Harta Bersama (Gono-Gini) yang berstatus kredit menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2018
makmurjayayahya.com - Secara etimologis dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, harta bersama tediri dari dua kata yaitu, harta dan bersama. Harta adalah barang-barang, uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan.Sedangkan bersama adalah seharta, semilik. Selanjutnya mengenai pengertian harta secara terminologis adalah barang-barang, uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan yang diperoleh suami istri secara bersama-sama dalam perkawinan. Dalam hukum positif di Indonesia, masalah harta bersama diatur dalam :
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan
- Kompilasi Hukum Islam (KHI);
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
Undang-Undang Perkawinan
No.1 Tahun 1974 Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, bahwa jika perkawinan putus, maka harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat, dan hukum
lainnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, harta bersama
diatur lebih rinci.
Pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam
menyatakan: “Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang
diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan
perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan
terdaftar atas nama siapapun”.
Sedangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 119 menyatakan: “Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Berdasarkan pada
definisi harta bersama dalam hukum positif di atas, maka para ahli hukum di
Indonesia sepakat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah
semua harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan
siapa diantara suami istri yang mencarinya dan juga tanpa mempersoalkan atas
nama siapa harta kekayaan itu terdaftar.
Menurut
Prof. Sonny Dewi Judiasih Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran menjelaskan, dalam Pasal 35 ayat 1 UU Perkawinan disebutkan bahwa
harta bersama merupakan harta yang diperoleh selama
perkawinan berlangsung. Harta bersama atau disebut juga harta gono gini
dapat bersumber dari suami saja, istri saja, atau dari suami dan istri.
Ismuha dalam bukunya
Pencaharian Bersama Suami Istri di Indonesia, memberikan suatu pengertian
tentang harta bersama yaitu harta yang diperoleh bersama oleh suami istri
selama mereka terikat oleh tali perkawinan atau dengan kata lain harta yang
diperoleh dari hasil perkongsian antara suami istri.
Menurut Fathur Rahman,
Harta Bersama (Gono-Gini) adalah harta yang diperoleh suami istri selama
berlangsungnya perkawinan dimana kedua-duanya bekerja untuk kepentingan hidup
rumah tangga. Bekerja ini hendaknya diartikan secara luas, hingga seorang istri
yang pekerjaannya tidak nyata-nyata menghasilkan kekayaan, seperti memelihara
anaknya dianggap sudah bekerja, dan harta yang diperoleh secara kongkrit oleh
suami menjadi milik bersama.
M. Natsir Asnawi, S.H.I,
M.H. dalam bukunya yang berjudul “Hukum Harta Bersama (Kajian Perbandingan
Hukum , Telaah Norma, Yurisprudensi, dan Pembaruan Hukum) menyebutkan bahwa
harta bersama berarti harta yang diperoleh bersama di dalam perkawinan.
Istilah yang sering disebut untuk merujuk pada harta bersama adalah marital property, matrimonial property, atau marriage
property. Marriage property adalah
property acquired during the course of a
marriage (harta benda/kekayaan yang diperoleh selama perkawinan).
Pengertian ini selaras dengan makna harta bersama yang tertuang dalam Pasal 35
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) bahwa harta
bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan (property produced during the marriage
between a husband and wife).
Sedangkan Menurut Idris
Ramulyo harta bersama disebut juga dengan istilah harta gono-gini merupakan
harta yang didapatkan secara bersama-sama antara pasangan suami/istri karena
berkat usahanya, baik kedunya mendapatkan secara bersama-sama ataupun hanya
sang suami yang bekerja mencarinya sementara istrinya hanya mengurus rumah
tangga serta memelihara anak-anak di rumah.
Pada prinsipnya ialah
sekali pasangan suami-istri terikat dalam kontrak atau perjanjian pernikahan
sebagai suami-istri, maka kesemuanya menjadi bersatu baik hartanya maupun anak-anak.
Dalam aturan KUH Perdata
Pasal 119, dijelaskan bahwa yang maksud dengan harta bersama yaitu harta yang
awal saat dimulainya pernikahan, maka menurut aturan hukum terbentuk harta
bersama antara suami dan istri, selama terhadap hal itu tidak diadakan sebuah
ketentuan-ketentuan lain dalam sebuah kontrak perkawinan. Harta bersama itu,
selama ikatan perkawinan berlangsung, tidak boleh dihilangkan atau diubah
dengan sebuah persetujuan antara suami istri.
Sementara itu menurut
Subekti menjelaskan bahwa yang termasuk kedalam harta bersama adalah semua
jenis kekayaan yang didapat selama berjalannya sebuah ikatan perkawinan, dengan
perbuatan suami-istri secara bersama. Namun tidak usah atau perlu dibuktikan
mengenai masing-masing barang kekayaan berapa sahamnya suami-istri dalam
memperolehnya, karena semua harta atau kekayaan yang didapat ketika waktu
perkawinan dianggap sebagai harta gono-gini.
Harta benda dalam sebuah
ikatan perkawinan dibagi menjadi tiga jenis yaitu sebagai berikut:
1.
Harta
bersama adalah harta benda apa saja yang dihasilkan atau didapatkan secara
bersama-sama oleh pasangan suami-istri selama dalam waktu/tempo ikatan
pernikahan, kecuali yang mereka dapat/peroleh sebagai sebuah warisan ataupun
pemberian khusus bagi salah seorang diantara suami-istri
2.
Harta bawaan
merupakan harta atau benda yang sudah dimiliki oleh masing-masing pasangan
suami-istri yang didapat sebelum mereka berdua melaksanakan pernikahan, baik
yang didapat berasal dari sebuah warisan, hadiah, hibah atau usaha suami-istri
masing-masing. Harta bawaan semacam ini bukan termasuk dalam kritria harta
bersama.
3.
Harta
perolehan merupakan harta atau benda yang hanya dimiliki secara perorangan oleh
masing-masing pasangan suami/istri setelah terjadinya sebuah ikatan pernikahan.
Harta jenis ini didapat bukan berasal dari usaha mereka berdua baik seorang
atau bersama-sama, tetapi merupakan sebuah hibah, hadiah atau warisan
masing-masing pasangan suami-istri.
Namun tatkala sebelum
terjadi pernikahan sudah dibentuk semacam perjanjian nikah yang maksudnya
memisahkan terhadap seluruh dari harta yang termasuk bawaan dan harta yang
didapat antara pasangan suami dan istri tersebut, maka ketika terjadi
perpisahan, masing-masing dari suami/istri tersebut hanya mendapatkan harta
yang terdaftar atas nama mereka masing-masing. Karena tidak dikenal dengan
istilah harta bersama atau awamnya "harta gono gini". Dengan
demikian, dalam sebuah permasalahan tersebut, suami tidak memiliki hak atas
deviden dari usaha tersebut, termasuklah juga terhadap harta lain yang menjadi
hak milik sang istri, begitu juga berlaku sebaliknya.
Namun, tatkala di antara
pasangan suami istri belum pernah dibuat sebuah kesepakatan kawin, maka
berdasarkan ketentuan Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dimulai
sejak pernikahan terjadi, maka demi hukum terbentuklah percampuran terhadap
harta di antara suami-istri (jika perkawinan dilakukan sebelum berlakunya UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Maka akibat hukumnya nya terhadap harta
milik istri menjadi harta milik suami, demikian pula sebaliknya. Inilah yang
dimaksud sebagai istilah harta bersama. Maka terhadap harta bersama, jika
terjadi sebuah perceraian, maka harus dibagi dua atau sama rata antara suami
dan istri. Pembagian terhadap harta bersama tersebut mencakup segala keuntungan
dan kerugian yang didapatkan dari usaha maupun upaya yang dilakukan oleh
pasangan suami/istri tersebut selama mereka masih terikat dalam tali
perkawinan.
Sedikit agak berbeda
dengan sebuah pengaturan sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan, namun
setelah berlakunya Undang-Undang tersebut, terhadap harta bersama dalam sebuah
ikatan perkawinan diatur dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Perkawinan. Adapun yang menjadi sebuah berbeda yaitu bagian dari
harta yang mana yang dikategorikan harta bersama. Dalam ketentuan KUHPerdata,
semua bentuk harta yang dimiliki suami dan istri akan menjadi harta bersama.
Dalam Undang-Undang Perkawinan, yang menjadi gono-gini adalah harta benda yang
didapat selama ikatan perkawinan, sementara harta yang diperoleh sebelum ikatan
perkawinan menjadi kategori harta bawaan dari masing-masing pasangan suami dan
istri. Harta gono-gini dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
sebuah hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masig pasangan
sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Oleh sebab itu dalam ketentuan yang
terdapat pada Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan, jika investasi (harta)
tersebut diperoleh dalam masa pernikahan, maka harta tersebut menjadi harta bersama
dimana harta tersebut harus dibagi adil antara pasangan suami dan istri dalam
hal ketika terjadi sebuah perceraian.
Dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) nomor 3 tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil
Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas
Bagi Pengadilan disebutkan bahwa intinya jika terjadi gugatan harta bersama
Hakim tidak serta merta langsung mengabulkan permohonan pemohon tetapi
sebaliknya bisa menolak atau tidak dapat diterima.
Dalam surat edaran tersebut membuat dua
alasan yaitu :
1.
Objek yang menjadi sengketa masih diagunkan
sebagai jaminan hutang (kredit) dan
2.
Objek tersebut mengandung sengketa
kepemilikan akibat transaksi keduanya dan seterusnya
Mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3
Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018
huruf d Rumusan Kamar Agama Perkara Keluarga yang menyatakan bahwa “Gugatan
harta bersama yang objek sengketanya masih diagunkan sebagai jaminan utang atau
objek tersebut mengandung sengketa kepemilikan akibat transaksi kedua dan
seterusnya, maka gugatan atas objek tersebut harus dinyatakan (NO) Niet
Ontvankelijke Verklaard (tidak dapat
diterima)”. Putusan NO merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan
tidak dapat diterima karena alasan gugatan mengandung cacat formil. Ini
artinya, gugatan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh hakim untuk diperiksa dan
diadili sehingga tidak ada objek gugatan dalam putusan untuk dieksekusi. Lain
halnya jika putusan tersebut menyatakan bahwa seluruh gugatan dikabulkan atau
dikabulkan sebagian (misalnya) dan memang sudah inkracht. Putusan itu harus dijalankan oleh panitera atas perintah
hakim dan pihak yang menang berhak memaksa pihak lawan untuk mematuhi putusan
hakim itu sesuai penjelasan Pasal 195 HIR.
Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) merupakan peraturan yang dikeluarkan langsung oleh Mahkamah Agung.
Tujuannya tidak lain adalah untuk mengontrol peradilan jika adanya kekosongan
hukum guna mencapai sebuah kepastian hukum. Dalam SEMA No. 3 Tahun 2018 tentang
Pemberlakuan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 huruf d Rumusan Kamar
Agama Perkara Keluarga yang pada pokoknya menyatakan harta bersama dengan
status agunan tidak dapat menjadi objek sengketa.
Menurut
Khoiri ada beberapa catatan penting dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
nomor 3 tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018
sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yaitu sebagai berikut:
1. SEMA
tersebut menginginkan jangan sampai ada pihak lain yang dirugikan. Maksudnya
jangan sampai dengan dikabulkan permohonan gugatan terhadap harta bersama di
Pengadilan Agama, ada pihak lain yang dirugikan. Sebagai contoh ketika dalam
ikatan pernikahan pasangan suami-istri meminjam uang di bank dengan
menggadaikan sertifikat rumah. Namun seiring berjalannya waktu dan pembayaran
hutang belum selesai di bank, pasangan suami-istri tersebut berpisah/bercerai
dan setelah perceraian terjadi perselisihan terhadap pembagian harta bersama.
Karena tidak selesai dengan cara kekeluargaan ujung-ujungnya mereka mengajukan
permasalahan ini ke Pengadilan Agama. Umpama Majelis Hakim Pengadilan Agama
menerima gugatan salah satu pihak dan terjadi pembagian harta bersama berdasarkan
putusan pengadilan. Harta gono-gini tersebut kemudian dibagikan, setelah
dibagikan terkadang ada pasangan suami-istri yang sudah bercerai tersebut
langsung menjual pembagian harta bersama kepada orang lain meskipun tanpa ada
surat. Maka pihak ketiga dalam hal ini bank akan kewalahan untuk melakukan sita
terhadap barang anggunan hutang suami istri jika terjadi penunggakan atau macet
dalam pembayaran disebabkan objeknya sudah dijual. Kebanyakan kasus setelah
terjadi perceraian antara suami dan istri mereka saling lepas tanggungjawab dan
lempar tangan terhadap siapa yang akan meneruskan pembayaran hutang di bank
tersebut. Namun jika gugatan ini ditolak oleh Pengadilan, harta bersama
tersebut belom dibagikan (masih ada) dan terjadi penunggakan hutang, maka pihak
bank akan sangat mudah menyita dan melelang harta bersama suami istri tersebut
yang dijadikan jaminan hutang di bank. Jika harta bersama tersebut sudah dijual
ke pihak lain dan saling mengklaim kepemilikan kemudian pihak bank mengajukan
gugatan dan menggugat pihak lain tersebut dan umpama Putusan Pengadilan
memenangkan pihak bank karena punya Sertifikat Hak Milik (SHM), maka akan ada
pihak lain lagi yang dirugikan selain pihak bank. Maka ketika terjadi sebuah
permasalahan seperti ini bisa kita istilahkan dengan ingin menegakkan sebuah
keadilan, namun harus mengorbankan orang lain. Hal seperti ini lah yang tidak
diinginkan dari SEMA tersebut;
2. Pada prinsipnya harta bersama adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan dan hutang bersama adalah hutang yang diperoleh selama ikatan perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 93 ayat (2) yang berbunyi: "Pertanggungjaawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama". Maka, selama hutang bersama belum selesai meskipun mereka sudah bercerai dan tidak dalam ikatan pernikahan lagi itu tetap menjadi hutang bersama pasangan suami-istri tersebut. Jangan sampai hutang bersama, setelah terjadi perceraian hanya mantan suami yang membayar dan melunasinya atau sebaliknya hutang tersebut dibebankan kepada mantan istrinya untuk membayar dan melunasinya. Maka solusi terbaik adalah harta bersama yang diperoleh selama perkawinan tersebut dijual, kemudian dilunasi pinjaman di bank sisanya baru dibagi bersama. Atau alternatif lain yaitu selesaikan dulu hutang bersama dengan cara bayar bersama setiap bulannya, setelah selesai semua hutang di bank baru di bagi harta bersama tersebut;
Untuk menentukan siapa yang berhak memiliki
harta kredit tersebut, sesuai dengan Pasal 32 ayat (2) UU Perkawinan, yaitu
rumah tempat kediaman (harta kredit) sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini
ditentukan oleh suami-istri secara bersama.
Sehingga
jika, sepasang suami-istri memutuskan untuk bercerai, maka terhadap harta
tersebut harus ditentukan pembagiannya. Hal ini sesuai Pasal 37 UU Perkawinan
yang menyatakan bahwa bila perkawinan putus perkawinan, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing.
Terdapat
beberapa kemungkinan putusan hakim bila harta bersama yang masih proses kredit
tersebut dibawa ke Pengadilan, yaitu:
1. Hakim
dapat memutuskan agar harta bersama yang sedang di kredit tersebut dijual
melalui over kredit
kepada pihak ketiga, yang hasil keuntungannya dibagi seperdua bagian menjadi
hak mantan istri dan seperdua menjadi bagian mantan suami.
2. Hakim
dapat memutuskan sisa hutang yang belum dibayarkan dari pembelian harta bersama
kredit tersebut yaitu seperdua menjadi tanggungan mantan suami dan seperdua
menjadi tanggungan mantan istri.
Namun, tidak menutup kemungkinan hakim
menyatakan tidak menerima gugatan pembagian harta bersama (gono-gini) bila
statusnya masih dalam agunan (kredit) dengan dasar hukum Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) nomor 3 tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rapat Pleno Kamar MA Tahun
2018, huruf d Rumusan Kamar Agama Perkara Keluarga.
Putusan
itu berbunyi, gugatan harta bersama (gono-gini) yang objek sengketanya masih
diagunkan (kredit) sebagai jaminan utang atau objek tersebut mengandung
sengketa kepemilikan akibat transaksi kedua dan seterusnya, maka gugatan atas
objek tersebut harus dinyatakan Niet
Ontvankelijke Verklaard (NO)/tidak
dapat diterima.
Sehubungan dengan ini bisa dilihat & di download Rumusan Hukum SEMA No. 3 Tahun 2018 di "III. Rumusan Hukum Kamar Agama".
Sumber:
- 10W.J.S, Poerwadarminta, Manajemen Keluarga Sakinah, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2007), hlm. 359
- Kholil Nawawi, Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia,Jurnal Ilmu Syariah Mizan, Volume 1, No.1, Juni 2013, hlm. 3.
- Khoiri, K. (2021). Gugatan Harta Bersama (Telaah SEMA Nomor 3 Tahun 2018). Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah: Jurnal Hukum Keluarga Dan Peradilan Islam, 2(1), 63–71.
- M. Natsir Asnawi, HUKUM HARTA BERSAMA Kajian Perbandingan Hukum, Telaah Norma, Yurisprudensi, dan Pembaruan Hukum, Kencana, Jakarta, 2020, hlm.33
- M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 34.
- R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), hlm.. 80
- R. Subekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, (Bandung: PT Alumni, 2013), Cet. 5, hlm.. 58.
- Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. Ke 2, hlm.. 79.
- https://www.unpad.ac.id/2023/03/guru-besar-unpad-paparkan-konsep-harta-bersama-dalam-perkawinan/
- https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/v2/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974/
Posting Komentar untuk "Harta Bersama (Gono-Gini) yang berstatus kredit menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2018"