Cybervetting atau vetting online dan pengguna internet di Indonesia
makmurjayayahya.com - Cybervetting atau vetting online adalah proses melakukan penelitian online terhadap seseorang untuk memeriksa pekerjaan, jabatan politik, atau posisi otoritas lainnya. Istilah ini merupakan gabungan dari kata "cyber" dan "vetting", dan mirip dengan metode penelitian online lainnya seperti Googling seseorang atau memeriksa akun media sosialnya.
Cybervetting atau vetting online adalah fenomena baru dan mempunyai implikasi. Ketika kita semakin bergantung pada internet, penting untuk menyadari risiko dan mempertimbangkan potensi dampak dari bentuk penggunaan internet tersebut.
Internet telah mempermudah melakukan cybervetting. Siapa pun yang memiliki koneksi internet dapat melakukannya, dan ada banyak informasi yang tersedia secara online. Namun, hal ini juga berarti bahwa siapa pun dapat menjadi sasaran cybervetting, dan informasi hoax atau menyesatkan dapat menyebar dengan cepat dan mudah. Untuk itu bijaklah dalam bermedia sosial yang berpotensi menimbulkan dampak hukum.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa media massa adalah sebuah sarana dalam komunikasi yang dapat mengirimkan pesan secara serentak dan cepat kepada khalayak luas. Menurut paradigma baru, alat komunikasi massa terbagi menjadi 6 yaitu surat kabar, majalah, tabloid, internet, radio, dan televisi. Sedangkan pada paradigma lama terdapat 9 alat komunikasi massa yaitu film, surat kabar, majalah, tabloid, buku, radio, televisi, dan kaset (Nurudin, 2019, pp. 9–13). Terdapat perbedaan antara paradigma lama dengan paradigma baru yaitu hadirnya internet. Internet sendiri muncul karena adanya perkembangan dalam teknologi komunikasi.
Berdasarkan hasil survei Asosiasi PenyelenggaraJasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia mencapai 215,63 juta orang pada periode 2022-2023. Jumlah tersebut meningkat 2,67% dibandingkan pada periode sebelumnya yang sebanyak 210,03 juta pengguna. mencatat penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 78,19 persen pada 2023 atau menembus 215.626.156 jiwa dari total populasi yang sebesar 275.773.901 jiwa.
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa pada tahun 2022 pengguna internet di Indonesia semakin banyak jika dibandingkan dengan tahun 2021. Sehingga, seiring berkembangnya teknologi di era digitalisasi, menyebabkan timbulnya istilah media baru (new media). Dimana dalam new media menggunakan internet sebagai sarana untuk menyebarkan informasi ke khalayak luas, sehingga informasi yang disampaikan dapat diterima tanpa terbatas oleh ruang dan waktu (McQuail, 2011, p. 155)
Jejak digital memiliki pengaruh pada
kehidupan individu, terutama dalam hal pekerjaan. Kenapa bisa seperti itu?
Karena sebagian besar perusahaan meneliti aktivitas online dari para pelamar di
perusahaannya. Hal ini disebut dengan cyber-vetting
atau vetting online. Berdasarkan survey, sekitar 47% perekrut memeriksa
situs jejaring sosial pelamar, mulai dari akun Facebook (76%), Twitter (53%), dan LinkedIn (48%), sesaat setelah
menerima lamaran mereka (hipwee.com, 2018). Bagi individu yang sadar, jejak
digital bagaikan sebuah bom yang suatu-waktu bisa meledak. Sehingga jika tidak
berhati-hati dalam berucap atau bertindak di dunia maya, maka itu dapat menjadi
boomerang bagi individu tersebut. Terlebih lagi sebagian besar orang tidak
merasa jejak digital itu punya dampak, kecuali ketika mereka merasa dirugikan
oleh history postingan sendiri. Seperti pernyataan dari Gwenn Schurgin O’Keeffe
dalam jurnalnya yang berjudul “The Impact
of Social Media on Children, Adolescents, and Families”. (Dampak Media Sosial
pada Anak, Remaja, dan Keluarga”).
Tidak hanya itu, banyak juga yang beranggapan
bahwa apa yang terjadi di dunia maya tidak dapat mempengaruhi kehidupan nyata
mereka. Sehingga banyak individu yang semena-mena dalam berinteraksi di dunia
maya tersebut. Terlebih karena biasanya nama akun yang digunakan bukanlah nama
asli dan postingan atau aktivitas individu tersebut dapat dihapus, sehingga
individu merasa aman. Padahal kita tidak tahu apakah orang yang melihat
postingan kita, sekedar melihat atau me-screenshot atau capture postingan
tersebut dan menyebarluaskan di media sosial lainnya. Dari hal tersebut
kemudian menyebabkan beberapa individu merasa takut dan memilih untuk lari atau
tidak menggunakan media sosial agar tidak menciptakan atau meninggalkan jejak
digital. Sedangkan ada solusi lain yang bisa dilakukan oleh individu, seperti
teliti dalam melakukan pencarian atau penelusuran dan pemilahan informasi yang
digunakan; dan mempertimbangkan dari segala aspek sebelum membagikan suatu
postingan atau informasi melalui media sosial yang digunakan.
Pada dasarnya jejak digital memiliki dampak positif ketika pengguna atau individu dapat mengontrol aktivitas mayanya dengan baik, seperti :
- Mendapatkan laporan catatan aktivitas individu di dunia maya secara teliti dan detail;
- Menyimpulkan informasi pribadi, seperti ciri-ciri demografis, ras, pandangan agama dan politik, kepribadian, atau kecerdasan tanpa sepengetahuan individu;
- Memaparkan lingkup psikologis pribadi individu ke dalam lingkup sosial atau lifelogging (pencacatan kehidupan);
- Menemukan atau menentukan produk apa yang diminati oleh pengguna;
- Dapat menginspirasi minat orang pada produk tertentu berdasarkan minat yang sama dan sebagainya.
Meski beberapa dampak tersebut bermanfaat
bagi 1 pihak, namun tidak sepenuhnya merugikan pihak lainnya. Misal
terbentuknya filter bubble yang mampu mengelompokkan jenis kebutuhan informasi
individu berdasar pada aktivitas dunia mayanya. Sayangnya dari hal ini,
individu hanya akan disuguhkan informasi yang seperti itu-itu saja atau bisa
dikatakan terblokir dari informasi diluar informasi yang biasanya ditelusuri.
Oleh karena itulah, kemampuan untuk
berliterasi digital sangat diperlukan dalam mengontrol aktivitas di dunia maya.
Misalnya hanya memposting atau membagikan informasi yang penting dan memang
perlu diketahui oleh publik dan sebagainya. Menurut Gilster (2007), literasi
digital adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi di berbagai
format dalam cakupan sumber informasi yang luas dan disajikan melalui komputer
(Shear&Knobel.indd, 2008). Ketika individu mampu menerapkan atau
menggunakan literasi digital dalam aktivitas dunia mayanya, maka jejak digital
yang dihasilkan nantinya pun akan baik atau bermanfaat.
Contohnya ada individu mendapatkan sebuah informasi terkait suatu isu berita fakta atau hoax dan merasa bahwa masyarakat harus tahu informasi tersebut. Namun, sebelum membagikannya, individu tersebut harus crossceck terlebih dahulu dengan mencari tau dan menelusurinya lebih lanjut. Kemudian, dihubungkan atau saling dikaitkan dari berbagai sumber terpercaya, norma yang berlaku di masyarakat, privasi dan etika yang terkandung dalam informasi tersebut dan sebagainya. Setelah itu, apabila memang isu atau informasi tersebut benar adanya, tidak merugikan pihak mana pun, tidak mengandung unsur-unsur yang terlarang atau pelanggaran lainnya. Maka informasi tersebut dapat disebarkan, tentunya dengan mencantumkan sumber-sumbernya. Dan tidak menambahkan opini liar yang bisa menyalahartikan maksud dari penyebaran informasi tersebut.
Sumber:
- Buku McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Salemba Humanika, 2012
- Buku Nurudin, Pengantar komunikasi massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2019
- Journal O’Keeffe, Gwenn Schurgin., Pearson, Kathleen Clarke. The Impact of Social Media on Children, Adolescents, and Families. Journal of the American Academy of Pediatrics, 127;800, 2011
- Hasil Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), 2023 https://apjii.or.id/berita/d/survei-apjii-pengguna-internet-di-indonesia-tembus-215-juta-orang
Posting Komentar untuk " Cybervetting atau vetting online dan pengguna internet di Indonesia"