakan
hak fundamental atau hak asasi dari setiap manusia. Konstitusi kita yakni UUD
1945 melindungi hak untuk hidup ini dalam Pasal 28A UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Penolakan perawatan
medik ini ada yang mengakibatkan matinya pasien, dan ada juga yang tidak mengakibatkan
matinya pasien. Pada umumnya bila tidak ada izin dari pasien, dokter atau
tenaga kesehatan lainya tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan medik
untuknya, walaupun akhirnya akan mengakibatkan meninggalnya pasien tersebut.
Penolakan perawatan medis ini erat kaitannya dengan hak-hak pasien. Pasien
mempunyai hak untuk menolak seluruh terapi ataupun sebagian terapi. Adapun yang
melandasi hak-hak pasien ini adalah karena adanya the right of self
determination atas badannya sendiri.
Menurut
hukum Islam bahwa pengadilan sekalipun tidak berhak untuk menentukan hak hidup
seseorang kecuali untuk hukuman yang telah ditentukan oleh
nash, karena hak hidup seseorang hanya milik Allah Swt semata dan hanya dia
yang berhak untuk mengambinya kembali tanpa terkecuali bahkan pengadialan sekalipun.[8]
Dalam Pasal 45 ayat (1) UU No. 44/2009
disebutkan bahwa Rumah Sakit secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya
menolakn tau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien
setelah adanya penjelasan medis komprehensif.
Pasal 14 Permenkes 290/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran, menyatakan:
(1)
Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding
life support) pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga
terdekat pasien;
(2)
Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh
keluarga terdekat pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
keluarga mendapat pejelasan dari tim dokter yang bersangkutan;
(3)
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diberikan secara tertulis.
Pada Permenkes No. 519 tahun 2011
tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Anesthesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit, terdapat pedoman
tentang pengelolaan akhir kehidupan, yakni:
1.
Pengelolaan akhir
kehidupan meliputi penghentian
bantuan hidup (withdrawing life support) dan penundaan bantuan hidup (withholding life support).
2.
Keputusan withdrawing/withholding dilakukan pada
pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (ICU dan HCU). Keputusan
penghentian atau penundaan bantuan hidup adalah keputusan medis dan etis.
3.
Keputusan untuk
penghentian atau penundaan bantuan hidup dilakukan oleh 3 (tiga) dokter yaitu
dokter spesialis anestesiologi atau dokter lain yang memiliki kompetensi dan 2
(dua) orang dokter lain yang ditunjuk oleh komite medis rumah sakit.
4.
Prosedur pemberian atau
penghentian bantuan hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di
ICU atau HCU, yaitu:
a.
Bantuan total dilakukan
pada pasien sakit atau cedera kritis yang diharapkan tetap dapat hidup tanpa
kegagalan otak berat yang menetap. Walaupun sistem organ vital juga
terpengaruh, tetapi kerusakannya masih reversibel. Semua usaha yang
memungkinkan harus dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
b.
Semua bantuan kecuali
RJP (DNAR = Do Not Attempt Resuscitation),
dilakukan pada pasien-pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan
harapan pemulihan otak, tetapi mengalami kegagalan jantung, paru atau organ
yang lain, atau dalam tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.
Tidak dilakukan
tindakan-tindakan luar biasa, pada pasien-pasien yang jika diterapi hanya
memperlambat waktu kematian dan bukan memperpanjang kehidupan. Untuk pasien ini
dapat dilakukan penghentian atau penundaan bantuan hidup. Pasien yang masih
sadar tapi tanpa harapan, hanya dilakukan tindakan terapeutik/paliatif agar
pasien merasa nyaman dan bebas nyeri.
d.
Semua bantuan hidup
dihentikan pada pasien dengan kerusakan fungsi batang otak yang
ireversibel. Setelah kriteria Mati
Batang Otak (MBO) yang ada terpenuhi, pasien ditentukan meninggal dan disertifikasi
MBO serta semua terapi dihentikan. Jika dipertimbangkan donasi organ, bantuan
jantung paru pasien diteruskan sampai organ yang diperlukan telah diambil.
Keputusan penentuan MBO dilakukan oleh 3 (tiga) dokter yaitu dokter spesialis
anestesiologi atau dokter lain yang memiliki kompetensi, dokter spesialis saraf
dan 1 (satu) dokter lain yang ditunjuk oleh komite medis rumah sakit.
Kemudian dalam Pasal 338 KUHP disebutkan
bahwa, barang siapa yang dengan sengaja dan
dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan
dengan rencana (“moord”), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun. Kemudian Pasal 344 juga
menerangkan bahwa, barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan
orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh dihukum
penjara selama-lamanya 12 tahun.
Pasal 55 ayat (1) jo
Pasal 338 memberikan penjelasan yang dapat disamakan dengan memujuk berbuat
untuk merampas nyawa orang lain. Isi dari Pasal 55 ayat (1) berbunyi:
Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1.
Mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;
2.
Mereka yang dengan sengaja memberi atau
menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan
kekerasan, ancaman, atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana
atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana
itu.
Dari seluruh
peraturan di atas dapat dilihat bahwa ada nilai kerancuan dalam hukum tersebut
di atas, di mana KUHP tidak memberlakukan kompromi bagi pelanggarnya. Seorang
pasien yang notabene adalah seorang manusia yang harus dihormati nilai-nilai
kemanusiaanya sudah kehilangan hak hidupnya. Memang tidak dapat dipungkiri
bahwa kondisi di atas telah membingungkan semua pihak, di mana tenaga kesehatan
dan keluarga tidak aka nada yang berani mencabut alat bantuan hidup bila
mengingat Pasal-Pasal KUHP, sementara secara hierarki KUHP posisinya lebih kuat
daripada Undang-Undang Rumah Sakit dan Permenkes, sehingga otomatis berlaku
asas lex superior derogate legi inferior (aturan hukum yang lebih tinggi
menyampingkan aturan hukum yang lebih rendah).
Permasalahan ini harusdicarikan sousinya oleh Lembaga legislatif bersama-sama eksekutif untuk membuat suatu aturan dalam menangani euthanasia. Minimal aturan yang dibuat setingkat dengan KUHP agar aturan KUHP bias diabaikan dengan asas lex spesialis derogate legi generalis (aturan hukum yang khusus mengalahkan aturan hukum yang umum).
[1]
Cecep Tribowo, 2014, Etika & Hukum Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta, hlm. 200.
[2] Diana Kusumasari, 2011, Pengaturan Euthanasia di Indonesia,
diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl2235/euthanasia (Tanggal 14 Agustus 2019).
[3] Ratna Suprapti Samil,2001,Etika Kedokteran Indonesia,
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka, hlm. 22.
[4] Ta’Adi, 2009, Hukum
Kesehatan: Pengantar Menuju Keperawatan Profesional, Jakarta: EGC, hlm. 52.
[5]
Ibid, hlm. 52-54.
[6] Berita, diakses dari: https://news.detik.com/berita/d-225608/kasus-ny-agian-rs-telah-lakukan-euthanasia-pasif (Tanggal 14 Agustus 2019).
[7] Berita, diakses dari: https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4212408/minta-suntik-mati-kejari-indonesia-tak-mengenal-euthanasia (Tanggal 14 Agustus 2019).
[8]
Khoiruddin,diakses dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia (Tanggal 14 Agustus 2019).
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
A’an, dan Freddy, 2017, Hukum
Administrasi, Jakarta: Sinar Grafika.
Alexandra
Indriyanti, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Ali,
Achmad, 2015, Menguak Tabirr Hukum, Jakarta:
Prenamedia Group.
Amir
Amri, 1997, Bunga Rampai Hukum
Kedokteran, Jakarta: Widya Medika.
Asyhadie,
Zaeni, 2017, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan
di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.
Cecep
Tribowo, 2014, Etika & Hukum
Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta.
Desriza
Ratman, 2013, Aspek Hukum Informed
Consent dan Rekam Medis dalam Transaksi Terapeutik, Bandung: Keni Media.
DPP
PPNI, 2017, Pedoman Praktik Keperawatan
Mandiri, Jakarta: DPP PPNI.
Endang
Wahyati Yustina, 2012, Mengenal Hukum Rumah Sakit, Bandung: Keni Media.
Fuady,Munir, 2003, Arbitrase Nasional (Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Bisnis), Bandung: Citra Aditya Bakti.
J.
Guwandi, 2004, Informed Consent,
Jakarta: FKUI.
-----------------,
2004, Hukum Medical, Jakata: FKUI.
-----------------,
2005, Rahasia Medis, Jakata: FKUI.
Kusnandi,
Mohammad, 2013, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: CV
Cahaya Agency.
Lilis,
dan Ramadhaniayati, 2018, Falsafah Dan
Teori Keperawatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mertokusumo,Sudikno,
2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty.
M. Hadjon, Phillipus,1985, Perlindungan
Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
M.
Hadjon, Philipus, Philipus, Sri Soemantri, Sjachran
Basah, Bagir Manan, Laica Marzuki, Ten Berge, Van Buuren, dan Stroink, 2015, Pengantar
Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Miru, Ali, 2014, Hukum Kontrak dan
Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Pers.
Muntoha, 2015, Skripsi:
“Hubungan antara Beban Kerja dengan Perilaku Caring Perawat di Ruang Perawatan
Khusus RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga”, Purbalingga:
Repository UMP.
Muhwan
Hariri, Wawan, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: CV Pustaka Setia.
Ngesti
W. Utami, Uly Agustine, dan Ros Endah H.P, 2016, Etika Keperawatan dan
Keperawatan Profesional, Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan (Badan Pengembangan
dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan) Kementerian Kesehatan RI
Praptianingsih, Sri, 2007, Kedudukan
Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Rahardjo,
Satjpto, 2000, Ilmu Hukum, Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Ratna
Suprapti Samil, 2001, Etika Kedokteran
Indonesia, Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka.
Ridwan,
2014, Hukum Administrasi Negara,
Jakarta: Rajawali Pers.
Sahya,
Anggara, 2018, Hukum Administrasi Negara,
Bandung: CV. Pustaka Setai.
Soerjowinoto,
Petrus, 2017, Ilmu Hukum Suatu Pengantar,
Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.
Soerodibroto,Soenarto, 2012, KUHP
dan KUHAP, Jakarta: Rajawali Pers.
Sinamo, Nomensen, 2016, Hukum
Administrasi Negara, Jakarta: Jala Pertama Aksara.
Soetrisno, 2010, Malpraktik Medik
dan Mediasi Senagai Alternatif Penyelesaian Sengketa,Tanggerang: telaga
Ilmu.
Sungguh, As’ad, Kode Etk Profesi
tentang Kesehatan. 2014, Jakarta: Sinar Grafika.
Ta’Adi,
2009, Hukum Kesehatan: Pengantar Menuju
Keperawatan Profesional, Jakarta: EGC.
-----------------, 2018 “Hukum Kesehatan: Sanksi
& Motivasi Bagi Perawat, Jakarta: EGC.
Vaunghans,
Bennita W, 2013, Keperawatan Dasar (Edisi
Terjemahan), Yogyakarta: Rapha Publishing.
Wildan
Pahlevi, 2009, “Skripsi: Analisis
Pelayanan Pasien di Unit Admisi Rawat”, Jakarta: FKM UI.
Winarta, Frans Hendra, 2011, “Hukum
Penyelesaian Sengketa-Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional”, Jakarta:
Sinar Grafika.
Yustina, Endang Wahyati, 2012, Mengenal
Hukum Rumah Sakit, Bandung: Keni Media.
JURNAL
Edy
Krisharyanto, “Beberapa Aspek Hukum Rumah
Sakit dalam Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan”, PERSPEKTIF Vol. 4, No.
2, 2001.
M. Fakih, “Kedudukan Hukum
Keperawatan Dependen dalam Transaksi Terapeutik” Yustisia Vol. 2 No. 2,
2013.
Muryati, Dewi Tuti, and B. Rini Heryanti, “Pengaturan dan Mekanisme
Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi di Bidang Perdagangan.”
Jurnal Dinamika Sosbud Vol. 3 No. 1, 2011.
Ros Angesti Anas Kapindha, Salvatia Dwi M, dan Winda Rizky
Febrina, “Efektivitas
dan Efisiensi Alternative Dispute Resolution (ADR) Sebagai Salah Satu
Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia”, Privat Law Vol. 12 No. 4, 2014.
Setya
Wahyudi, “Tanggungjawab Rumah Sakit
terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga Kesehatan dan Implikasinya”, Jurnal
Dinamika Hukum, Vol. 11, No. 3, 2011
SEMINAR
Agus Hadian Rahim,
“Membangun Tata Kelola Etika dan Hukum Rumah Sakit”, Disajikan dalam Acara Pertemuan Penguatan dan Sosialisasi Serta Peran Komite
Etik dan Hukum Rumah Sakit (Jakarta, 22 Februari 2018 di Sekretariat Direktorat
Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI).
Wasisto B.Suganda, “Jaringan Bioetika dan Humaniora Kesehatan
Indonesia”, Disajikan dalam Proceeding Pertemuan Nasional IV (Jakarta,
30 November- 2 Desember 2004 di Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia).
Machli
Riyadi, 2017, Penyelesaian Sengketa
Tenaga Kesehatan Melalui Mediasi, (Disajikan
dalam acara Seminar dan Workshop Kesehatan Nasional, Semarang Minggu 5 November
2017 di Gedung Satya Graha KORPRI).
Sukendar, “Aplikasi
Perawatan Luka Terkini dalam Praktik Keperawatan Mandiri Berbasis Evidence
Based dan Simulasi Pembuatan Kontrak Antara Perawat dengan Dokter”,
disajikan dalam Seminar Keperawatan Griya Luka Grobogan (Semarang, 6 Desember
2018 di Gedung Juang 45 Semarang).
PERATURAN
RI, Undang-Undang Dasar 1945.
RI,
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
RI,
Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
RI, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan.
RI, Undang–Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
RI, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan
RI, Undang-Undang Nomor 38 tahun 2014
tentang Tenaga Keperawatan.
RI,
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis.
RI.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran.
RI, Keputusan Menteri
Kesehatan
Nomor 908/MENKES/SK/VII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Keperawatan
Keluarga.
RI, Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 519 tahun
2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Anesthesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit.
RI,
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit
dan Kewajiban Pasien.
Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
SK
DPP PPNI Nomor 011/DPP.PPNI/SK/K.S/III/2017 tentang Pedoman Praktik Keperawatan
Mandiri.
INTERNET
Achir
Yani Syuhaimie Hamid, 2014, Perjuangan
Panjang untuk Undang-Undang Keperawatan, Diakses pada: https://www.kompasiana.com/ayanihamid/
54f958f8a33311fc078b4c94/perjuangan-panjang-untuk-undang-undang-keperawatan (Tanggal
1 Januari 2019).Puji Hastuti, 2014, Mengenal Undang-Undang Keperawatan, Diakses pada: https://www.kompasiana.com/pujih/54f92a6da33311ed068b4882/mengenal-undang-undang-keperawatan (Tanggal 1 Januari 2019).
Agus Roni Arbaben, 2017, Pengertian Kewenangan, Sumber-Sumber Kewenangan Dan Kewenangan
Membentuk Undang-Undang, diakses pada: https://agusroniarbaben.wordpress.com/2017/06/03/pengertian-kewenangan-sumber-sumber-kewenangan-dan-kewenangan-membentuk-undang-undang/ (Tanggal 3 Oktober 2018).
Berita, diakses dari: https://news.detik.com/berita/d-225608/kasus-ny-agian-rs-telah-lakukan-euthanasia-pasif (Tanggal
14 Agustus 2019).
Berita, diakses dari: https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4212408/minta-suntik-mati-kejari-indonesia-tak-mengenal-euthanasia (Tanggal
14 Agustus 2019).
Diana Kusumasari, 2011, Pengaturan Euthanasia di Indonesia,
diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl2235/euthanasia (Tanggal
14 Agustus 2019).
Hasrul Buamoha, 2013, Mediasi
(Non Litigasi) Sebagai Langkah Awal Penyelesaian Sengketa Medis, Diakses
pada: https://www.lbhyogyakarta.org/2013/07/mediasi-non-litigasi-langkah-awal-penyelesaian-sengketa-medis/ (Tanggal
29 Januari 2019).Diakses
dari: http://www.lepank.com/2012/08/pengertian-perawat-menurut-beberapa-ahli.html https://id.wikipedia.org/wiki/Keperawatan (Tanggal
22 Januari 2019).
http://dosen.stikesdhb.ac.id/fitra-herdian/wp-content/uploads/sites/19/2016/02/jtptunimus
-gdl-masniarg2a-6121-3-babii.pdf (Tanggal 22
September 2018).
http://digilib.unila.ac.id/5780/12/BAB%20II.pdf (Tanggal
13 Agustus 2019).
Khoiruddin,diakses dari: http://id.wikipedia.org/ wiki/Eutanasia (Tanggal 14 Agustus 2019).
Odebhora, 2011, “Penyelesaian Sengketa”, Diakses pada: https://odebhora.wordpress.com/2011/05/17/penyelesaian-sengketa/ (Tanggal
30 Januari 2019).
Siti Yuniarti, 2017, Ragam
dan bentuk Penyelesaian sengketa”, Diakses pada: http://business-law.binus.ac.id/2017/05/31/ragam-dan-bentuk-alternatif-penyelesaian-sengketa/ (Tanggal
30 Januari 2019
Silontong,
2018, “Pengertian Rumah Sakit Menurut
Para Ahli”, diakses dari: https://www.silontong.com/2018/05/07/pengertian-rumah-sakit-menurut-para-ahli/# (Tanggal
13 Agustus 2019).
Wikipedia Bahasa Indonesia versi online, diakses dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Keperawatan (Tanggal 2 Januari 2019).
Etika profesi keperawatan dan hukum kesehatan - https://www.makmurjayayahya.com/2021/06/etika-profesi-keperawatan-hukum.html
DAFTAR PUSTAKA
A’an, dan Freddy, 2017, Hukum Administrasi, Jakarta: Sinar Grafika.
Alexandra Indriyanti, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Ali, Achmad, 2015, Menguak Tabirr Hukum, Jakarta: Prenamedia Group.
Amir Amri, 1997, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Jakarta: Widya Medika.
Asyhadie, Zaeni, 2017, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.
Cecep Tribowo, 2014, Etika & Hukum Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta.
Desriza Ratman, 2013, Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis dalam Transaksi Terapeutik, Bandung: Keni Media.
DPP PPNI, 2017, Pedoman Praktik Keperawatan Mandiri, Jakarta: DPP PPNI.
Endang Wahyati Yustina, 2012, Mengenal Hukum Rumah Sakit, Bandung: Keni Media.
Fuady,Munir, 2003, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Bandung: Citra Aditya Bakti.
J. Guwandi, 2004, Informed Consent, Jakarta: FKUI.
-----------------, 2004, Hukum Medical, Jakata: FKUI.
-----------------, 2005, Rahasia Medis, Jakata: FKUI.
Kusnandi, Mohammad, 2013, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: CV Cahaya Agency.
Lilis, dan Ramadhaniayati, 2018, Falsafah Dan Teori Keperawatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mertokusumo,Sudikno, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty.
M. Hadjon, Phillipus,1985, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
M. Hadjon, Philipus, Philipus, Sri Soemantri, Sjachran Basah, Bagir Manan, Laica Marzuki, Ten Berge, Van Buuren, dan Stroink, 2015, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Miru, Ali, 2014, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Pers.
Muntoha, 2015, Skripsi: “Hubungan antara Beban Kerja dengan Perilaku Caring Perawat di Ruang Perawatan Khusus RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga”, Purbalingga: Repository UMP.
Muhwan Hariri, Wawan, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: CV Pustaka Setia.
Ngesti W. Utami, Uly Agustine, dan Ros Endah H.P, 2016, Etika Keperawatan dan Keperawatan Profesional, Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan (Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan) Kementerian Kesehatan RI
Praptianingsih, Sri, 2007, Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Rahardjo, Satjpto, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Ratna Suprapti Samil, 2001, Etika Kedokteran Indonesia, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Ridwan, 2014, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers.
Sahya, Anggara, 2018, Hukum Administrasi Negara, Bandung: CV. Pustaka Setai.
Soerjowinoto, Petrus, 2017, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.
Soerodibroto,Soenarto, 2012, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rajawali Pers.
Sinamo, Nomensen, 2016, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Jala Pertama Aksara.
Soetrisno, 2010, Malpraktik Medik dan Mediasi Senagai Alternatif Penyelesaian Sengketa,Tanggerang: telaga Ilmu.
Sungguh, As’ad, Kode Etk Profesi tentang Kesehatan. 2014, Jakarta: Sinar Grafika.
Ta’Adi, 2009, Hukum Kesehatan: Pengantar Menuju Keperawatan Profesional, Jakarta: EGC.
-----------------, 2018 “Hukum Kesehatan: Sanksi & Motivasi Bagi Perawat, Jakarta: EGC.
Vaunghans, Bennita W, 2013, Keperawatan Dasar (Edisi Terjemahan), Yogyakarta: Rapha Publishing.
Wildan Pahlevi, 2009, “Skripsi: Analisis Pelayanan Pasien di Unit Admisi Rawat”, Jakarta: FKM UI.
Winarta, Frans Hendra, 2011, “Hukum Penyelesaian Sengketa-Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional”, Jakarta: Sinar Grafika.
Yustina, Endang Wahyati, 2012, Mengenal Hukum Rumah Sakit, Bandung: Keni Media.
JURNAL
Edy Krisharyanto, “Beberapa Aspek Hukum Rumah Sakit dalam Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan”, PERSPEKTIF Vol. 4, No. 2, 2001.
M. Fakih, “Kedudukan Hukum Keperawatan Dependen dalam Transaksi Terapeutik” Yustisia Vol. 2 No. 2, 2013.
Muryati, Dewi Tuti, and B. Rini Heryanti, “Pengaturan dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi di Bidang Perdagangan.” Jurnal Dinamika Sosbud Vol. 3 No. 1, 2011.
Ros Angesti Anas Kapindha, Salvatia Dwi M, dan Winda Rizky Febrina, “Efektivitas dan Efisiensi Alternative Dispute Resolution (ADR) Sebagai Salah Satu Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia”, Privat Law Vol. 12 No. 4, 2014.
Setya Wahyudi, “Tanggungjawab Rumah Sakit terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga Kesehatan dan Implikasinya”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11, No. 3, 2011
SEMINAR
Agus Hadian Rahim, “Membangun Tata Kelola Etika dan Hukum Rumah Sakit”, Disajikan dalam Acara Pertemuan Penguatan dan Sosialisasi Serta Peran Komite Etik dan Hukum Rumah Sakit (Jakarta, 22 Februari 2018 di Sekretariat Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI).
Machli Riyadi, 2017, Penyelesaian Sengketa Tenaga Kesehatan Melalui Mediasi, (Disajikan dalam acara Seminar dan Workshop Kesehatan Nasional, Semarang Minggu 5 November 2017 di Gedung Satya Graha KORPRI).
Sukendar, “Aplikasi Perawatan Luka Terkini dalam Praktik Keperawatan Mandiri Berbasis Evidence Based dan Simulasi Pembuatan Kontrak Antara Perawat dengan Dokter”, disajikan dalam Seminar Keperawatan Griya Luka Grobogan (Semarang, 6 Desember 2018 di Gedung Juang 45 Semarang).
PERATURAN
RI, Undang-Undang Dasar 1945.
RI, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
RI, Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
RI, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
RI, Undang–Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
RI, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
RI, Undang-Undang Nomor 38 tahun 2014 tentang Tenaga Keperawatan.
RI, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis.
RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
RI, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 908/MENKES/SK/VII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Keperawatan Keluarga.
RI, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 519 tahun 2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anesthesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit.
RI, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
SK DPP PPNI Nomor 011/DPP.PPNI/SK/K.S/III/2017 tentang Pedoman Praktik Keperawatan Mandiri.
INTERNET
Achir Yani Syuhaimie Hamid, 2014, Perjuangan Panjang untuk Undang-Undang Keperawatan, Diakses pada: https://www.kompasiana.com/ayanihamid/ 54f958f8a33311fc078b4c94/perjuangan-panjang-untuk-undang-undang-keperawatan (Tanggal 1 Januari 2019).Puji Hastuti, 2014, Mengenal Undang-Undang Keperawatan, Diakses pada: https://www.kompasiana.com/pujih/54f92a6da33311ed068b4882/mengenal-undang-undang-keperawatan (Tanggal 1 Januari 2019).
Agus Roni Arbaben, 2017, Pengertian Kewenangan, Sumber-Sumber Kewenangan Dan Kewenangan Membentuk Undang-Undang, diakses pada: https://agusroniarbaben.wordpress.com/2017/06/03/pengertian-kewenangan-sumber-sumber-kewenangan-dan-kewenangan-membentuk-undang-undang/ (Tanggal 3 Oktober 2018).
Berita, diakses dari: https://news.detik.com/berita/d-225608/kasus-ny-agian-rs-telah-lakukan-euthanasia-pasif (Tanggal 14 Agustus 2019).
Berita, diakses dari: https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4212408/minta-suntik-mati-kejari-indonesia-tak-mengenal-euthanasia (Tanggal 14 Agustus 2019).
Diana Kusumasari, 2011, Pengaturan Euthanasia di Indonesia, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl2235/euthanasia (Tanggal 14 Agustus 2019).
Hasrul Buamoha, 2013, Mediasi (Non Litigasi) Sebagai Langkah Awal Penyelesaian Sengketa Medis, Diakses pada: https://www.lbhyogyakarta.org/2013/07/mediasi-non-litigasi-langkah-awal-penyelesaian-sengketa-medis/ (Tanggal 29 Januari 2019).Diakses dari: http://www.lepank.com/2012/08/pengertian-perawat-menurut-beberapa-ahli.html https://id.wikipedia.org/wiki/Keperawatan (Tanggal 22 Januari 2019).
http://dosen.stikesdhb.ac.id/fitra-herdian/wp-content/uploads/sites/19/2016/02/jtptunimus -gdl-masniarg2a-6121-3-babii.pdf (Tanggal 22 September 2018).
http://digilib.unila.ac.id/5780/12/BAB%20II.pdf (Tanggal 13 Agustus 2019).
Khoiruddin,diakses dari: http://id.wikipedia.org/ wiki/Eutanasia (Tanggal 14 Agustus 2019).
Odebhora, 2011, “Penyelesaian Sengketa”, Diakses pada: https://odebhora.wordpress.com/2011/05/17/penyelesaian-sengketa/ (Tanggal 30 Januari 2019).
Siti Yuniarti, 2017, Ragam dan bentuk Penyelesaian sengketa”, Diakses pada: http://business-law.binus.ac.id/2017/05/31/ragam-dan-bentuk-alternatif-penyelesaian-sengketa/ (Tanggal 30 Januari 2019
Silontong, 2018, “Pengertian Rumah Sakit Menurut Para Ahli”, diakses dari: https://www.silontong.com/2018/05/07/pengertian-rumah-sakit-menurut-para-ahli/# (Tanggal 13 Agustus 2019).
Wikipedia Bahasa Indonesia versi online, diakses dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Keperawatan (Tanggal 2 Januari 2019).
Nenek baca sebagiannya dulu ya, cung. Soalnya, kepanjangan. He he .....
BalasHapusBaik, pelan2 aja bacanya nek krn ini e-book panjang materinya.. hehe. Terima kasih udah berkunjung dan sehat selalu nek
BalasHapus